Thursday, December 29, 2005

Berbahasa Ibu : Aku

Lebih dari sekedar tenda untuk tempat bernaung, ternyata jiwa yang kuat adalah sebuah bangunan yang kokoh di dalam setiap diri manusia korban bencana tsunami, khususnya Aceh.



Ketika negeri ini menjadi rumah duka nasional setahun lalu, seisi rumah kami ( lengkap dengan tikus, cecurut dan rayap-rayapnya itu ) menangisimu bagai tangis seorang ibu kepada anak hilangnya yang masih bersikeras tidak mau pulang ke rumah. ( Mengapa kau selalu gundah anakku?. Jika di tangan ayah kau merasa hidupmu dikejami, bukankah masih ada ibu yang selalu mencintaimu dan mendambakan kerukunan dalam keluarga kita? ).

Kau juga adalah kecamuk lain di hati ibu, setiap kali saudaramu membuat airmata ibu meleleh karena ulah mereka yang rakus menggerogoti harta keluarga kita. Sementara bapakmu masih sibuk dengan ketidaktegasannya, terombang-ambing antara hal yang serba popular dan perang di hati nuraninya melihat derita hidup kita. Sungguhpun demikian, kau jangan marah kepadanya. Berilah ia kesempatan untuk memperbaiki keadaan kita dengan bantuan tangan Tuhan. Hanya uluran tangan Tuhan yang kita percayai saat ini. Jika kau mengira tetangga kita datang menolong, itu hanyalah perpanjangan tangan Tuhan, yang telah menggerakkan terbukanya pintu hati dan belas kasih manusia kepada sesamanya.




Anakku,
Ukuran ibumu ini dalam mewawasi situasi keluarga kita hanya pada hati nurani manusia. Hatilah yang mengalirkan beragam jenis airmata di wajah kita. Hati pula yang membuat sepasang tangan manusia menjadi berlumuran darah sesamanya, atau menyimbahkan darah bagi diri sendiri bahkan sesamanya. Banyak bencana besar di dunia ini berawal, harus dihadapi dan diakhiri dengan menggunakan hati.

Jika hatimu kotor, maka kotor pula pikiranmu. Jika telah kotor pikiranmu, lihatlah perangai apa yang tampak bagi sesamamu: merusak! memusnahkan!. Seolah-olah kitalah si pemilik dunia.

Kau lupa, bahwa Tuhan tidak memerlukan dana seluruh umat manusia untuk Ia menciptakan, memelihara ataupun menghancurkan apapun dari alam semesta ini. Tuhan tidak pernah bersekongkol dengan umatNya untuk setiap kehendakNya. Dengan alasan itulah ibu beranggapan tidak ada sebuah negeri manapun di bumi Allah ini yang layak menuhani negeri lainnya. Ada masanya ketika orang-orang pongah akan terpental dari perputaran bumi hanya karena sebutir kerikil dari langitNya yang terjatuh ke dalam bentang laut di hadapanmu. (Allahu Akbar).

Namun kau harus percaya, meski saat ini ibu lemah ketika menolongmu, setiap bencana dari Tuhan merupakan gerbang ujian dan calon berkah bagi saudara- saudaramu. Setiap saat kita semua masih diberiNya kesempatan berbuat baik. Ada peluang yang indah dalam penyamaran setiap kejadian dan peritiwa.

Ketika mentari terbit ataupun sedang membuat malam, ibulah yang merengkuhmu dalam pelukan cinta dan doa. Memandikanmu dengan curahan airmata karena mengetahui bagaimana tingkah saudaramu yang setiap hari semakin rajin mengibarkan berbagai jenis lembaran uang atas namanya sendiri di semua permukaan bumi yang dipijaknya. Sementara kau masih terkapar di atas tanah penderitaan yang sama, lemas menghafal berapa jumlah butiran nasi di piringmu, berapa jumlah pasir yang kau perlukan untuk membangun kembali rumahmu.

SubhanaAllah, anakku. Mari kita sederhanakan semua perhitungan manusia dari nol.

