Monday, November 21, 2005

D i s o r i e n t a s i

Elegi yang menimpa seorang kakek dan nenek di Demak dan Banyuwangi yang meninggal karena antri mencairkan dana kompensasi BBM beberapa waktu lalu adalah tragedi kemanusiaan yang tak boleh disembunyikan. Kematian mereka menembus slogan kenaikan harga BBM yang cukup fantastis ini. Kematian ini ( termasuk sekian kematian akibat kemiskinan yang merayap di seluruh pelosok dan tak sempat terekam kamera dan pena wartawan) juga menjadi tamparan yang cukup nyata atas iklan layanan masyarakat yang dikumandangkan tokoh agama dan ekonomi di televisi.

Paradoks kebangsaan yang sedang mengupas hati disaat kita merayakan momentum kebangkitan sumpah pemuda yang ke 77. Namun tragedi tidak langsung bergema seperti pernyataan Nikita Kruschev, one dead man tragedy, a million dead men are statistic. Di negeri yang mulai lumpuh nurani, kematian kakek nenek tentu saja tak berarti. Apalagi ia miskin dan bukan siapa-siapa. " wong nonton konser bisa mati koq ".

Presiden SBY dan menteri di kabinet tentu tak akan mengadakan rapat evaluasi kabinet hanya karena kasus ini. Bahkan jikapun terjadi fakta penderitaan yang lebih luar biasa lagi akibat kenaikan harga BBM, mungkin pemerintah tak akan beranjak untuk mengubah keputusannya.

Yang menyedihkan, intelektual seakan tunduk dengan logika pengetahuan yang ditekuninya bertahun-tahun. Hampir semua mengamini atau diam-diam saja tentang demokrasi prosedural atas legitimasi SBY sebagai presiden pilihan langsung rakyat yang dianggap tak berpeluang dijatuhkan oleh aksi massa. Logika prosedural ketatanegaraan juga turut melemahkan DPR sebagai lembaga yang tak dapat meng-impeach presiden. Namun di tengah prahara nasional ini, yang menyedihkan dimana suara mahasiswa ?.

Ketika terjadi krisis terbesar di Prancis setelah perang perang dunia ke dua, 1968, gerakan mahasiswa muncul sebagai pendobrak dan penentang paling serius atas kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Gerakan mahasiswa tidak membawa perubahan apa-apa kecuali kecuali hanya mengganti pimpinan pemerintahan. Gerakan mahasiswa Prancis hidup sebentar hidup sebentar dalam hysteria publik dan media massa. Jacques Derrida mengkritik gerakan mahasiswa itu sebagai infantilisme politik yang tak melakukan dekonstruksi intelektual apapun kearah ketercerahan sisitem pemerintahan. Mungkin kritik Derride agak hyperbolik, karena sedikit banyaknya pergantian orang membawa ekspressi perubahan pada sistem.

Pada tahun 1989, ketika gelombang demokratisasi merambah negara-negara komunis, mahasiswa Cina menuntut pemerintah Den Xiao Ping untuk membuka keran liberalisme ekonomi dan politik demi kesejahteraan rakyat. Kata-kata Mao Tse Tung tentang kemandirian dalam kemiskinan lebih berharga daripada kekayaan dalam perbudakan tidak renyah lagi di telinga. Mahasiswa menganggap pemerintah terlalu banyak berbohong dengan media yang dikuasainya. Buktinya, rakyat makin miskin dan terhina. Aksi mahasiswa berujung dengan tumpah darah di lapangan Tiannanmen. Ribuan massa mati terpanggang dan tertembak tentara. Namun, setelah itu Cina berkembang dengan kebijakan ekonomi dan politik yang mulai terbuka dan kompetitif.

Tahun 1998, mahasiswa Indonesia menuntut mundur pemerintahan Orde Baru yang dianggap biang korupsi. Saat itu demonstrasi dipicu pula oleh kenaikan harga BBM yang dianggap tidak sensitif atas krisis ekonomi---meskipun akhirnya harga BBM diturunkan kembali. Langkah pemerintah tidak ampuh. Gelombang aksi mahasiswa mampu menjatuhkan Soeharto, sesuatu yang tidak diperkirakan para analis politik saat itu.

