Friday, August 25, 2006

Membonsai Komisi Yudisial

Perseteruan Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial belum juga reda. Langkah Komisi Yudisial mempercepat lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang kian menciutkan nyali Mahkamah Agung.

Perppu tentang Perubahan atas UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial itu kian memperkuat posisi komisi tsb. Misalnya, Komisi Yudisial menyeleksi hakim agung yang diperpanjang usia pensiunnya. Juga disebutkan, para hakim wajib memenuhi panggilan Komisi Yudisial. Ada pula pasal yang menyatakan Komisi Yudisial bisa meminta Komisi Pemberantasan Korupsi menyelidiki penyalahgunaan wewenang yang dilakukan para hakim.

Pimpinan Komisi Yudisial selain telah membahas perppu tersebut dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, juga telah berkonsultasi dengan Menteri Sekretaris Negara.

Kelahiran Komisi Yudisial membuat para hakim gerah. Apalagi setelah Komisi Yudisial melansir perlunya seleksi ulang para hakim agung. Tidak tinggal diam, sebanyak 40 hakim agung mengajukan uji materil UU No.22 Tahun 2004 itu kepada Mahkamah Konstitusi. Para hakim Agung menyatakan Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Juga disebutkan Komisi Yudisial tidak berwenang mengusulkan dan menjatuhkan sanksi kepada para hakim karena sudah ada di Majelis Kehormatan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Salah satu tuntutan reformasi adalah penegakan hukum dan pemberantasan semua bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Dan Komisi Yudisial lahir atas perintah konstitusi untuk mengawal terwujudnya semua tekad tersebut. Karenanya, jika ada yang resisten terhadap kehadiran lembaga tersebut, patut dipertanyakan. "Ada apa?".

Para hakim agung menempuh cara uji materil atas UU no.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial adalah halal. Tapi menganggap hakim--termasuk hakim agung--adalah malaikat yang tidak boleh dikontrol itu namanya jalan menuju kehancuran.

Harus diakui bahwa praktek mafia peradilan yang membelit bangsa ini berujung pada Mahkamah Agung. Mahkamah Agung yang disebut sebagai benteng terakhir bagi pencari keadilan ternyata kian rapuh. Banyak kasus dengan terang benderang menunjukkan itu. Sinisme "ada uang ada kemenangan"sepertinya memang bukan guyon.

Kita membutuhkan kehadiran lembaga-lembaga kontrol yang memperkuat pilar-pilar penegakan hukum. Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi membawa hawa baru dalam usaha pemberantasan korupsi. Kehadiran Komisi Yudisial yang mulai membongkar borok-borok mafia peradilan patut mendapat apresiasi. Bukan malah membonsai dan memandulkannya.

Lembaga-lembaga hukum dan peradilan termasuk yang paling lamban melakukan reformasi diri. Akibatnya, penegakan hukum carutmarut. Dan penyumbatnya, sangat disayangkan, ada di Mahkamah Agung.

...Selengkapnya...

Sunday, August 20, 2006

W a r i s a n

Dalam hidup yang berat dan sulit, selalu dibutuhkan tokoh pemenang yang gemilang sebagai pujaan yang berbeda dari yang lainnya, tokoh pemimpin. Manusia yang ditokohkan itu sering dituntut berbuat lebih dari kemampuannya dan memberikan kinerja dewa-dewa. Iya, jadi dewa selama mampu memberi. Kalau gagal?. Dicampakkan tanpa pertimbangan apapun jasanya. Padahal yang diwariskan untuk generasi mendatang jauh lebih sakti dari yang bisa dibayangkan orang.

Padahal kita tahu setiap pemimpin punya gaya dan siasat kepemimpinan yang berbeda, tergantung pribadinya dan situasi lingkungan maupun tantangan-tantangan yang dihadapinya. Tidak mudah menilainya, apalagi memang tidak ada pemimpin yang sempurna. Kalau disimak sejarah para pemimpin besar kita, khususnya para mantan presiden, tentunya yang dapat dijadikan pelajaran untuk generasi mendatang tidak melulu ketidaksempurnaan mereka, tapi juga warisan penting yang layak dipertahankan sampai saat ini.