Butakah saudaramu yang air liurnya hingga merembes di sudut mulutnya ketika menghitung uang gaji ratusan juta rupiah yang memasuki setiap bulan dalam kehidupannya sepanjang masa jabatannya?. Tulikah telinga mereka yang berkehendak gagah-gagahan menjadikan keluarga kita sebagai anggota keluarga penghasil senjata ?, atau bahkan desakan si pemilik hati yang gemar pamer dengan rencana dibangunnya monorel di Jakarta pada tahun 2006 nanti?. Ah, katakan saja yang segelintir itu di buku hatimu.

Inilah yang ibu khawatirkan nak : kita menjadi buta mata hati. Terbias pandang dalam mewawasi keadaan. Ibu yakin, pembiaran atas penderitaanmu hingga berlarut-larut, yang dibarengi dengan keinginan untuk selalu tampil trendy di mata tetangga kita, adalah siksaan tersendiri di hati bapakmu. Kemana ia akan menghampar pandangannya selama itu, jika ia harus pergi kondangan "standing party" tetangga kita, sementara ia tahu pasti anak-anak di rumahnya hanyalah anak-anak yang tidur beralaskan tikar, tidak bersekolah dan hanya makan nasi dari beras patahan?

Akan dan telah kau saksikan, bahwa kesedihan ibu adalah kemarahan Tuhan. Kemarahan Tuhan adalah bencana yang melahirkan kembali kepedihan di hati kita semua. Inilah siklus dari satu rangkaian kehidupan.

Untuk hidup kita butuh standar kelayakan, karena kita hanyalah manusia si penerima kehidupan. Tuhanlah pemiliknya. Raga ini juga milik Tuhan, patut kita pelihara sebaik-baiknya selama hidup. Meski ibu mengerti, bahwa jiwa yang bersih dan kokoh serta dilandasi iman kepada Allah adalah rumah kita yang tak lekang tak lapuk oleh badai dan guncangan alam, namun kau layak menerima perlakuan yang adil dari kehidupan yang hanya sementara ini.

Doa ibu senantiasa bersamamu.



...Selengkapnya...

Thursday, December 15, 2005

Kado Untuk Teman


Koran pagi masih mengepul di atas meja. Wartawan itu belum membacanya, dia masih tertidur di kursi setelah seharian dikejar-kejar berita. Seperti biasa, untuk melawan pening ia menepuk keningnya. Lolos dari deadline, ia pun terlelap. Lengkaplah capeknya.

Uban yang letih tanda memutihnya tahun. Entah sudah berapa orang, peristiwa....mmm..berapa ya..., melintasi jalur waktu di kerut wajahnya. Ke suaka ingatan mereka hijrah...

Almarhum bapaknya sebenarnya tidak suka ia susah-susah jadi reporter. Lebih baik jadi artis yang kerjanya diuber-uber wartawan. Ibunya berharap dia jadi dokter, agar dapat merawat tubuhnya sendiri yang sakit-sakitan.

Siang itu, ia bersama teman-teman sekelasnya sedang berlatih mengarang. Sementara kawan-kawannya sibuk bermain kata, ia bengong saja sambil mengigit-gigit pena. Padahal ibu guru sudah bilang berkali-kali, bahwa cara terbaik untuk mulai menulis adalah menulis.

Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terjadi kebakaran. Bu guru dan teman-temannya segera menghambur keluar. Belakangan beredar kabar bahwa gedung sekolahnya sengaja dibakar komplotan perusuh berlagak pahlawan. Saat itu situasi memang sedang rawan, penuh pergolakan.

Tanpa menghiraukan bahaya, bocah bego itu malah sibuk mencari-cari pena yang terjatuh dari meja. Bu guru nekat menyusulnya. Sementara api makin berkobar dan semua panik : jangan-jangan mereka ikut terbakar...

Si anak bengong itu kini sedang lelap. Matanya setengah terbuka. Koran pagi masih mengepul di atas meja....

...Selengkapnya...