Jauh hari sebelum menaikkan harga BBM, pemerintahan SBY telah menyuarakan berbagai macam argumentasi berkaitan dengan pentingnya melakukan penghematan APBN dengan mencabut subsidi BBM akibat krisis harga minyak mentah dunia yang dirasakan hampir seluruh negara. Namun yang menyedihkan, argumentasi tersebut ditelan mentah-mentah. Tidak ada umpan balik yang dapat menjadi "tanda" bagi mahasiswa untuk menggalang aksi massa dengan argumentasi yang lebih melindungi rakyat. Informasi yang diberikan pemerintah seolah telah menepati derajat scientific sehingga tak ada ruang untuk mengurainya lebih lanjut. Tidak terlihat aksi demonstrasi besar-besaran dan massif yang menolak kenaikan BBM, bahkan respons menolak kenaikan BBM kedua lebih lemah dibandingkan pertama. Padahal, kenaikan kali ini sungguh tidak rasional.

Seharusnya mahasiswa tidak perlu tunduk atas penjelasan scientific yang njelimet tentang pemotongan subsidi yang dipropagandakan pemerintah akan berbanding lurus dengan peningkatan program kesejahteraan rakyat miskin. Apalah arti keilmiahan kalau hanya memproduksi derita?.

Mereka cukup merekam lingkungan di sekitar dan melihat ketimpangan antara teori dan realitas, antara das sollen dan das sain, sebagai sinyal argumentasi menolak kenaikan harga BBM. Seperti dikatakan Edward W. Said, yang membuat gerakan mahasiwa menjadi kuat adalah mediokeritas pengetahuan yang dimilikinya. Ia tidak perlu tahu semuanya untuk bergerak, karena yang menjadi senjatanya adalah suara-suara yang dibisukan oleh arogansi kekuasaan dan pengetahuan.

Namun, aksi massa mahasiswa tidak cukup nyata meskipun semakin hari data-data distorsi dana dan pemberian subsidi makin terang benderang. Bahkan yang menjadi ironi, pengurangan subsidi juga dipergunakan untuk menambah anggaran operasional kementrian dan tunjangan anggota Dewan. Fakta ini telah menyimpulkan bahwa tidak sepenuhnya anggaran yang telah "dirasionalisasikan" tersebut dijadikan sebagai benteng terakhir penyelamatan penderitaan rakyat miskin. Kebohongan menjadi selimut atas kebijakan nasional yang proliberal.

Di sisi lain, banyak masyarakat karena kemiskinannya telah mencapai derajat absolut, luput tercatat oleh BPS sebagai warga negara miskin, bahkan terjadi di ibukota Jakarta. Statistik kemiskinan telah membuat orang kehilangan banyak hal. Ini adalah pengetahuan utama yang dapat dijadikan alas an untuk menggalang aksi demonstrasi dan meminta penurunan BBM, sampai kapanpun hingga berhasil.

Yang dibutuhkan saat ini bukan kesempurnaan pengetahuan atas kebijakan pemerintah yang nyatanya tidak juga transparan. Yang dibutuhkan adalah partikulus wacana, yang banyak terserak di tengah-tengah kehidupan nyata masyarakat lapisan terbawah. Para ibu yang antri berjam-jam hanya demi lima liter minyak tanah mahal, pertengkaran kernet angkot dengan penumpang untuk urusan uang seribuan rupiah, anak-anak yang tidak sekolah karena orangtua tidak memiliki uang, seorang nenek yang mati membusuk karena tidak ada makanan, seorang ayah yang lumpuh oleh stroke karena ditolak rawat dini oleh rumah sakit, dan aneka penderitaan harian lainnya.

...Selengkapnya...

Saturday, November 19, 2005

P e r s e l i n g k u h a n

"Keadilan sosial bagi semua"-- yang merupakan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat-- adalah keadilan yang kerap kali dilihat sebagai utopia, karena realitas dalam hidup ini terdapat situasi pasti dimana kesenjangan sosial antara kaya dan miskin selalu ada di dalam struktur masyarakat.

