Wednesday, May 31, 2006

Indonesia, 1992 - 2006





Hanya sedikit malaikat Izrail dikirim Allah ke sini
Sebab Dia tahu - hanya buang waktu
Sementara banyak saudara kembarnya lama tak terlihat di surga
Di depan pintu kamar mereka tertulis pesan:
Sedang bertugas di Indonesia



...Selengkapnya...

Tuesday, May 30, 2006

Bencana Jawa Tengah, Mei 2006















































































































Tuhan, ini titip tanya anak saya padaMu

Gunung Merapi jadi meletus tidak?
Kalau tidak, apakah harus ditebus dengan gempa bumi di Jogja ?
Bencana itu wajib antri untuk ditanggung negeri ini ya, Tuhan?
Kemarin kami menunggui gunungMu seperti menunggui ibu yang sedang hamil tua, tapi tidak juga mengeluarkan kandungannya. Tunggu punya tunggu, ternyata ada ibu lain yang datang belakangan, sedang stress hingga geger otaknya dan tidak diduga mengalihkan perhatian kami lebih seketika. Kami selalu terhimpit dari bawah dan atas ciptaanMu. Rasanya sakit.

...Selengkapnya...

Sunday, May 21, 2006

Pemaknaan Baru Kebangkitan Nasional

Pengertian nasionalisme rentan terhadap manipulasi. Karenanya, harus dilihat siapa yang menggunakannya dan untuk kepentingan apa . Terlebih lagi dengan melekatkan kata "baru" di belakangnya.

Apa sebenarnya makna nasionalisme buat kita ?. Nasionalisme ialah persatuan secara kelompok dari suatu bangsa yang mempunyai sejarah yang sama, bahasa yang sama dan pengalaman bersama. Tetapi definisi seperti itu jarang terjadi. Yang biasa terjadi adalah pemakaian secara spesifik tentang pengertian nasionalisme itu. Untuk menghindari manipulasi terhadapnya, harus dilihat kasus perkasus.

Dalam konteks Indonesia kini, nasionalisme sering dikaitkan dengan semangat pembelaan terhadap negara kesatuan. Seakan-akan nasionalisme ilah negara kesatuan itu sendiri. Jargon NKRI merupakan alasan ampuh untuk pembenaran meredam kerusuhan di berbagai daerah. Menarik untuk dicermati reaksi-reaksi yang bermuatan nasionalis ini, misalnya pada waktu sebelumnya. Kasus perebutan wilayah Ambalat antara Malaysia dan Indonesia yang diikuti dengan pendaftaran ribuan relawan untuk mengamankan wilayah itu, atau pemaksaan oleh sejumlah orang terhadap aktivis Kontras untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya yang berakhir dengan kekerasan, ketika aktivis itu tidak hafal dan dianggap "anasionalis". Atau reaksi keras terhadap "lepasnya" Timor Timur dari Indonesia hingga penolakan terhadap amandemen UUD 1945.

Ilustrasi itu sekedar gambaran tentang artikulasi sentimen nasionalisme Indonesia yang belakangan ini menguat. Bangkitnya sentimen nasionalisme semacam itu tentu saja mengingatkan kita atas sikap dan praktik Orde Baru yang kerap melontarkan jargon "demi persatuan dan kesatuan". Nasionalisme sering diartikan sebagai sikap dan tingkah individu atau masyarakat yang menunjuk loyalitas dan pengabdian kepada bangsa dan negaranya. Padahal, secara empiris, nasionalime tidak sesederhana definisi itu. Dia tidak seperti bangunan statis, tapi selalu dialektis dan interpretatif.

Nasionalisme bukan pembawaan manusia sejak lahir, ia adalah hasil peradaban manusia dalam menjawab tantangan hidup. Dalam sejarah Indonesia misalnya, nasionalisme telah beberapa kali mengalami penafsiran ulang sesuai perkembangan basis materialnya. Sejarah pergerakkannya terlalu riuh rendah dengan berbagai peristiwa yang melatarinya. Bahkan hari kebangkitan nasional yang setiap tahun kita peringati itu, faktanya justru bermula dari primodialisme Jawa yang didirikan pada 20 Mei1908.

