Tuesday, March 28, 2006

I s t i r a h a t




Di dunia ini hanya ada satu bandara udara yang berani menghentikan segala kegiatan penerbangan selama satu hari penuh dengan alasan keagamaan, yaitu: Ngurah Rai - Bali, Indonesia. Benar, lusa 30 Maret 2006 ( Saka 1928 ) anda jangan ke Bali kalau mau jalan-jalan atau menikmati obyek wisata, karena mulai pagi hingga paginya lagi orang Bali menghentikan seluruh kegiatan rutinnya. Selama satu hari itulah yang disebut Nyepi. Saat itu di Bali tidak ada kegiatan kecuali merenungi dan merefleksi diri untuk menyambut kehidupan di kemudian hari. Mereka berpantang diri dari empat aktivitas rutin, yaitu : menyalakan api, bekerja , bepergian dan menikmati hiburan.


























Makna yang paling cepat dapat ditangkap dari pelaksanaan nyepi adalah memberikan kesempatan kepada alam untuk beristirahat secara total selama 24 jam. Selama sehari dalam setahun, jalan-jalan di Denpasar ataupun Kuta yang biasanya akrab dengan kemacetan, diberi kesempatan untuk kosong secara total, bebas dari gas emisi yang polutis dari berbagai jenis kendaraan bermotor.

Nyepi merupakan momentum bagi manusia untuk melakukan refleksi terhadap perbuatannya di masa lalu, masa kini dan merenungkan masa depan. Atita, Wartamana dan Anegata ( masa lalu, masa kini dan masa depan ). Ketiganya berkaitan dalam konteks sebab akibat. Kebaikan perilaku di masa lalu dan di masa kini akan melahirkan pula kebaikan di masa datang. Demikian sebaliknya, bencana di masa kini adalah akibat kerakusan di masa lalu. ( Semoga bencana alam yang kemarin datang bertubi-tubi melanda negeri ini dapat menyadarkan kita untuk kembali ke jalan Tuhan ).








Bagi umat Hindu, Nyepi ini menjadi momentum penting untuk meningkatkan Srada ( keyakinan / keimanan ) kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa. Selain mengajak manusia kembali dan terus mendekatkan diri kepada Tuhan, momentum Nyepi juga mengajarkan umat Hindu untuk tidak henti-hentinya mengakui kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Kalau dilihat rangkaian acara tahun baru Saka, hari Nyepi hanyalah puncak yang lebih bersifat antiklimaks dari serangkaian proses ritualistik. Sebelum sampai pada puncak sepi, umat Hindu di bali melakukan ritual meriah yang disebut Melasti ( atau Makiyis ), sekitar 3 -4 hari sebelumnya. Mereka pergi ke pantai dan sumber air lainnya ( danau, pertemuan dua sungai, mata air suci, dsb ) dengan tujuan membersihkan benda-benda sakral yang dimiliki oleh desa ataupun kelompok warga ( klen ). Prosesi yang melibatkan ribuan umat itu dilakukan dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer, pulang pergi, sambil mengusung benda sakral.







Sehari sebelum hari Nyepi, setiap desa mengadakan upacara bersih desa secara serempak dan bertingkat, mulai dari tingkat propinsi ( pada pagi hari ) dilanjutkan dengan tingkat kabupaten, sampai akhirnya desa dan kampung, yang dilaksanakan pada sore menjelang malam.








Dalam upacara bersih desa yang disebut Tawur Kesanga ini dilaksanakan arak-arakan berbagai efigi makhluk jahat ( setan, jin, butakala / raksasa, dsb ), yang disebut dengan Ogoh-ogoh ( berupa patung yang umumnya dibuat dari kertas seperti ondel-ondel ). Setiap desa paling tidak membuat sebuah ogoh-ogoh, tetapi karena umumnya setiap kelompok kecil juga membuat ogoh-ogoh, maka jumlah ogoh-ogoh pada setiap desa bisa mencapai puluhan. Setelah diarak berkeliling desa, ogoh-ogoh yang dibuat dengan biaya jutaan rupiah itu selanjutnya dibakar, sebagai representasi pemusnahan / pengusiran makhluk jahat.








Klimaks yang aneh ini juga bisa dilihat dalam berbagai bentuk kesenian pertunjukkan, misalnya pada tarian Barong yang diakhiri dengan usaha untuk menusuk diri sendiri.