Cita-cita kesejahteraan sosial tetap harus diwujudkan, dengan dasar utama untuk menciptakan keadilan sosial paling maksimal yang bisa ditempuh. Satu-satunya jalan masuk untuk mewujudkan hal itu adalah dengan menciptakan dan menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Hukum yang melindungi semua, terutama hukum yang melindungi wong cilik yang selama ini selalu di tepi akibat akal bersaing di dunia nyata.

Kemiskinan di Indonesia harus dilihat dari kacamata yang paling obyektif. Temuan Bank Dunia ( WorldBank ) pada Januari lalu menempatkan separuh lebih penduduk Indonesia berada dalam situasi hidup yang tidak layak. Kita memperoleh pendapatan yang jauh di bawah ukuran kelayakan.

Persoalan utama yang melandasi struktur kemiskinan masyarakat kita karena adanya dosa struktur. Dosa stuktur yang dimaksud adalah menyangkut bagaimana distribusi yang adil dan menjangkau semua pihak. Dengan demikian, keadilan yang sedang kita bicarakan disini adalah menyangkut keadilan untuk semua.

Misalnya, harus memulai diperhatikan adanya biaya produksi yang mahal dalam setiap aspek kehidupan masyarakat di pedesaan sebagai akibat dari sistem jaringan transformasi dan informasi yang hanya tersedia di kota besar yang menjadi pusat ekonomi. Atau contoh yang lebih umum, harus mulai diperhatikan adanya kesenjangan akses ( pendidikan, sosial, ekonomi, budaya ) yang hanya bisa diakses oleh kaum berduit daripada kaum melarat. Atau akses kehidupan yang hanya bisa diakses oleh kaum bandit daripada masyarakat jelata lainnya.

Kehidupan ekonomi yang hanya berfokus pada pusat kota membuat daerah di pelosok semakin tidak tersentuh oleh jaring-jaring ini. Fatalnya, seringkali jaringan ini hanya mengeskploitasi daerah pedesaan tanpa memberdayakannya. Contoh, harga pupuk yang mahal adalah kebijakan " orang kota " yang membuat masyarakat di pedesaan kelaparan.

Mereka hidup susah tanpa tahu mengapa semua ini terjadi. Mereka "nrimo ing pandum", menerima nasib apa adanya dan the show must go on. Mereka tidak tahu logika mengapa harga produksi gabah dan tebu misalnya, sangatlah murah, dan harga pupuk sangatlah mahal. Mereka tidak tahu berapa selayaknya jerih payah mereka harus dihargai karena telah menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan.

Padahal merekalah pahlawan kita selama ini. Pahlawan yang selalu diperah dan diperas tenaganya untuk membiayai kehidupan Indonesia.

Jaringan kekuasaan hanya memfokuskan pembangunan pada pusat kota, dan ini membuat biaya hidup rakyat miskin di pedesaan semakin berat. Beban hidup mereka akan habis hanya untuk membiayai transformasi.

Kemiskinan juga sulit diatasi karena kaum miskin tidak memiliki daya tawar terhadap kebijakan yang selama ini tidak berpihak kepada mereka. Kaum miskin hanya menjadi alat produksi semata-mata.

Pendapatan mereka hanya sekedar mencukupi kebutuhan hidup saja. Inilah yang membuat kaum miskin tak berdaya untuk memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan. Yang kaya semakin berada di puncak.

Kebijakan politik yang ada selama ini sering ( dan sebagian besar ) hanya berpihak kepada mereka yang memiliki alat produksi dan modal. Kaum miskin diperas tenaganya hanya sekedar menjadi buruh kasar dengan dalih keterampilan mereka terbatas. Tetapi pemerintah, di sisi lain, tidak mampu berbuat bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka agar bisa berkompetisi lebih adil dengan lainnya.