Kita memang harus bisa membedakan antara sejarah dan mitos. Sejarah menyangkut fakta, sedangkan mitos berhubungan dengan pemberian makna suatu fakta dalam upaya memberikan ketenangan atau jawaban kepada masyarakat.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa yang baru merdeka ini harus berjuang mencegah kembalinya penjajah Belanda. Saat itu, pemimpin bangsa berusaha mengobarkan semangat persatuan dengan mengenang kembali berdirinya " Budi Utomo " dengan istilah " Kebangkitan Nasional ". Untuk masa perang kemerdekaan, memang diperlukan penciptaan mitos ini. Meski faktanya Budi Utomo itu hanya menyangkut orang Jawa-- terutama nasionalisme Jawa--dikatakanlah bahwa seolah semangat Budi Utomo itu merupakan semangat nasional. Jelas bahwa Kebangkitan Nasional semacam ini adalah mitos untuk memberi semangat kepada rakyat, sesuai jiwa zeitgeist (jiwa zaman).

Sekarang zaman sudah berubah. Tantangan yang dihadapi bangsa ini juga sudah berbeda. Sudah seharusnya kita perlu pemaknaan kembali tentang peristiwa 20 Mei 1908 itu, setelah kita menyadari perbedaan mitos dan fakta dari penelitian para sejarawan.

Secara umum, kita mengutamakan kepentingan bangsa di atas segalanya. Dalam definisi itu, apapun bisa masuk. Kalau argumen negara kesatuan penting untuk mengembangkan bangsa, tetapi kalau ada yang mengatakan negara federal akan lebih baik bagi peningkatan kesejahteraan kita sebagai bangsa, itu juga nasionalisme. Prioritasnya ada pada kegunaan untuk mencapai tujuan, dengan berbagai cara.

Kita perlu kebangkitan nasional baru dengan situasi nasional terkini, bukan dengan menciptakan mitos baru. Upaya revolusioner memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme yang menghancurkan ekonomi negara ini, membangkitkan kembali kecintaan kepada Tanah Air dengan tidak mengobral aset-aset negara kepada pihak asing, menghargai kearifan lokal dengan keleluasaan otonom yang diberikan, adalah kebangkitan nasional baru.

Bagi para pemimpin negara ini, ia harus bersama rakyat dan berjuang untuk rakyat. Ia harus mampu merebut kesempatan dengan membuat keputusan cepat pada saat kritis, meneriakkan perlunya menyinergikan nation and character building untuk kebangkitan nasional baru. Jika tidak, kita memang masih berhenti pada tahap terpesona dengan ritual dan mitos sejarah.

...Selengkapnya...

Thursday, May 18, 2006

Maaf dan Terima Kasih

Saya tanya sungguh-sungguh kepada Toni, teman saya, orang Bali," Ton, apa benar orang Bali tidak mengenal ucapan maaf dan terimakasih? Mengapa?".

Dia membenarkan dan kemudian menjelaskan. Orang Bali tidak mengucapkan maaf dan terima kasih tetapi melakukannya. Jawabannya membuat saya terdiam, tapi saya katakan dengan lirih bahwa saya tidak pernah tahu tentang hal itu dan saya rasa perlu dipelajari juga oleh orang Barat.

Para pelacong dari luar Bali juga sering menanyakan hal itu sampai pada tahun 50-an, bahkan tembus ke tahun 60 an. Tetapi sekarang tidak lagi. Bukan karena jawaban dan penjelasannya sudah diberikan, tetapi karena orang Bali sudah mulai mengucapkannya dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dalam melayani pelancong. Disamping itu bahasa dalam lontar, pewayangan dan teater tradisipun sudah dioper ke dalam percakapan, sehingga terimakasih dan maaf sudah mulai diucapkan oleh orang Bali. Ini kemajuan atau kemunduran?.

Penonton Indonesia dikenal sebagai sopan tetapi pasif. Mereka menyaksikan apa saja dengan menutup mulut dan tidak banyak komentar. Hal ini membingungkan pelaku konser rock, karena tidak seorangpun ikut berjingkrak dan edan ketika mereka sudah jumpalitan setengah mati di atas panggung. Tetapi itu dulu.

Sekarang penonton dangdut sudah seperti edan ketika musik berbunyi. Mereka bisa lebih hot dari apa yang terjadi di panggung. Tidak jarang terjadi perkelahian dalam konser rock atau penyerbuan ke panggung sehingga panggung roboh dan mengakibatkan jatuh korban. Ini kemajuan atau kemunduran?.

Mungkin yang lebih jelas adalah di dalam percintaan. Secara literal atau harafiah, ucapan mencintai bukan tak ada dalam bahasa daerah maupun dalaam bahasa Indonesia. Tetapi prakteknya hanya mulus dalam sastra teater dan lagu.

Ketika terjadi peristiwa nyata yang memerlukan ekspresi vokal, semua itu menjadi seperti sulit diucapkan. Namun bahasa Inggris menolong. Dan orang tidak segan-segan untuk memilih mengucapkan "I Love You" daripada "Aku cinta padamu". Ini kemajuan atau kemunduran?