Pemerintahan Bung Karno--pemerintahan the founding fathers--





adalah pengurus perubahan dari masyarakat jajahan menjadi masyarakat merdeka yang mengidamkan demokrasi. Dalam mengantisipasi perubahan ini, dibangun Pancasila sebagai pegangan hidup untuk menanggapi tantangan selanjutnya bangsa ini. Para founding fathers menganggap tidak mungkin sebuah negara yang masyarakatnya heterogen akan selalu sepaham dengan pandangan politik ekonomi dan sosial. Kenyataannya memang begitu. Sejak proklamasi kemerdekaan hingga kini, para elite tidak henti-hentinya bersilang pendapat tentang paham dan cara pemerintahan. Parlemen menjadi forum semakin panas, hingga Bung Karno pernah mengeluarkan gagasan Nasakom ( nasional, agama, komunis), tetapi gagal. Untuk seterusnya, istilah Nasakom mengingatkan kita pada usaha musykil seorang pemimpin untuk mempersatukan bangsanya.

Pemerintahan pak Harto kita kenal dan akui sebagai Bapak Pembangunan di berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi dirancang secara berencana setiap lima tahun, GNP/capita melonjak berlipat-lipat, dan kestabilan lebih terjaga.




Pak Harto beranggapan bahwa untuk kelancaran pembangunan di berbagai bidang, kestabilan harus terjaga. Untuk menyiasatinya, ia menjalankan konsep Dwifungsi ABRI yang dilegitimasi oleh MPR. Untuk menjamin persatuan dan kesatuan, Pancasila disaktikan. Semua orang dilarang melakukan tindakan-tindakan yang berlatar SARA.


Tidak adil membandingkan warisan dari pemerintahan masa Bung Karno ( 22 tahun) dengan pak Harto (32 tahun) dengan tiga mantan presiden yang berikutnya di masa reformasi. Yang patut dicatat: Pak Habibie mencanangkan kebebasan pers.




Gus Dur: berupaya membebaskan kehidupan umat
beragama dari campur tangan negara dan memungkinkan pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu.







Ibu Mega: memfokuskan kegiatan pada upaya pemberantasan KKN.

Ini menandakan ada warisan para mantan presiden yang selayaknya tidak kita lupakan, karena penting untuk kelangsungan NKRI maupun persatuan bangsa.

...Selengkapnya...

Monday, August 7, 2006

Israel "musnahkan" Libanon

Akankah Libanon lenyap dari peta bumi?. Kemana saja mantra suci "kedaulatan negara" yang pantang dilanggar itu?. Akankah agresi Israel berakhir pada aneksasi?. Serentetan pertanyaan menggelayuti publik dunia ketika tidak ada satupun negara asing yang menolong Libanon di ambang "kepunahan".




Iran dan Suriah berikrar akan membantu Hezbollah. Hezbollah adalah entitas tunggal, sedangkan Libanon adalah entitas multikultural yang sulit didefinisikan di mata Suriah dan Iran. Hezbollah adalah "sekutu sejati", sedangkan Libanon adalah sewaktu-waktu bisa menjadi musuh atau sekutu.

Dilihat dari akar sejarah dan ideologis, Hezbollah adalah "anak kandung" hasil perkawinan yang sah antara Suriah dan Iran. Suriah menyiapkan wilayahnya dan Iran menyuplai tentara berikut senjatanya. Dalam konteks demikian kita memahami bahwa Iran melalui Presiden Ahmadinejad berikrar akan membantu Suriah jika diserang oleh Israel.




Akankah nasib Libanon berakhir tragis?. Lihat saja Dewan Keamanan PBB gagal memberikan resolusi menghentikan Israel. Padahal, kesalahan Israel sangat fatal dalam tatanan hubungan internasional, yaitu melakukan agresi militer terhadap negara yang berdaulat. Dalam konteks ini sanksi yang semestinya diterima Israel yaitu : "dikeroyok" pasukan multinasional.