Ketidakmampuan mereka inilah yang sering dieksploitasi tanpa rasa kemanusiaan. Ini membuat posisi daya tawar mereka begitu lemah. Dalam kajian teoritis atau secara ideal, mereka memang dilindungi oleh negara, namun dalam konteks realitas mereka adalah pecundang yang sering ditipu daya oleh dua poros utama, yaitu : Modal dan Penguasa.

Kaum miskin selalu dilihat sebelah mata dalam berbagai proses pembuatan kebijakan. Kebijakan yang dilahirkan penguasa tidak terlalu banyak memperhatikan poros warga negara. Warga negara yang miskin dianggap tidak memiliki kedaulatan tertinggi di dalam sebuah negara. Pelanggaran konstitusi ini terus terjadi tanpa adanya kemauan untuk memperbaikinya. Misalnya dengan melahirkan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh mengapresiasikan dan melibatkan kaum miskin untuk berperan sebagai warga negara normal.

Penguasa kita masih menggunakan pola VOC pada zaman Hindia Belanda dalam salah satu programnya. Badan Publik, yaitu Badan Usaha Milik Negara yang seharusnya menyejahterakan masyarakatnya justru berperilaku sebaliknya. Mereka gagal memberi nilai tambah bagi masyarakat.

Fatalnya, seringkali dana itu di korup oleh pengelola badan publik dalam berbagai skandal, baik dengan parpol maupun lainnya.

Dalam birokrasi publik kita, korupsi seperti sudah lazim diterjemahkan sebagai " uang lelah ". Mentalitas dan kebudayaan ini tanpa disadari meneruskan warisan budaya yang ditanamkan oleh kultur centengisme yang digunakan VOC untuk memperalat pribumi dalam mengabdi pada kepentingan penjajah. Kultur ini menjadi subur karena para pelaku politik sudah bersekutu dengan para pelaku bisnis hitam.

Ini kenyataan yang membuat keadilan di negeri kita sulit diwujudkan.

Elite politik yang masih bermentalitas pola VOC dan fasisme Jepang ini membuat bangsa terpuruk karena terjadi perselingkuhan antara poros negara dengan badan publiknya dan poros pasar dengan komoditas bisnis. Dalam perselingkuhan ini poros warga selalu dijadikan korban.

Kapan elite politik keluar dari lingkaran setan ini?.

...Selengkapnya...

Wednesday, November 16, 2005

Otsus Menelan "Korban"

"Jangan kami saja rakyat kecil yang berani dihukum cambuk di depan umum, orang-orang kaya atau orang-orang penting, bila divonis cambuk, juga harus ditonton masyarakat umum" ( salah seorang terpidana hukum cambuk di Bireun - Aceh 2005 )


Dalam beberapa kali penerbitan di bulan April dan Mei, beberapa media cetak lokal dan nasional sempat melansir berita mengenai proses persidangan di Mahkamah Sya'riah ( MS ) Bireun terhadap 20 warga setempat yang didakwa melakukan tindak pidana perjudian. Meskipun perjudian tergolong kasus tindak pidana biasa, namun dalam kasus itu mendapat banyak perhatian dari masyarakat luas di Aceh, karena untuk pertama kalinya hukum atau Syariat Islam coba diterapkan di provinsi NAD. Majelis Hakim MS yang menyidangkan perkara ini mencoba menjerat para terdakwa dengan pasal-pasal yang temuat dalam Qanun ( peraturan daerah ) No. 13 / 2003 tentang perjudian ( maisir ).

Dalam proses persidangan akhirnya ke 20 warga tsb divonis hukum cambuk bervariasi, mulai dari 6 - 10 kali. Bahkan vonis terhadap 12 orang dianataranya telah memilki status kekuatan hukum tetap karena mereka tidak memanfaatkan waktu yang ada untuk mengajukan proses banding. Memang belum ada eksekusi karena masih menunggu SK dari gubernur.