Di dalam undangan pernikahan, kini sudah tercantum kalimat baru, " Terima kasih Anda tidak memberikan ucapan selamat dalam bentuk cenderamata. Sedangkan di jalanan, dari ancaman klassik masa lalu yang terbaca: " Awas ada perbaikan", sekarang bunyinya jadi berbeda. "Maaf, perjalanan anda terganggu."

Sepintas lalu, seakan-akan kita kini menjadi lebih vokal dalam sopan santun dan mengekspresikan perasaan. Dan itu pasti tidak sedikit akibat imbas banyaknya membaca buku, nonton film asing, kursus-kursus kepribadian dan arus kunjungan pariwisata mancanegara. Kita ingin menunjukkan diri bahwa kita tahu etiket pergaulan. Kitapun mencoba idiom yang sudah menjadi aturan di dalam pergaulan internasional. Demi keindahan penampilan.

Dengan alasan serupa, pejabat dan pemerintah pun sekarang sudah mulai tak segan-segan untuk meminta maaf, baik kepada masyarakat/rakyat/bawahannya, karena tak dapat memenuhi tugas/kewajibannya sebaagaimana yang diharapkan. Meskipun demikian, diikuti dengan berbagai apologi yang buntutnya justru menyerang, bahwa maaf itu sama sekali tidak perlu, karena sebenarnya kesalahan berada di pihak orang lain atau paling sedikit keadaannyalah yang salah. Ini kemajuan atau kemunduran?.

Apa sebenarnya arti kemajuan dan kemunduran itu sendiri?. Apakah kita sudah boleh dianggap maju karena kita sudah fasih untuk mengutarakan perasaan?. Bagaimana kalau kefasihan itu sebenarnya hanya untuk menutupi atau malah menghapuskan praktek yang bertentangan di dalam perbuatan nyata?. Apakah orang yang bersalah menjadi hilang kesalahannya karena sudah meminta maaf ?. Apakah seorang pejabat dapat menjabat terus jabatannya asal sudah cepat-cepat memohon maaf atas semua keteledoran dan kesalahannya yang memalukan bangsa?.

Kita mendapat banyak pelajaran dari negeri maaf dan terima kasih (Barat). Disana para pejabat yang korup atau terlibat skandal tak hanya minta maaf, tapi kontan mengundurkan diri, semacam "harakiri" atas kesalahannya.

Apakah kita mundur, kalau tidak mampu merumuskan dalam laporan, padahal semua yang menjadi tugas atau rencana berjalan beres?. Bertambah wibawakahkah seorang lelaki karena dia dipuji, atau justru sebaliknya, ia menjadi begitu memancarkan kewibawaan karena hanya diam. Kita pernah mendengar pepatah "diam adalah emas".

Mudah-mudahan semua maaf yang berlaku di negeri ini bukan hanya sekedar upacara tanda basa-basi, tetapi pertemuan hati ke hati. Kita ucapkan dan kita lakukan sekaligus untuk lebih menyemarakkan, bukan menggantikan. Bukan diucapkan untuk dilaksanakan tetapi karena sudah dilaksanakan maka diucapkan. Maju atau mundurnya sangat tergantung darimana kita melihatnya, serta untuk apa kita menilainya.

...Selengkapnya...

Wednesday, May 10, 2006

Buruh Migran

Cerita tentang buruh migran di luar negeri selalu saja mewartakan kisah perih. Bukan saja karena seringnya kasus yang menimpa mereka mulai dari penganiayaan, pemerasan, kekerasan hingga perlindungan hukum yang tidak jelas, tetapi juga karena sering kali diikuti berkembangnya praktek perdagangan manusia ( trafficking ) dengan berbagai dimensi. Celakanya, banyaknya kasus yang menimpa buruh imigran itu ternyata tidak juga mampu ditangani secara baik oleh pemerintah. Keberadaan mereka sering terlupakan dalam setiap kebijakan.

Satu diantara beberapa hal yang ikut memberi andil dalam pemarginalan buruh migran itu adalah stereotip konseptual yang menganggap bahwa migrasi adalah respons sosial atas kemiskinan daerah asal. Meski tidak sepenuhnya benar, namun mitos kemiskinan tampaknya juga memberi warna pada fenomena migrasi ini. Mitos inilah yang melemahkan posisi buruh migran dalam seluruh aktivitas pasar kerja, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. Buruknya posisi tawar pekerja itu diperparah lagi dengan kebijakan penempatan tenaga kerja internasional tanpa dasar jaminan perlindungan kepada migran pekerja, seperti yang dialami buruh migran di beberapa negara seperti Arab Saudi, Malaysia dan Singapura.