Tampaknya usaha ini akan sia-sia hingga saat ini tidak ada satu kekuatan apapun di muka bumi ini yang mampu menghentikan Israel. Tinggallah Libanon hanya sebagai negara di atas kertas yang terdaftar sebagai anggota PBB. Soal eksistensi dan signifikansi, Libanon telah kehilangan sama sekali. Tidak ada yang perduli, bahkan Iran dan Suriah sekalipun. Bagi dunia luar, tidak penting mempertahankan Libanon sebagai sebuah negara karena faksionalisme yang sangat keras dan entitas nasional mereka yang terpecah belah.

Mempertahankan Libanon sama dengan usaha sia-sia seperti membuat rumah dari pasir. Libanon sama sekali tidak berdaya, baik menghadapi Isarel maupun "menekan" Hezbollah agar menghentikan serangan sebagaimana yang diisyaratkan oleh Israel.



Aliansi-aliansi negara sebagaimana yang ditunjukkan dalam Perang Kolonial, Perang Dunia, dan Perang Dingin mulai kehilangan bentuk. Aliansi identitas ideologis, kultural dan peradaban lebih terasa menguat. Politik identitas sangat mewarnai pola konflik dan peta kekuatan yang menjadi aktor kunci dalam pertarungan ini.

Yang secara telanjang terlihat adalah gagalnya sentimen identitas Arab dalam menyatukan suara dan kekuatan untuk menghadapi Israel. Target serangan Israel kepada Hezbollah bukan Libanon sebagai sebuah negara Arab berdaulat, setidaknya mempengaruhi respons dunia Arab terhadap agresi Israel.

Konflik kawasan ini menimbulkan peta baru yang tampak berubah setelah kejatuhan Saddam Hussein oleh Amerika Serikat (AS) tahun 2003. Dengan bercokol di Irak tanpa waktu yang terbatas, AS "memotong" jalur Iran untuk masuk langsung ke jantung Arab melalui Irak.

Kawasan bulan sabit yang dikenal sebagai tanah air peradaban tua dari Mesopotamia hingga Mesir telah kembali bergolak dengan intensitas yang sama sekali baru dan berbeda. Titik tolak ini penting dijadikan perangkat analisis dalam mengamati jalannya kekuatan Israel dan potensi robohnya Suriah di tengah kepungan Israel, Yordania, dan Arab Saudi.

Dalam periode kekhalifahan Islam di tangan bangsa Arab, simbol wilayah ini dijadikan lambang (kejayaan) Islam yang digunakan hingga sekarang, yaitu bulan sabit ditambah bintang di tengahnya. Kini, seakan mengulang sejarah ribuan tahun lalu, kawasan kembali bergetar dari ujung barat hingga timur yang dipicu oleh perang di "tanah yang dijanjikan".



Jika awalnya Israel menyerang Palestina dan dengan cepat berubah agresi ke Libanon, perhatian dunia tertarik kepada serangan yang kedua. Dalam definisi Israel, Palestina bukan negara dan masih merupakan bagian dari Israel. Dengan demikian, setiap serangan Israel atas Palestina, tidak dianggap sebagai agresi atas negara asing, dan karenanya sampai kapanpun pasukan multinasional tidak dapat ditempatkan di Palestina. Ini berbeda dengan Libanon yang merupakan negara berdaulat, sekalipun sekarang dilanggar oleh Israel.

Mestinya dalam setiap perang yang dideklarasikan oleh negara mendapat respons yang sama dari negara yang diserang tersebut. Secara jelas Israel menyatakan perang dengan Hezbollah, dengan menempatkan Libanon pada posisi yang sama jika pemerintah Libanon gagal mengusir Hezbollah dari negerinya. Dengan strategi seperti ini Israel selamat dari tuduhan agresi atas negara lain, sekalipun fakta berbicara lain. Dari sini kita dapat melihat arah lajunya konflik.