Sepintas sepertinya peristiwa hukum di Bireun ini telah berjalan sesuai landasan hukumnya, yaitu UU No.18 / 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi NAD. Di dalam kedua UU tersebut, secara jelas disebutkan bahwa Aceh memiliki hak untuk menjalankan Syariat Islam bagi seluruh muslim yang berada di wilayah tersebut.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, kebijakan penerapan Syariat Islam di Aceh sebenarnya masih menyisakan beberapa persoalan. Salah satu persoalan yang sepertinya masih belum terjawab sampai sekarang adalah menyangkut kelengkapan instrumen hukum pelaksanaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 26 ayat 1 dan 2 UU No.18 / 2001, MS yang berada di tingkat kabupaten atau kota merupakan pengadilan tingkat pertama. Sedangkan di MS di tingkat provinsi merupakan pengadilan tinggi. Pengadilan tingkat kasasi tetap berada pada Mahkamah Agung.

Sejauh ini di seluruh daerah kabupaten atau kota dan provinsi NAD, MS sudah terbentuk. Tetapi hal tersebut agaknya belum diikuti dengan pembentukan lembaga khusus di tingkat MA yang memiliki wewenang memeriksa permohonan kasasi ataupun peninjauan kembali perkara-perkara dari MS. Paling tidak hal ini terlihat dari penjelasan Bagir Manan, ketua MA pada 2002 lalu. Menurutnya masih perlu dicari kesinambungan ( lembaga ) yang menghubungkan antara MS dan MA. Karena bagaimanapaun juga, MS masih merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.

Dengan kata lain, kelengkapan institusi hukum yang akan menangani perkara-perkara Syariat Islam dapat dikatakan belum sepenuhnya terpenuhi. Anehnya, dalam kasus Bireun, terkesan pemerintah daerah dan institusi peradilan setempat cukup berani menggelar proses persidangan kasus perjudian tersebut melalui MS. Sementara keberadaan lembaga khusus di tingkat MA sendiri belum jelas, apakah sudah atau belum dibentuk.

Persoalan lainnya tentang waktu dari penerapan Syariat Islam itu sendiri. Sebagai salah satu kebijakan khusus dalam paket kebijakan Otonomi Khusus Aceh apakah Sya'riat Islam yang diterjemahkan seperti dalam kasus di Bireun itu mendesak serta berada pada moment yang tepat untuk dilaksanakan ?.

Keinginan memberlakukan Syariat Islam di Aceh pada awalnya muncul pada 1948. Adalah Soekarno, presiden RI pertama, yang berjanji memberikan status daerah khusus kepada Aceh untuk mengatur daerahnya sendiri. Pemberian janji oleh Soekarno tersebut didasarkan atas pengamatannya setelah melihat kondisi sosial masyarakat Aceh saat itu yang sangat kental budaya keislamannya. Ucapan soekarno itu sendiri disampaikan dalam sebuah perbincangan antara dirinya dan tokoh ulama kharismatik Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh di Banda Aceh pada Juni 1948.

Keinginan tersebut baru benar-benar bisa diwujudkan setelah lebih empat dekade kemudian melalui UU No.18 / 2001. Meskipun demikian, perlu juga dipahami bahwa UU tersebut lahir bukan semata-mata berfungsi sebagai payung hukum penerapan Syariat Islam, melainkan juga sebagai salah satu pendekatan pemerintah pusat untuk mengatasi konflik politik antara RI dan GAM serta ekses yang ditimbulkan dari konflik tersebut.

Di tengah kondisi sosial masyarakat Aceh seperti saat sekarang, kebijakan Syariat Islam bergerak terlalu progresif dibanding pencapaian tujuan utama kebijakan otsus. Apabila pemberlakuan Syariat Islam ini tidak segera dihentikan untuk sementara, tidak berlebihan jika dikatakan kebijakan otsus bukan sebuah solusi bagi penderitaan rakyat Aceh. Ia lebih tepat dikatakan sebagai "alat baru" pemerintah yang ( untuk kesekian kalinya ) menempatkan rakyat Aceh sebagai " korban ".

Alasannya, selain tingkat kesejahteraan rakyat Aceh yang tidak terpulihkan dengan adanya otsus ini, dalam prakteknya hukum di Indonesia hanya mampu berlaku efektif bagi masyarakat golongan kecil. Sehingga wajar jika muncul kekhawatiran, seperti yang diucapkan oleh salah seorang terpidana hukum cambuk, bahwa Syariat Islam ini nantinya juga tidak mampu berlaku adil.

