Saturday, July 14, 2007

Reformasi Sektor Keamanan

Bagi negara pascakonflik, reformasi sektor keamanan adalah syarat mutlak untuk konsolidasi perdamaian dan stabilitas, mengurangi kemiskinan, menegakkan hukum dan pemerintahan serta mencegah negara kembali runtuh dalam pertikaian.

Pernyataan Peter Burian (Duta besar Slovakia) untuk PBB, di hari terakhir pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Februari lalu semakin menegaskan posisi dan fenomena reformasi sektor keamanan (RSK). Sebelumnya, Sekjen PBB, Ban Ki-Moon, telah menegaskan peran PBB dalam RSK selama beberapa dekade ini, ditandai dengan kehadiran misi penjaga perdamaian di beberapa wilayah konflik.

Pandangan kedua tokoh itu memang tidak keliru. Konsep RSK sendiri memang lahir di era tahun 1990, di Eropa Timur, ketika komunis runtuh dan berbagai negara terjerembab dalam konflik internal yang berkepanjangan. Slovakia sendiri merupakan salah satu korban tersebut, yang berujung dengan perpisahan dari Negara Ceko. Jadi, RSK diharapkan menjadi pilar yang dapat merajut kembali puing-puing kehancuran yang berserakan.

Kendati konsep dan definisi RSK terus berubah dengan dinamis, namun PBB telah menetapkannya sebagai mekanisme utama dalam pengentasan wilayah konflik. Hal ini tentu mudah dipahami dan sangat beralasan. Terjerumusnya negara dalam konflik internal menandakan bahwa sistem keamanan yang digunakan selama ini mandul. Oleh sebab itu sangat logis bila sistem pada sektor reformasi keamanan tersebut harus direformasi.

Pertanyaan yang menyeruak kemudian adalah, perlukah RSK diberlakukan di negara yang tidak mengalami konflik?. Jawabannya tentu bisa beragam. Namun bila menilik konsep PBB, tentu kita telah mengetahui jawabannya. Lagipula, sebuah sistem yang belum terbukti kelemahannya, mengapa harus diperjudikan dengan sebuah sistem yang diadopsi hanya karena sedang menjadi tren?.

PBB telah memberikan landasan bagi penerapan RSK. Kriteria yang terpenting adalah wilayah konflik, harus diprakarsai oleh negara bersangkutan, bersifat kontekstual sesuai situasi dan kebutuhan. Jadi penerapan RSK tidak boleh semata-mata hanya mengikuti tren yang sedang berkembang. Apalagi bila harus melanggar paradigma dan konstitusi yang berlaku.

Bila mengacu pada premis ini, penerapan RSK di Indonesia memang tidak diperlukan, karena:
1. Indonesia bukan wilayah konflik.

2. Sistem keamanan yang ada dan merupakan hasil reformasi terbukti dapat diandalkan serta berfungsi baik. Buktinya, persoalan terorisme dapat diatasi dan berbagai konflik horizontal dapat ditangani dengan baik.

3. RSK yang coba diadopsi melalui RUU Keamanan Nasional justru merambah ketentuan UUD 1945 serta paradigma reformasi. ( Dalam UUD 1945 hasil amandemen dengan tegas memisahkan fungsi kemanan dan pertahanan. Bahkan UUD 1945 pun tidak mengenal konsep Keamanan Nasional. Selain itu, RSK yang dilakukan justru tidak seiring dengan derap paradigma reformasi yang dikibarkan. Ini terbukti dengan berbagai UU produk reformasi yang akan dianulir oleh RSK ini ).

4. Secara prinsip RSK adalah sebuah wahana menuju masa depan untuk meninggalkan kegetiran masa lalu. Bukan sebaliknya, membawa kita surut kembali ke masa silam yang traumatis. ( Namun RSK yang ingin diterapkan melalui RUU Keamanan Nasional, yang bertentangan dengan semangat UUD 1945 hasil amandemen dan paradigma reformasi justru menyenandungkan kembali luka lama dan menambatkan kita ke masa lalu ).

5. RSK sejatinya merupakan bagian dari gerbong demokrasi, untuk menggantikan sistem lama yang otoritarian dan represif. ( Oleh sebab itulah RSK diperkenalkan di saat runtuhnya negara-negara komunis dan menginjeksi sistem demokrasi. Tidak heran bila roh utama RSK---yang membedakannya dengan pola lama--- adalah nafas demokrasi yang ditawarkannya. Degup demokrasi tu tercermin dari adanya human security yang menyangkut kesejahteraan. Justru konsep keamanan produk reformasi dan amandemen UUD 1945 yang sekarang berlaku ini adalah cerminan dari RSK itu. Human Security yang menjadi ikon RSK telah termanifestasikan dalam paradigma baru Polri, perpolisian masyarakat, yang bertujuan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat ).

6. Dalam buku Security Sector Reform and Post-Conflict Peace Building yang diterbitkan oleh PBB, Ehrat dan Schnabel menyatakan bahwa prinsip yang membedakan RSK dengan pola keamanan tradisional adalah kesejahteraan dan supremasi sipil. Untuk melindungi dan mengamankan hak politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, penegakan hukumlah yang lebih mengemuka.

Dengan demikian, apa yang dikatakan oleh Ehrat dan Schnabel tentang RSK, sejatinya telah diemban dengan baik oleh fungsi Polri saat ini dalam sistem keamanan yang telah ada. Ini terbukti dengan fungsi Polri sebagai penegak hukum dan Polri yang telah bertransformasi menjadi institusi sipil.

Jadi, kita memang tidak perlu berjudi. Ingin keluar dari konflik justru dapat terbenam dalam konflik.
Ironis.

...Selengkapnya...