Pertama:
Israel menjadikan Hezbollah sebagai target yang harus dilenyapkan. Dua hal yang diperoleh Israel sekaligus yaitu keamanan militer dari serangan Hezbollah selama ini dan efek jera pada Suriah dan Iran jika berani menyerang Israel. Hezbollah menjadi faktor penentu pertarungan Israel versus Suriah dan Iran. Jika ini berhasil dilakukan, akan terjadi perubahan politik dan militer yang besar di kawasan.

Kedua:
Mengentalnya aliansi Syiah sebagai kekuatan kekuatan utama dalam melawan Israel. Dunia Suni Arab terbukti tidak berani dan diam saja dalam menghadapi agresi ini. Pemerintah Suriah hingga saat ini masih berada di bawah pengaruh Syiah dan karenanya relatif lebih sulit mendapatkan dukungan Yordania atau Arab Saudi sebagai negara tetangga yang paling dekat. Aliansi Syiah akan terjadi lintas negara dimulai dari Iran hingga Libanon.

Ketiga:
Runtuhnya pemerintahan Libanon yang pro-Suriah. Ini menjadi target publik Arab dan dunia internasional pada umumnya.

Keempat:
Jatuhnya pemerintahan Presiden Bashar yang selama ini menjadi ganjalan dalam keamanan Timur Tengah. Kekuatan mana yang akan melakukan agresi atas Suriah belum dapat diketahui. Jika melihat arah dan kapasitasnya, Suriah kemungkinan jatuh di tangan Israel, sebagaimana Irak dan (mungkin) Iran jatuh ke tangan Amerika.

Kelima:
Pola perubahan geopolitik ini akan mengancam secara serius eksistensi tujuh kerajaan tribalistik Arab seperti Yordania, Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Oman. Jika demikian, agenda demokratisasi Ttimur Tengah baru saja dimulai dengan cara yang dianggap "sukses", yaitu pengerahan kekuatan militer.

Israel sudah mendapatkan dua hal pertama, yaitu tidak ada satupun upaya sistematis dari negara-negara Arab dan dunia Islam untuk menghentikan Israel. Kedua, dunia internasional tidak bereaksi keras seperti dahulu.

Jika melihat gejala ini, agresi Israel atas Libanon akan berakhir aneksasi dan memasukkannya sebagai wilayah Israel. Jika aneksasi gagal, Israel akan melakukan pendudukan sebagaimana yang dipraktekkannya pada Palestina.

Nasib Libanon akan bernasib sama seperti Palestina dengan menyisakan fragmentasi sosial yang lebih parah. Dengan komposisi yang beragam, penduduk Libanon sangat sulit dipersatukan identitas politiknya. Ini berbeda dengan Palestina yang relatif homogen, sekalipun terpecah dalam metode perjuangan menghadapi Israel.

Pengentalan identitas Syiah sebagai "lawan sebanding" menghadapi Israel akan mewarnai konflik di masa depan. Dan wilayahnyapun akan meluas sepanjang ruas Mesir hingga Mesopotamia. Sejarah baru sedang bergulir.



...Selengkapnya...

Wednesday, August 2, 2006

Dua Wajah Barbarisme

Seorang wartawan yang pernah bertugas di Indonesia, Michael Vatikiotis, menyerang sengit pemerintah Indonesia mengapa membebaskan Abu Bakar Baashir. Bebasnya kiai Ngruki, yang dituduh AS sebagai anggota jaringan terorisme Asia Tenggara ini, baginya seakan menjadi bencana bagi dunia bebas, bagi demokrasi besutan Washington di seluruh dunia.

Dalam argumen Vatikiotis, guru ngaji gaek ini memiliki segala kuasa untuk menghancurkan. Dan dengan sepatah kata segera menghancurkan Amerika: negara yang harus dibela karena selalu menyerukan kebajikan moral dan demokrasi. Rupanya, Vatikiotis, sama seperti kolega Baratnya, memasang kacamata kuda dalam menatap entitas muslim. Ia seharusnya tidak mendorong pemerintah Barat menekan RI soal Baashir karena Indonesia mengetahui jauh lebih baik dari pemerintah manapun tentang warganya, karena kita tidak ada persoalan prasangka seperti Barat. Mestinya, Vatikiotis dan rekannya harus lebih kritis melihat posisi Washington sekarang.