Kalaupun pelaksanaan Syariat Islam ini tetap dipaksakan, langkah awal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah NAD adalah melakukan penilaian ( terutama ) sejauh mana kesiapan masyarakat Aceh sendiri untuk menjalankan Qanun / Qanun-qonun Syariat Islam.

Hal ini menjadi penting, karena kalau dilihat dari rentang waktu munculnya ide pemberlakuan Syariat Islam dengan kehadiran landasan hukumnya yang sangat jauh, tidak tertutup kemungkinan terjadi pergeseran nilai-nilai sosial di tengah masyarakat Aceh yang berakar pada Islam. Dengan kata lain, kondisi kultur keislaman masyarakat Aceh seperti masa lalu harus dihadirkan terlebih dahulu sebelum Syariat Islam diterapkan.

Disamping itu masalah kelengkapan perangkat hukum menjadi bagian penting lain yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, sehingga tidak menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat apakah pemerintah pusat sepenuhnya setuju dengan pemberlakuan Syariat Islam di Aceh ?

Tetapi jika pemerintah mau lebih arif, perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh harusnya jauh lebih dikedepankan dibandingkan pelaksaaan Syariat Islam. Lagipula, bukanlah faktor utama penyebab konflik Aceh adalah karena ketidak adilan di bidang ekonomi, politik, dan hukum, bukan karena tuntutan ada atau tidaknya Syariat Islam ?.

...Selengkapnya...

Tuesday, November 15, 2005

P a r s e l

Saya sorongkan kartu merah kepada Presiden Yudhoyono. Lho, apa pasal ?. Karena Presiden Yudhoyono telah memborong parsel untuk kaum duafa. Lho, kan bagus, Presiden jadi dermawan?. Tidak!. Lho, memangnya kenapa koq tidak?. Karena Presiden Yudhoyono telah tersangkut parcel gate. Wah, parcel-gate? Ha ha ha, ngaco kamu!.

Sampai sejauh ini terus mengiang fatwa dari Komisi Pemberantasan Korupsi yang dinyatakan oleh Erry Riyana Hardjapamekas bahwa, "Tradisi mengirim parsel bisa saja menjurus pada penciptaan situasi yang tidak fair dan cenderung korupsi." Lalu larangan parsel ini disambut gembira oleh Lucky Djani dari Indonesia Corruption Watch yang mengimbau Presiden supaya melembagakan fatwa itu dengan menyatakan, "Misalnya, presiden bisa menerbitkan instruksi presiden menolak parsel."

Dengan memborong parsel itu, Presiden telah melanggar fatwa parsel itu. Lho, kamu itu bagaimana sih?. Yang disebut parcel gate adalah jika Presiden menerima parsel dari kalangan bawah. Tidak!. Lho, tidak bagaimana?. Sama saja, dari bawah keatas atau dari atas ke bawah. Yang jelas, apa saja yang ada hubungannya dengan parsel, haram hukumnya. Wah, haram hukumnya? Ha ha ha, kamu itu tidak bisa membedakan persoalan!. Kau kemanakan benakmu?.

Begini. Sudah jelas para pejabat negara dilarang menerima parsel karena parsel sudah dianggap sebagai sumber KKN. Dengan demikian, para pejabat juga dilarang mengirim parsel sekalipun untuk fakir miskin, karena parsel yang dikirm itu juga bisa menjadi "politik uang". Masih ingatkan politik uang?. Parsel dari presiden itu dapat ditafsirkan sebagai usaha merayu suara kaum dhuafa supaya tetap mendukung kepemimpinan Presiden. Nah, logis kan?.

Wah, pikiran kamu sungguh-sungguh ruwet!. Buat apa Presiden Yudhoyono merayu suara rakyat jelata, beliau kan sudah berkuasa. Berkuasa?. Disitulah letak bahayanya. Justru karena beliau sudah sangat berkuasa, harus berhati-hati. Kekuasaan dapat menelan siapa saja yang memegangnya.