Persoalan buruh migran di luar negeri memang sangat kompleks. Terjadinya mobilitas tenaga kerja internasional yang terus meningkat itu, selain karena sulitnya bekerja di Indonesia, persaingan juga semakin ketat, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kebanyakan TKI adalah kelas menengah ke bawah dan rata-rata berpendidikan rendah. Adalah pilihan rasional ketika mereka menjatuhkan pilihan untuk menjadi buruh migran di luar negeri dengan tingkat upah yang lebih menjanjikan.

Namun dalam realitasnya, seringkali persoalan buruh migran menjadi "tragedi kemanusiaan" atas nama pembangunan. Padahal, dalam konteks pembangunan, keterlibatan kelompok migran ini tidak lagi dapat dipandang sebagai kelompok marginal, tetapi juga kelompok yang punya kontribusi besar sebagai penyumbang devisa negara.

Yang lebih memprihatinkan, aktivitas migrasi ( terutama perempuan) yang berlangsung dari negara-negara berkembang ke negara-negara industri maju, seringkali terjebak ke dalam perangkap trafficking. Berbagai konsekuensipun muncul, mulai dari perbudakan, pelacuran, sampai berperan sebagai prostitusi yang meraup keuntungan ganda dari industri seks. Sementara, peran dan keperdulian pemerintah terhadap mereka sangat minim. Keberadaan pekerja migran hanya dijadikan pelengkap penderita yang dapat diperah dan dieksploitasi.

Ironis. Ketika perolehan devisa negara menunjukkan peningkatan dari pengiriman tenaga kerja, namun terhadap buruh migran ini tidak pernah dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam proses pembangunan. Tidak pernah ada kebijakan publik yang berpihak kepada mereka, tidak ada pertimbangan untuk memberikan penghargaan kepada para buruh migran, baik di negara tujuan maupun di negara asal. Realitas mereka secara ekonomi-politik benar-benar terlupakan.

Bisakah pemerintah mempertimbangkan terciptanya peluang kerja berdasarkan kekuatan dan potensi lokal?. Jika tidak, mengapa tidak ada perangkat aturan sebagai dasar hukum yang melakukan kontrol serta melindungi seluruh aktivitas migrasi?. Sudah terbentukkah reorientasi program pembangunan melalui perencanaan matang dengan memprioritaskan terciptanya peluang usaha?.

Kalaupun realitas berkata bahwa posisi buruh migran belum sepenuhnya terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pembangunan, namun hal itu bukanlah sebuah justifikasi untuk terus melakukan dan menumbuhkembangkan segala bentuk eksploitasi dan kekerasan struktural terhadap mereka. Hentikan berbagai tragedi kemanusiaan atas nama pembangunan!.

...Selengkapnya...

Thursday, May 4, 2006

Memahami Gejolak



" Lain lubuk , lain pula ikannya ". Pepatah itu ternyata tidak berlaku untuk persoalan yang mendera para pekerja di bumi pertiwi ini. Tengok saja, meski berada di daerah yang berbeda, fenomena upah minimum kota/kabupaten ( UMK ) terus bergulir menjadi persoalan yang sama bagi para pekerja. Mayoritas mereka menilai UMK tidak berbanding lurus dengan kebutuhan hidup sehari-hari.

Secara fundamental, upah memiliki porsi yang strategis dalam konteks hubungan industrial, terutama dalam sistem yang tidak memiliki sistem perlindungan sosial yang progressif seperti Indonesia. Artinya, buruh harus menyediakan sendiri jaminan kesehatan dan tunjangan hidupnya.

Berbeda dengan negara maju, penghasilan buruh walaupun kecil tetap mendapat dukungan dari negara, seperti pendidikan, health care dan anak. Karena sifatnya yang krusial dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan buruh, upah menjadi isu yang sangat mendorong ketidakharmonisan di tempat kerja dan seringkali berakhir dengan pemogokan industrial. Apalagi dalam sistem yang cenderung tertutup dimana proses negosiasi di tingkat perusahaan belum sepenuhnya bisa diandalkan.

Depnakertrans mencatat bahwa upah menduduki peringkat pertama dalam daftar penyebab kemogokan. Meski seluruh proses diklaim mencerminkan apa yang disebut kebebasan berserikat dan berunding bersama (terutama karena buruh memiliki kesempatan untuk mengartikulasikan kepentingannya), namun secara teoritis proses itu sebenarnya jauh dari esensi hak itu sendiri.

