Friday, July 21, 2006

Bencana Jawa Barat, Juli 2006




Bencana dan petaka silih berganti menerpa bangsa ini, tapi nyaris tidak ada pelajaran yang bisa dipetik. Setiap kali ada musibah, kita seolah dihadapkan pada suatu keadaan baru. Sepertinya tidak ada model baku yang bisa digunakan untuk mengatasi masalah.


Tengoklah ke Jogja dan sekitarnya setelah kawasan itu porak poranda akibat gempa 27 Mei bulan lalu, atau tsunami Pangandaran 17 Juli kemarin.































Penanganannya selalu semrawut. Mulai dari evakuasi korban, penyaluran bantuan, pengadaan tenda darurat, rumah sakit dan makanan tetap bermasalah. Juga soal rehabilitasi dan rekonstruksi. Apalagi penanganan terhadap anak-anak. Mereka cenderung diabaikan dalam suasana bencana maupun aman. Padahal mereka inilah tempat kebenaran berdomisili.

Kultur kita memang tidak memberi tempat kepada anak-anak. Siapa yang perduli kepada mereka ketika tsunami menerpa Aceh dan Pangandaran, juga gempa yang menggoyang Jogyakarta dan sekitarnya?. Tidak ada standar penanganan anak-anak dalam bencana. Kalaupun ada kegiatan menghimpun anak-anak, mendongeng dan menghibur mereka, mengajak bermain dan melupakan trauma, pastilah itu ikhtiar swasta dan para aktivis.

Pemerintah sibuk menghitung korban yang tewas, gedung yang runtuh serta dana rehabilitasi dan rekonstruksi. Malah ada yang mulai mengalkulasi untung di balik proyek rehabilitasi dan rekonstruksi.

Amat kecil kepedulian kita kepada anak-anak. Bantuan yang disalurkanpun lebih banyak untuk kepentingan orang dewasa. Keluhan tentang kekurangan susu dan makanan bergizi selalu berulang setiap ada bencana. Bantuan berupa buku tulis, buku bacaan, alat tulis, tas sekolah dan pensil nyaris tidak pernah terdengar. Nanti kita baru tersentak setelah beredar kabar bahwa anak-anak di bawa ke luar negeri oleh orangtua asuh. Atau isu anak-anak korban bencana yang diperjualbelikan. Perhatian kita baru terbatas pada olah vokal dan cenderung menghindar ketika harus berbakti nyata.

Apa yang dilakukan oleh sejumlah aktivis terhadap anak-anak di tengah bencana patut diapresiasi. Pemerintah seharusnya bersinergi dengan menyiapkan sarana dan prasarana yang diperlukan aktivis.

Anak-anak adalah pemilik masa depan. Di tengah bencana, di tengah badai dan di tengah patahan bumi sekalipun, anak-anak adalah titik api yang tidak boleh padam. Kesadaran menyiapkan anak-anak sebagai anak panah yang melesat ke masa depan haruslah tumbuh menjadi kesadaran kolektif, tidak hanya sekelompok aktivis.

Kita tidak ingin ada generasi yang hilang setelah bencana.



...Selengkapnya...

Saturday, July 15, 2006

Good Governance: "Pemanis Mulut"

Istilah Good Governance tidak asing bagi sebagian orang. Istilah itu mengemuka sejak 1990-an seiring dengan interaksi antara pemerintah Indonesia dan negara/lembaga donor yang menyoroti kondisi objektif perkembangan ekonomi dan politik dalam negeri. Namun bukan berarti semua mampu mendefinisikan dengan tepat arti Good Governance ini.

Meskipun istilah Good Governance seringkali terucap dalam berbagai peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertiannya bisa berbeda satu dengan yang lain. Sebagian mengartikannya sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasi masyarakat yang memenuhi prasyarat tertentu. Pendapat lain ada yang mengaitkan Good Governance sebagai penopang stabilitas demokrasi itu sendiri melalui peniscayaan adanya civil culture.