Amerika hanya "pengkhotbah" moral dan demokrasi, tetapi setiap hari meninggalkan jejak buruk dalam dua perkara itu. Bersama Israel, Amerika menjadi cap mengerikan bagi nilai kemanusiaan sekarang.

Kekerasan terhadap kaum sipil mencapai rekor tertinggi di Irak dan Palestina. Kita semua mengetahui skandal penyiksaan di Abu Ghraib dan Jindariya. Dengan sedih kita harus melihat, skandal itu masih terus berlangsung sekarang. Di penjara Guantanamo, karena tidak sanggup menerima siksaan, tiga tahanan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bersamaan dengan itu, tersibak pula insiden pembunuhan terencana di Haditha dan Ishaki. Dalam insiden itu, dengan alasan mencari teroris, tentara AS membantai laki-laki dan perempuan tak berdosa yang sedang tidur di tengah malam buta.

Kemudian bagaimana tentara pendudukan itu menghancurkan secara terencana Ramadi di Provinsi Al-Anbar. Semua penduduk di kota itu dipaksa menyingkir, kemudian tentara Amerika mengubah kota ini menjadi puing-puing. Penduduknya, termasuk anak-anak dan perempuan, kini hidup di kemah-kemah lusuh penuh penderitaan tanpa ada kepastian kapan mereka bisa punya rumah lagi. Inilah yang disebut Yankee Democracy, yang diperkirakan akan diterapkan terhadap Baghdad juga.

Di Washington, juga di Irak, pembunuhan terhadap Abu Musab Al-Zarqawi disambut suka cita. Apa yang tidak disebut adalah fakta bahwa untuk membunuh Zarqawi, Amerika telah mengebom tiga bangunan lain di dekatnya dengan semua penghuni masih di dalam.

Itulah cara Bush menyelamatkan popularitasnya, yang terus merosot ke level terendah jika dibandingkan dengan presiden AS manapun dalam sejarah.

Di Palestina, Zionis masih memberikan pelajaran lain kepada demokrasi. Menyusul kemenangan demokratis Hamas, permainan baru dimulai---metode pemusnahan Hamas. Bukan masalah bahwa gerakan itu telah menerima gencatan senjata dan kondisi itu telah berlangsung selama satu setengah tahun. Alih-alih menerima prakarsa Arab dan membuka jalan perdamaian, Israel malah mengambil jalan teror dan melakukan penyiksaan dan penghancuran.

Sekali lagi, orang diingatkan tentang Mohammed Al-Durrah, bocah cilik yang ditembak mati dalam pelukan ayahnya pada awal intifadah kedua. Gambaran ini jauh lebih brutal sekarang. Sebuah keluarga yang tengah bersantai di pantai, hancur berkeping-keping diterjang rudal Israel. Hoda, gadis kecil berusia 10 tahun yang selamat, tertangkap kamera sedang menangis seraya terus menatap mayat kedua orangtua yang tak berbentuk lagi. Ketika semua manusia tersentak dengan peristiwa itu, Presiden Bush cepat merespons: " Itu hanya self-defence ".

Setali tiga uang dengan Bush, PM Israel Ehud Olmert mengatakan,"Tidak perlu meminta maaf". Untuk apa Olmert meminta maaf ketika kejahatan seperti itu telah menjadi inti kebijakan Israel?. Tidak ada alasan sama sekali untuk meminta maaf ketika malu dan moral bukan bagian dari Bush maupun Olmert.

Yang satu adalah presiden sebuah negara demokrasi tapi bisa berpulas di atas tumpukan mayat-mayat penduduk pemilik negeri mereka, yang satunya lagi adalah perdana menteri sebuah negara yang lahir karena genosida, dan berbalik memperlakukan bangsa Palestina dengan penuh barbarisme.

Israel dan Amerika telah banyak bicara tentang demokrasi dan moralitas. Masalahnya, tidak satupun yang mereka katakan masuk akal sehat.



...Selengkapnya...