Ini menunjukkan buruh memiliki keterbatasan dalam melaksanakan hak berserikat dan berunding bersama, walaupun banyak dan kuatnya instrumen hukum melindungi hak tersebut.

Padahal secara hukum, baik buruh maupun pengusaha memiliki hak yang sama untuk berunding bersama. Ini sejalan dengan pikiran dalam Konvensi Inti ILO (ILO Core Convention) yang mengatur lima pokok pikiran, yaitu organisasi perwakilan bagi kedua pihak, dialog sosial, perundingan kolektif, hak untuk mogok, dan penyelesaian konflik. Tujuannya untuk melindungi kepentingan masing-masing melalui apa yang disebut sebagai perundingan bersama sebagai urat nadi hubungan indistrial. Bagi perusahaan, melalui mekanisme perundingan bersama jauh lebih efisien dibandingkan perundingan individual. Begitu pula sebaliknya bagi buruh, perundingan bersama meningkatkan posisi tawar menawar buruh secara positif. Ini yang menjadi alasan mengapa perjanjian kerja bersama (PKB) merepresentasikan wujud dan mekanisme negosiasi yang lebih demokratis dan ekonomis.

Sayangnya, banyak contoh kasus justru mementahkan preposisi itu. Dalam bernegosiasi sering kali buruh menghadapi dilema yang tidak memungkinkan mereka menegosiasikan kepentingan mereka secara maksimal. Ini dapat dilihat dari pengalaman di lapangan. Salahsatunya diceritakan bahwa buruh, sebelum dan masa perundingan, diminta untuk "memahami" posisi perusahaan yang sedang "sulit" karena buruknya situasi pasar. Merasa "tertekan" dengan masukan-masukan dari pihak manajemen, para buruh memutuskan untuk mengambil "jalan aman". Tujuannya agar mereka tetap bekerja, terlepas dari betapa sulitnya mereka harus memenuhi kebutuhan mereka setelah itu.

Sepanjang catatan yang ada, UMK/UMP yang ditetapkan biasanya hanya mencakup 87% - 93% kebutuhan hidup layak ( KHL) bagi buruh lajang. (Ini belum ditambah fakta bahwa patokan nilai KHL yang dipakai seringkali lebih rendah daripada yang dibayarkan oleh buruh). Persoalan akan bertambah jika seorang buruh harus menghidupi anggota keluarganya yang lain.

Buruh tidak bisa lagi diharapkan sebagai mesin pembangunan sosial dan politik negara. Fungsi serikat hanya sebatas "boneka bayangan" sebagai stempel tunduknya negara kepada persyaratan-persyaratan yang tersirat dalam Konvensi ILO. Karenanya serikat buruh tidak bisa lagi diharapkan menjadi alat perjuangan buruh. Dampaknya jelas, keanggotaan serikat buruh semakin menurun, yang pada akhirnya akan menghancurkan legitimasi serikat buruh dalam tataran yang lebih luas.

Ini berakibat kepada penggerogotan hak berserikat dan berunding bersama serta kekosongan hak-hak terebut. Ini menyebabkan kesulitan untuk melaksanakan dialog sosial dan tatanan pemerintahan yang baik pada tataran industrial. Matilah potensi buruh sebagai salahsatu kekuatan masyarakat sipil yang berdaya. Buruh justru akan menjadi kelompok "anak mama" yang sebenarnya menyuburkan potensi perlawanan dan berakibat kepada pergolakan sosial yang harganya justru lebih mahal.

Hak untuk berserikat dan berunding bersama jelas menuntut kedua belah pihak untuk bernegosiasi dengan niat baik dan saling percaya satu sama lain. Kepentingannya adalah mendorong proses produksi yang berkesinambungan. Bisa dipahami jika perusahaan juga menghadapi persoalan kompetisi pasar, tetapi alur pikir kita juga harus diubah menjadi "buruh yang sehat dan bahagia" yang menghasilan produktivitas yang tinggi.

Bukan buruh yang harus memahami situasi pengusaha yang kesulitan menghadapi kenaikan biaya dampak kenaikan BBM. Pemerintah, pada titik pertama harus mulai menghilangkan kebiasaan buruk yang berdampak pada tingginya biaya-biaya siluman ( diduga 20% dari total biaya produksi) yang harus dibayar oleh pengusaha.