Oke, setelah kena kartu merah, apa yang harus dilakukan presiden?. Sederhana saja, yaitu supaya presiden mencabut larangan mengirim parsel darimanapun kepada siapapun. Jika "parsel haram" terus berlaku, ini berarti pemerintah telah menolerir suatu sikap otoriter, main hakim sendiri, dari sebagian masyarakat masyarakat terhadap masyarakat lainnya. Ini jelas akan membangun masyarakat anarkis. Setiap lembaga bisa berbuat sewenang-wenang terhadap lembaga lain atau terhadap siapapun yang tidak disukainya. KPK dan ICW bertindak atas dasar dugaan-dugaan, jauh dari sikap rasional. Sikap begini sungguh berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas dasar apa dan undang-undang apa KPK dan ICW bisa menelurkan keputusan yang aneh dan merugikan itu?.

Para pejabat negara dalam zaman reformasi ini koq suka berperilaku berlebihan untuk ukuran-ukuran yang lumrah. Misalnya ada yang mengembalikan Volvonya yang dianggapnya mewah, jauh dari "sama rata sama rasa" dengan rakyat miskin. Padahal mobil Volvo sebenarnya mobil standar untuk pejabat negara. Mobil Volvo dianggap sangkil dan mangkus ( efektif dan efisien ) bagi kinerja para pejabat.

Jangan sampai menolak Volvo jadinya kinerja penjabat itu jadi merosot. Merosot karena di rumah terus bertengkar dengan istri dan anak sebab rebutan mobil butut antara untuk belanja dan mengantar anak ke sekolah. Atau pejabat itu memilih bergelantungan di bus kota yang penuh sesak sehingga ketika turun di depan gedung MPR, pemimpin saya itu terhuyung-huyung karena kehabisan oksigen lalu masuk angin lantas terkapar diatas dipan yang keras dan kumuh sehingga tidak mampu bekerja. Apa itu yang dimaui dengan menolak Volvo?.

Dengan menolak Volvo, seolah bisa untuk membayar kemewahan yang diperlihatkan para wakil rakyat lewat gontok-gontokan. Konflik para wakil rakyat itu jauh lebih mewah daripada mobil Volvo. Saya percaya, pemimpin saya tidak "gegar kemewahan" disebabkan mengendarai mobil Volvo. Lagian, yang lain menerima koq yang ini menolak, kentara para wakil rakyat itu tidak kompak.

Yang penting, hatinya sederhana. Biar naik mobil rongsokan kalau hatinya mewah, tidak ada gunanya. Yang penting, para wakil rakyat bekerja sepenuh hati untuk rakyat. Jika bekerja sepenuh hati, sesuatu yang mewah itu jadi sederhana karena tertutup oleh prestasi kerja.

Seandainya seluruh pejabat negara menolak Volvo, tidak akan mengurangi kebocoran keuangan negara, tidak menambah kepatutan moral, dan tidak mendatangkan keuntungan berbentuk apapun karena mobil Volvo cuma setetes air di keluasan dan kedalaman sebuah samudera.

Sebagai rakyat kecil, saya ikhlas koq pemimpin saya naik Volvo. Tidak, tidak, saya tidak merasa iri dan sewot melihat pemimpin saya naik Volvo.

Sementara itu soal parsel, terus berkembang. Lho, kalau mau nyogok atau punya sikap pamrih terhadap kekuasaan dan uang, banyak jalan yang bisa dilakukan.Tidak perlu lewat parsel. Bisa lewat rekening dan itu sangat sulit dilacak. Juga bisa saja ditempuh jalan lain, misalnya dengan mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Indonesian Corruption Watch. Kenapa tidak ? Jelas, KPK dan ICW mau menunggangi Presiden Yudhoyono untuk menaikkan gengsinya. Awas lho, Presiden Yudhoyono, Anda jangan mau ditunggangi lembaga apapun dengan dalih dalih suci seolah-olah lembaga itu yang paling suci. Jangan-jangan karena ketidak mampuan KPK dan ICW dalam mengungkap kasus korupsi lalu mencari-cari kesibukan supaya nampak berjasa. Akibatnya pengusaha kecil yang coba mau berdiri, pada berkaparan.