Bank Dunia mendefinisikan Good Governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien. Dalam Good Governance juga ada penghindaran salah satu alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frame work bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Di Jakarta, Gubernur DKI Jakarta Soetiyoso mendorong jajarannya untuk mewujudkan prinsip ini dilingkungan instansinya masing-masing. Penerapan prinsip Good Governance diharapkan mampu menciptakan fungsi pengawasan yang lebih luas dari masyarakat umum. Peran masyarakat juga diharapkan mampu mengeliminasi terjadinya kecurangan dan manipulasi yang hanya akan menguntungkan kelompok tertentu. Namun demikian, tetap ada kelemahan dan kekurangan dalam penerapan prinsip ini di lingkup pemprov DKI Jakarta. Salah satu contoh riil nya adalah kasus hilangnya kayu sitaan sebanyak 200 meter kubik yang disimpan di gudang Dinas Kehutanan DKI awal Februari lalu. Sekitar 700 meter kubik kayu selundupan hasil sitaan TNI Angkatan Laut ini rencananya akan dijadikan bukti dalam persidangan. Belakangan jumlahnya menyusut tinggal 500 meter kubik. Badan Pengawasan Daerah ( Bawasda ) DKI Jakarta menduga adanya keterlibatan oknum dinas kehutanan DKI.

Lemahnya penerapan prinsip ini juga terlihat dalam kelambanan Pemrov DKI Jakarta menindaklanjuti keluhan dan pengaduan yang masuk dari warga masyarakatnya, minimnya tanggapan layanan pesan pendek (sms) ke presiden. Padahal seperti yang kita ketahui, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membuka layanan pesan pendek dan kotak pos 9949 untuk menampung pengaduan dan saran dari masyarakat. Hingga 14 Februari 2006 pihak kepresidenan meneruskan 347 surat kepada 31 pemda. 6,34% atau sekitar 22 surat yang telah ditindaklanjuti. Di DKI Jakarta, dari 29 surat yang diterimanya belum satupun ditindaklanjuti.

Kecenderungan melakukan praktek yang jauh dari prinsip Good Governance ini bukan monopoli pemda. Di tingkat pusatpun tidak bebas dari fenomena itu. Contohnya adalah 30 pegawai negeri sipil (PNS) di Direktorat Sertifikasi Kelaikan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan yang merangkap jabatan sebagai pilot pesawat komersil. Terhadap kejadian ini memang tidak ada aturan yang melarangnya. Namun inspektur yang menjadi pilot dapat memicu konflik kepentingan, sehingga perlu ada pertanggungjawaban yang jelas antara pengawas atau pilot. Inspektur yang bekerja di perusahaan penerbangan komersil akan sulit bersikap objektif menilai keselamatan penerbangan di maskapai tempatnya bekerja. Bahkan bukannya tidak mungkin inspektur yang merangkap menjadi pilot itu enggan memberikan sanksi kepada perusahaan penerbangan yang telah memberinya nafkah beberapa kali lipat daripada yang diterimanya sebagai PNS. Di lain pihak merekapun enggan melepas status PNS karena bisnis penerbangan yang tidak selamanya bisa dijadikan pegangan.

Selain itu, juga ada kebiasaan lama pemerintah menempatkan pejabat setara eselon satu--secara ex officio--menjadi komisaris di berbagai BUMN. Pada pemerintahan yang lalu misalnya, menteri BUMN Laksamana Sukardi merangkap jabatan sebagai komisaris utama Pertamina. Perangkapan jabatan seperti itu lebih besar peluangnya bagi pejabat untuk terlibat penyalahgunaan kekuasaan, anggaran negara atau daerah, dibanding pejabat yang berbisnis secara transparan. Bentuk dwifungsi ini juga sangat rawan disalahgunakan.

Pada prinsipnya, penerapan Good Governance sesungguhnya adalah jawaban terhadap tantangan masa depan. Jika hingga kini masyarakat masih merasakan sulitnya membangun Good Governance, itu karena KKN ( Korupsi Kolusi Nepotisme ) memang sudah menjadi budaya. Sepertinya upaya yang sudah dilakukan selama ini harus lebih ditingkatkan lagi dengan melibatkan lebih banyak pihak, baik di pemerintahan maupun non pemerintahan. Mungkin perlu juga dilengkapi dengan berbagai kajian ilmiah yang mendasari setiap kegiatan pemberantasan KKN, sejalan dengan konsistensi kita dalam penegakan hukum ( law enforcement ).


...Selengkapnya...