Karenanya, UMK/UMP merupakan isu bersama yang harus menjadi perhatian setiap unsur di negara ini. Sama halnya seperti kita berbicara tentang bagaimana mengefisienkan anggaran pemerintah ataupun meningkatkan alokasi anggaran untuk kesehatan dan pendidikan. Begitu pula seharusnya kita memikirkan bagaimana memberikan kompensasi yang lebih tepat dan manusiawi kepada buruh. Perlu good governance yang dapat menyinergikan seluruh potensi dan sumber daya yang ada untuk penciptaan kondisi kerja yang layak.

Ini akan memungkinkan buruh untuk mempraktekkan hak berserikat dan berunding mereka sejalan dengan tujuan nasional bangsa. Dalam jangka panjang, para buruh tersebut akan menjadi kekuatan utama bagi demokrasi dan produktivitas negara. Pesimisme dan sinisme terhadap sistem yang dinilai kurang adil hanya akan mengakibatkan buruh memilih instrumen perjuangan sendiri seperti yang ditunjukkan oleh aksi-aksi yang ada. Ini membahayakan banyak pihak termasik buruh itu sendiri, juga negara.

Untuk mengantisipasinya, pendekatan yang lebih terbuka dan kompromistis harus dikedepankan. Kalau tidak, wallahualam. Bukan tidak mungkin, demo buruh yang kemarin diwarnai kerusuhan, pada hari rabu 3 mei 2006 itu, hanyalah "awal" dari pemberontakan yang lebih besar lagi. Inikah yang kita inginkan?.

...Selengkapnya...

Tuesday, May 2, 2006

Menasionalkan Pendidikan Nasional



Permasalahan pendidikan nasional sesungguhnya sangat mendasar dan lebih menyangkut persoalan filosofis. Tapi perbincangan yang ada selama ini hanya mengacu pada problem teknis. Padahal, cara-cara teknis praktis itu tidak menjawab permasalahan, tetapi hanya menyembunyikan permasalahan dasarnya.

Cara pandang pendidikan dari segi teknis itu hanya mempersoalkan masalah mikropendidikan. Sebaliknya, persoalan makro, seperti filosofi pendidikan nasional justru tidak pernah disentuh, dianggap telah selesai.

Besarnya persoalan filosofis pendidikan bisa dilihat dari hilangnya identitas pendidikan nasional. Atas nama globalisasi dan persaingan ( tenaga kerja ) global, identitas pendidikan nasional dikaburkan oleh pawang pendidikan nasional dengan cara mengganti identitas nasional menjadi identitas internasional. Ini tampak dari fenomena seperti penyeragaman bahasa ke bahasa Inggris dan teknik komputer pada semua sekolah, tampak pada berdirinya sekolah-sekolah berstandar internasional dan kelas imersi ( kelas yang pengantarnya bahasa Inggris ), serta dari standarisasi pengelolaan pendidikan nasional.

Sekilas membanggakan, seakan kita sudah mencapai mutu internasional. Namun, bila diresapi lebih dalam lagi, internasionalisasi sistem pendidikan itu akan mengantarkan bangsa Indonesia ke lubang kematian. Bila sebagai bangsa tidak punya identitas lagi, sementara kemampuan teknologinya juga masih di bawah rata-rata, apa yang bisa dibanggakan sebagai bangsa ?. Kepentingan identitas nasional ini bukan hanya keperluan kaum chauvinistic, tapi juga mereka yang berpikir rasional. Penghilangan identitas nasional melalui pendidikan formal itu memiliki implikasi sangat luas terhadap kehidupan berbangsa, baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial maupun budaya.

Secara ideologis, anak-anak muda tidak lagi mengenal ideologi negara karena mereka tidak diperkenalkan pada ideologi negara secara benar dan intens. Sejak dini mereka berkenalan dengan ideologi global yang bernama pasar bebas. Tanpa disadari, pendidikan kita akan melahirkan orang-orang yang sejak dini sudah berideologi neo-liberal. Padahal masyarakat Indonesia sangat beragam, sehingga tidak semua warga masyarakat akan terbebaskan melalui pasar bebas. Banyak warga yang memerlukan subsidi dari negara dan pertolongan dari sesama.

Karena ideologi yang dicekokkan sejak dini adalah ideologi kaum neo-liberal, maka sudah pasti sistem politik yang akan berkembang adalah politik kaum dagang. Mereka yang memiliki modal akan memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan.

Secara ekonomi, model pendidikan yang menghapuskan identitas nasional itu akan mendorong tumbuhnya ekonomi global yang tidak berpijak pada kondisi geografis dan demografis bangsa. Secara geografis, Indonesia ini negara agraris, tetapi karena sejak SD diperkenalkan dengan teknologi komputer dan bahasa Inggris, maka orientasi kerja mereka tidak lagi pada sektor agraris dan kelautan, tetapi cenderung berorientasi pada teknologi informatika. Besarnya jumlah penduduk usia muda yang mencari pekerjaan di sektor industri informatika dan lemahnya kemampuan sumber daya manusia kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, akan menyebabkan penumpukan pengangguran di satu pihak dan kekurangan tenaga kerja di lain pihak, khususnya pada sektor agraris dan perairan.