Mulai sekarang bangkitlah Asosiasi Parsel Indonesia. Jangan bersedih dan jangan minta-minta dukungan DPR dan MPR atau lembaga manapun. Berjuang sendiri saja. Mulai hari ini jajakan ke kantor-kantor pemerintah dan gubernuran. Teriakkan: " Parsel suci hanya untuk pejabat suci !"

...Selengkapnya...

Tuesday, November 1, 2005

Mudik Lebaran

Mudik Lebaran memang sudah bagaikan suatu ritus yang tidak jelas, entah keajaiban fenomena agama, sosial ataukah budaya. Berita kemacetan, kematian sudah menjadi pemandangan umum di berbagai jalur arus mudik. Inilah teror kehidupan yang tak pernah berhenti merenggut nyawa kaum urban di negeri ini setiap tahunnya. Padahal sepenggal harapan para pemudik itu, sesungguhnya hanyalah "rindu" untuk menjenguk kampung halaman. Rindu tanah asal kebudayaan, rindu sanak keluarga, adat istiadat, kawan-kawan lama yang masih betah hidup di kampung halaman. Kawan-kawan lama yang tak tersentuh gemerlap kehidupan kota. Menjenguk tanah asal kebudayaan untuk menciptakan kembali identitas diri adalah berkah lain dari tradisi mudik. Kekerabatan yang tercerai berai dalam kurun waktu satu tahun akan menemukan identitasnya ketika mudik menjadi orkestra terakhir kaum urban.

Dalam banyak hal, mudik juga merupakan asuransi sosial yang secara khusus akan mampu menekan ketegangan antara kota dan desa. Satu hal yang mustahil bisa ditilik pada masyarakat dunia manapun, dan agama manapun kecuali Indonesia dan Islam, bahwa realitas mudik menjadi sesuatu yang "wajib" bagi para pelancong, pejuang kehidupan, yang setiap hari mengais rezeki di kota-kota besar.

Di negara maju seperti Amerika juga ada ritus serupa seperti Christmas Day dan Thanksgiving Day. Dua peristiwa itu juga dijadikan ajang untuk berkumpulnya seluruh keluarga inti mereka. Tetapi ritus mereka tidak sefenomenal yang melibatkan banyak orang, sumber daya dan fasilitas negara dalam skala besar. Tidak dalam skala keluarga jaringan.

Padahal tidak ada kaitan signifikan antara ritual mudik ini dan penghayatan keagamaan seseorang. Unik memang!.

Bagaimana sebenarnya fenomena ini membawa manfaat bagi pembangunan regional khususnya di wilayah pedesaan, khususnya peran ekonomi bagi wilayah urbanite itu?. Yang terlihat adalah bentuk lain dari "buang kekayaan" selama hidup setahun mengepung kota, untuk kemudian menabur hasilnya ke desa. Yah, semacam reaksi massal terhadap dampak sosial pembangunan. Ada pertentangan antara sakralitas dan profanitas.

Lahirnya tradisi mudik memang berasal dari realitas sakral pada bulan Ramadhan, tetapi mudik itu sendiri realitas profan yang tidak memiliki kaitan dengan unsur-unsur nilai sakral. Malah fenomena ini melahirkan teror lain, berupa kecelakaan lalulintas selama dalam perjalanan mudik, yang semoga saja jumlahnya tidak akan makin meningkat sampai menjelang arus balik nanti.

Uniknya lagi, para pemudik ini mengatakan "gak plong kalo lebaran gak mudik". Seolah fenomena mudik ini merupakan "orgasme spiritual" menjelang Hari Raya Idul Fitri di negeri ini. Inilah siklus unik kehidupan yang juga menakjubkan di negeri ini.

Yah, mudik tetaplah mudik, tidak ada grand theory ataupun backmind yang jelas, selain kangen-kangenan pulang kampung, rindu tanah asal. ( Selamat mudik saudara-saudaraku )

...Selengkapnya...