Yang juga tidak kalah pentingnya untuk saat ini, hari Nyepi merupakan promosi luar biasa bagi pariwisata Bali, sebuah industri yang bersandar kepada citra ( imej ) keaslian dan keunikan. Cukup banyak wisatawan mancanegara yang sengaja memilih waktu untuk telah tiba di Bali sebelum hari Nyepi, agar mereka bisa secara langsung melihat keunikan dan keaslian budaya Bali dengan klimaks dan antiklimaksnya yang juga unik. Biasanya mereka adalah wisatawan religius yang ingin berwisata meditasi.








Nyepi memberikan keheningan pikiran, kestabilan emosi, dan kedalaman spiritual sehingga umat manusia bisa mengendalikan tindakannya. Mengeksploitasi potensi alam dan budaya untuk semata-mata kepentingan material dan hedonisme harus dicegah. Pantangan Nyepi mengajarkan manusia untuk tidak mengumbar hawa nafsu. Pantangan untuk menyalakan api, tidak secara literal harus diartikan mematikan api alias tidak memasak atau merokok, tetapi memadamkan pijaran nafsu yang menguasai diri, baik nafsu untuk berkuasa, menipu, menjerumuskan apalagi menghancurkan dan menginjak-injak harga diri orang lain.

Perayaan Nyepi di Bali memang bersifat lokal dengan sedikit kegiatan serupa di beberapa tempat, dimana terdapat sejumlah signifikan umat hindu dalam satu kawasan. Namun keberhasilan masyarakat Bali untuk menggaungkan perayaan ini ke berbagai penjuru dunia misalnya lewat penghentian penerbangan dari dan ke Bali membuat pesan pantangan hidup ( catur brata penyepian ), diharapkan bisa memberikan inspirasi kepada masyarakat dunia terutama bagi mereka yang ingin dengan sungguh-sungguh berhenti sejenak untuk menambang keheningan dalam sepi.

Sunyi senyapnya Bali pada hari raya Nyepi mungkin bisa memancarkan ilham pada dunia untuk mengambil langkah-langkah terbaik dalam menyelamatkan alam dengan melakukan penghematan energi dan pengekangan hawa nafsu. Pantangan tidak bepergian sehari, tidak menikmati hiburan seharian, tidak menyalakan api seharian, dan tidak bekerja seharian mungkin bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk merenung sejenak tentang arti dari bekerja, menikmati hiburan, melakukan perjalanan, dan kegelapan dalam kehidupan yang penuh misteri ini.



...Selengkapnya...

Friday, March 10, 2006

M a s i h

Kelaparan telah melalap sebagian rakyat warga Serang, Cirebon, Bandung dan Brebes. Mereka mulai makan nasi aking, nasi sisa yang sudah beberapa hari kemudian ditanak lagi. Nasi aking ini dikumpulkan berhari-hari yang nempel di bakul bambu. Karena sudah berumur, nasi aking bukan tidak mungkin digrogoti bateri. Ada saja penduduk yang jatuh sakit sehabis makan nasi aking itu, perut mulas juga diare.


Sekitar sepuluh keluarga yang kelaparan itu mendorong kita untuk mimpi di siang bolong. Tidak terbayangkan oleh kita, musnah kebutuhan dasar mereka. Bagaikan ayam mati di tumpukan beras. Subhanallah...





Kota terdekat dengan Jakarta tempat tinggal saya, di Serang misalnya. Kota Serang adalah ibukota propinsi Banten, lumbung padi yang tak boleh dikata tak pernah tidak subur makmur. Sama masyhurnya dengan kabupaten Karawang. Roda ekonomi yang berputar deras menggambarkan aktivitas perdagangan yang laju di Serang, memanggil-manggil para pengusaha yang lalu lalang di Jakarta-Lampung untuk transit di Serang.



Penduduk yang kelaparan itu bukan disebabkan oleh tidak adanya beras di kampung mereka atau sifat malas sehingga mereka tidak mau mencari nafkah, melainkan tidak tertanganinya hak-hak dasar mereka oleh pemerintah.

Padahal secara geografis, tempat tinggal mereka mudah terjangkau oleh aparat pemerintah dengan program-programnya bagi pengentasan kemiskinan. Mereka tidak pula terisolasi secara politis. Satu-satunya kelemahan mereka barangkali karena mereka tidak pernah mengeluh disebabkan oleh kemiskinan mereka. Juga mereka tidak pernah minta-minta kepada pemda untuk diperhatikan. Penduduk yang kelaparan yang memiliki KTP ini tentu tidak bisa berdalih atau terlalu lemah untuk berdemonstrasi. Sebaliknya hati mereka begitu murni sehingga mampu membersihkan hati kita yang belepotan ini. Subhanallah...