Secara sosial, relasi antar individu yang dibangun oleh anak muda produk pendidikan formal, tidak lagi didasarkan pada solidaritas yang tinggi, tetapi kompetisi yang tinggi. Pendidikan formal sejak dinilah yang memperkenalkan tatanan sosial baru berupa kompetisi. Menurut para penganjurnya, kompetisi dalam mencari lapangan kerja akan sangat ketat sehingga hanya mereka yang memiliki kompetisi tinggi dan mampu berkompetisi sajalah yang akan menjadi pemenangnya. Bius semacam ini meresap pada diri murid, sehingga membentuk perilaku yang kurang solider terhadap sesamanya. Yang muncul justru perilaku yang kompetitif.

Secara budaya, internasionalisasi sistem pendidikan juga menghilangkan sistem nilai yang harus menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak. Nilai-nilai tertentu yang semula menjadi acuan masyarakat untuk bertindak dianggap tidak relevan lagi dengan tatanan ideologi, politik, ekonomi dan sosial masyarakat yang telah berubah seiring dengan perubahan sistem pendidikan.

Sebagai bahan refleksi kita atas nasib pendidikan nasional itu, patut kita ingat kembali Ki Hadjar Dewantoro ( 1937 ), bahwa pendidikan adalah tuntutan di dalam tumbuh kembangnya anak-anak. Pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Namun realitas praksis pendidikan nasional itu tidak mengembangkan kodrat anak, tapi justru mencerabut kodrat anak untuk memenuhi ambisi birokrasi pendidikan dan menyerahkan masa depan mereka pada identitas tunggal yang bernama pasar bebas. Ini sungguh menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi adalah ketika UU no.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sendiri mendorong internasionalisasi sistem pendidikan yang menghilangkan identitas nasional itu dengan menganjurkan agar setiap daerah memiliki satu sekolah bertaraf internasional.

Ini kekeliruan, karena tanpa disadari akan membuat bangsa Indonesia menjadi tidak beridentitas secara sistematik. Jika kita tidak beridentitas, otomatis kita akan dilecehkan oleh negara-negara lain dalam banyak hal, termasuk ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.

...Selengkapnya...

Monday, May 1, 2006

Minggu 1 Pahing




Dalam usia beberapa tahun pohon cemara di muka rumah rebah, tak ada pilihan lain kecuali engkau berniat memahami matahari yang tak jatuh ke sumur, hingga lumut kian subur. Kau tak boleh menanam pohon lain di halaman yang sama, karena kau bukan penjaga kebun yang dapat membagi rata airnya.

Dan aku ingin sekali kau melahirkan patung-patung rusa di pekarangan, sebuah bar kecil, dan seorang anak perempuan berambut ikal yang menyetel televisi sendiri. Maaf, jangan kau pindahkan rumpun pandan dari halaman belakang, karena aku suka wanginya menyebar sampai ke kamar mandi.

Seharusnya kau juga tak gagal mengandung sungai, agar saat aku hanyut dalam peta aku dapat berpegangan pada rambutmu. Menjambaknya!. Sampai disitu aku berharap kau melupakan perahu-perahu yang tak ada jangkarnya, lalu mengingat-ingat kembali obat apa yang pertama kali kau beli saat demam bertahun-tahun. Bagaimana kau menafsirkan daun cemara yang jatuh ke dalam buku harianmu?. Ada anak burung gereja yang mematut-matut tangkainya, di senja hari sambil kau mengingat jalan-jalan ramai yang pernah kau lewati: pasar malam masih tutup, komedi putar, gula-gula dan wahyu yang kau dapati dari beberapa pengeras suara: " Mari membangun fondasi yang pasirnya kita tambang dari pantai sendiri. " Waktu itu kau masih berharap rumah yang dicat kuning dan sebuah kamar dengan gambar penyair Anwar.

Ayolah, tinggalkan rumahmu. Aku harus segera menukar uang asing agar dapat membelanjakan sayuran, membeli bibit cemara, beberapa pot kecil dan sebuah telepon yang dapat membuatmu bicara dengan hati. Apa yang kau tunggu?. Pada sebuah tangga penyeberangan, betapa kau bisa membaca sejarah tentang suara bayi yang hanya singgah.

Aku melihat kesetiaan menjadi sepasang mata yang harus tumpah airnya. Dan dari segala makna yang kuterka, betapa tragedi dengan anggun mampu menisik gorden jendela. Ayolah, tinggalkan rumahmu!.

Mendatangimu yang terbaring, aku nyaris lupa menghitung berapa kali aku gagal membuatmu tersenyum, berapa kali aku lolos dari jebakan macet. Kota ini terlalu kecil untuk 20 juta kendaraan bermotor, pemukiman yang terlalu padat, para urban yang bebas mendirikan bedeng di tanah yang semestinya jadi apotek hidup. Langit sering muram disini. Debu sudah jadi pelengkap bagi menu sarapan pagi. Aku seakan telah jadi bagian kebisingan di sekelilingmu. Kegaduhan para pendemo, jalan raya yang mengecil karena digerogoti pedagang kaki lima, juga persimpangan yang salah arus. Ah, betapa banyak orang sakit di kota ini. Jembatan dan pertokoan dihiasi bendera partai, suara azan yang kalah getar oleh knalpot motor. Bagaimana mungkin seorang pengamen bisa lebih galak dari seorang polisi?.

Melihatmu yang terbaring, kurasakan tatapanmu penuh bicara, sedangkan gerimis seperti menyileti hari-harimu yang memelas. Kota ini telah memberiku catatan demi catatan tentang seseorang yang merasa sangat berharga bila telah memberi, tapi siapakah gerangan yang terhempas bila yang kuat harus menang, dan bukannya siapa yang benar harus keluar dari jeratan?. Kini aku ikut terbaring di atas jerami.

Lalu, sakit itu akan kau letakkan dimana kalau tubuh sudah tak memberi tempat untuk tersenyum?. Terlalu sering kita menaiki anak tangga, tapi tak pernah kita kencangkan tali rekatannya. Padahal dari situ gelombang muncul bersama botol-botol dan menu yang basi, kita terus saja mengayak pasir pada jaring ikan hiu. Kalau bisa terbang, kau tak mungkin akan memilih jadi seekor burung. Sebab tanganmu bukan kepak kakimu, bukan langkah hidungmu, bukan cium matamu, bukan tatap. Hatimu endapan limbah yang mendidih di belakang pabrik.

Sekarang aku kembali pada buku yang berhalaman banyak. Kucari diriku disitu, dimana aku tinggal, sampai dimana aku tertinggal. Aku mulai dari awal menatap, menjejak dan bergerak. Lalu setelah itu biarkan waktu yang bicara.



Aku telah kalah dalam perkelahian massal dengan perasaan sendiri. Terbentur ribuan kali selama belasan tahun. Bicaralah Pram, tentang rumah yang diramaikan tawa anak-anak dan suara-suara daun di tengah malam. Betapa aku haus seribu sumur dan ladang yang menanam cahaya matamu. Tak ada kekayaanku selain puisi, tak ada mawar bisa kucium selain di tamanmu. Bicaralah Pram, sebelum awan jadi bendungan mendung dan lahar menguap ke udara. Kekalahanku begitu menyesakkan, sebab semua telinga tersumbat harum ruang tamu. Sedang suara-suara mereka seperti bendera tanpa negara.

Tak ada yang dapat kubanggakan selain ketulusanmu, yang dapat mematahkan seratus pilar kabut di sepanjang perjalananku. Kekalahanku ini telah memberiku luka, tapi aku bertahan karenamu. Bicaralah Pram, sebelum aku kehabisan darah dan semangat untuk membangun jalan menuju alamatmu. Aprilmu lebih hampa dari payung yang diterbangkan angin. Lebih sedih dari sebuah puisi sedih. Tidak adakah sedikit tempat di dunia ini untuk merahasiakan dukacita ini?. Aku punya pinsil biru untuk hari rabu, juga yang kelabu untuk hari Sabtu. Tapi tak ada kalimat yang kuasa merayakan jiwaku yang pucat. Sakit bukan lagi sakit dan tangan bukan lagi tangan. Aku menulis seharian, melukis semalaman. Kemanakah lenyap terbawa pensil putih hari-hari sedihku?. Kenapakah harus kurahasiakan lilin doa yang sia-sia menyala?. Entah tiba pada siapa Aprilmu. Entah menghampiri siapa Aprilku, karena payung yang kemarin petang tak bisa lagi bersilang jalan dengan puisi sedih yang sekarang...





Untuk : Pramoedya Ananta Toer


minggu pagi tigapuluh april
tahun duaribu enam masehi



...Selengkapnya...