Selain diakibatkan bencana banjir ketika musim penghujan kemarin, harga gabah di Karawang juga merosot. Alasan tengkulak beras tidak lagi mampu mengulak secara memadai karena biaya transportasi naik berlipat. Di satu pihak, petani yang sudah jatuh itu, tertimpa tangga pula. Harga pupuk yang lebih mahal daripada harga gabah menyebabkan hidup para petani kita semakin mengenaskan. Subhanallah...

Rakyat miskin yang semakin dimiskinkan, yang jumlahnya bertambah banyak, didera kelaparan, penderitaan, dihantam bencana yang susul menyusul, rasanya malapataka itu tak tertanggungkan lagi. Miskin dan ditimpa bencana alam. Apalagi yang bisa dipertahankan dari harkat yang sudah compang-camping ini?. Rakyat miskin bisanya cuma menangis, menangis dan menangis. Sementara rawan pangan dan kelaparan di Papua yang belum teratasi, seakan-akan menunjukkan bahwa tidak ada lagi hiburan lain bagi rakyat miskin di seluruh pelosok tanah air kecuali menangis. Kemana nasib ini diadukan? Kepada Tuhan?. Rakyat miskin tidak tahu cara mengadu dengan baik, sementara gerak-gerik Allah tak tertebak.

Presiden Yudhoyono tampak kuyu, lelah dan menderita. Pemimpin mana di dunia ini yang mampu menanggungkan penderitaan yang susul menyusul ini?.
PIB ( Pemerintah Indonesia Bersatu) yang baru menapaki belum dua tahun pemerintahannya, sudah digempur habis-habisan oleh malapetaka yang rasanya tidak berkesudahan. Tuhan berfirman bahwa Allah tidak mengaruniai malapetaka tanpa umat mampu menanggungnya. Presiden dan kabinetnya tentu mampu menyemprot awan hitam yang bergayutan di atas langit negeri ini, sehingga pelangi bisa tercipta. Subhanallah...

Saat ini belum lagi anggaran tambahan untuk mengatasi pasca gempa di Aceh dan Nias, juga kesiagaan di pulau-pulau terluar nusantara di hitung, keburu flu burung menyerang kembali. Puluhan mungkin ratusan ribu unggas telah tewas, bahkan diperkirakan flu burung juga telah menulari kucing sebagai hewan peliharaan. Hitung-hitung APBN ( Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dihitung kembali, seperti menyusun anggaran baru yang bisa duakali lipat jumlahnya. Jangan-jangan harga BBM bisa dinaikkan lagi. Waduh!. Lho, memangnya kenapa?!. Oke, biar rakyat semakin mahfum bahwa pemerintah itu memang supersulit. Subhanallah...

Jumlah 17 trilyun rupiah untuk dana kesehatan dan pendidikan yang diambil dari subsidi BBM, dianggap para pakar kita sangat tidak cukup. Apalagi pencairan itu diicrit-icrit (bertahap). Lalu kita mengerti logika pemerintah bahwa jika tidak dipelit-pelitkan, dana yang disektor sekaligus sangat mudah dikorup. Sebenarnya kan urusan dikorup atau tidak itu kan urusan pemerintah, bukan urusan rakyat miskin. Yang pasti kenaikan harga BBM makin memicu laju kemiskinan.









Sekaranglah rakyat harus bangkit, syukur-syukur bisa meletuskan revolusi sosial. Tapi tidak cukup dari sabetan kanan kiri saja. Naikkan " harga diri " dengan kekuatan daya tawar yang hebat: " Kami rakyat miskin, mana duit kami!" ---kepada mereka yang mau main money politic.Ini kesempatan pula bagi para pemulung, anak-anak gelandangan, preman ( jangan cuma beraninya membentak-bentak rakyat yang sama-sama miskin didalam bus kota untuk minta sedekah) , gali, penjahat, dan pengemis, untuk tampil sebagai rakyat miskin yang punya hak atas dana BBM itu.

Tapi apa benar rakyat miskin punya perhatian terhadap dana BBM itu? Mungkinkah rakyat miskin antipati terhadap segala tetekbengek dana BBM itu yang cuma menguntungkan segelintir orang yang mendapat jatah membagi-bagikannya. Apakah para makelar dana BBM itu bisa menjamin hak dasar rakyat seperti kesehatan dan pendidikan?.

Atau rakyat miskin akan nrimo ( pasrah) saja terhadap nasib karena sudah terlalu lelah didera kemiskinan dan bencana?. Presiden Yudhoyono tak cukup tangannya untuk memuaskan semua rakyat miskin karena kelelahan dan menderita juga?. Lagi-lagi rakyat miskin yang sehari-harinya cukup mendaur ulang nasi yang layaknya untuk pangan bebek itu: nasi Aking.

...Selengkapnya...