Monday, September 3, 2007

Harapan Kepada Dunia Pendidikan

Ada yang menarik dari catatan di bidang pendidikan. Dibilang menarik karena masih banyak kebijakan pendidikan yang tidak banyak membawa perubahan. Beberapa produk kebijakan masih tidak realistis, terlalu normatif dan masih terkesan baik di atas kertas. Namun melihat kondisi obyektif di lapangan justru kebijakan itu bersifat kontraproduktif. Contohnya kehadiran "kurikulum baru" yang disebut KTSP ( Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ).

Secara konsep kurikulum itu diakui memberikan angin segar, yaitu otonomi kepada guru dan sekolah secara akademis. Guru dan sekolah diberikan semacam kebebasan untuk meracik kurikulum yang sesuai. Disini kelak terjadi perubahan etos kerja guru, dari yang awalnya konservatif menjadi kreatif. Selanjutnya dengan model kurikulum yang dibuatnya sendiri, guru sudah seyogyanya berani meninggalkan cara-cara lama yang membuat dirinya bergantung pada petunjuk teknis ( juknis ) dan petunjuk pelaksanaan ( juklak ) proses belajar mengajar di kelas. Selain itu guru juga harus bisa mengekplorasi serta memperbaharui terus pengetahuannya sesuai anak murid yang ia hadapi. Tapi apa iya demikian adanya?

Menurut pendapat saya, penerapan kurikulum baru itu ternyata tidak semudah yang kita bayangkan. Apalagi jika syarat-syarat dasar seperti kompetensi guru dan infrastruktur sekolah tidak dipenuhi oleh pemerintah. Ada banyak sekolah yang ingin membuat kurikulum sendiri agar anak didiknya dapat mengembangkan potensinya, tapi faktor ketidaksiapan guru dan sekolah justru mengakibatkan keinginan untuk memberikan otonomi sekolah dalam menentukan materi pembelajaran yang sesuai kebutuhan dan situasi lokal, tidak bisa terwujud.

Kondisi demikian akan bertambah runyam jika pada kenyataannya banyak guru yang memiliki wawasan sempit. Apalagi jika mereka tidak ingin menerima perubahan sedikitpun. Saya sepakat dengan pendapat Prof. Soedijarto (guru besar UNJ) dan Ketua Umum Ikatan Sarjana Pendidikan (ISPI) yang mengatakan bahwa KTSP dengan kondisi saat ini baru dapat dilakukan maksimal oleh sekolah yang telah mampu, yaitu sekolah yang dari penyediaan infrastruktur termasuk buku bacaan dan internet telah lengkap. Sementara bagi sekolah yang kurang mampu, yang lazimnya terletak di daerah pinggiran kota, diduga tidak akan maksimal dalam penerapan kurikulum baru itu. Sebabnya jelas, keterbatasan infrastruktur dan minimnya kualifikasi guru. Pemerintah, dalam hal ini Depdiknas diharap agar bersungguh-sungguh mengupayakan pendanaan bagi sekolah yang kurang mampu tersebut.

Demikian juga dengan produk kebijakan pendidikan lainnya seperti UN ( Ujian Nasional ). Saya mencermati sebetulnya UN tidak mencerminkan etos belajar dan mutu pendidikan. Adanya siswa-siswa Indonesia yang berhasil meraih medali pada Olympiade Sains beberapa waktu lalu tidak bisa dijadikan inidikator bahwa mutu pendidikan kita meningkat. Lihat saja, model soal UN berupa tes pilihan ganda. Dengan model seperti itu kita tidak bisa mengukur kemampuan siswa secara komprehensif. Untuk pelajaran Bahasa Inggris, misalnya. Seharusnya yang diutamakan ialah kemampuan berkomunikasi secara lisan ( speaking ), tulisan ( writing ) dan memaknai teks ( reading ). Tapi dengan model UN berupa pilihan ganda, maka siswa cukup diajar berlatih menjawab soal selama bulan-bulan terakhir menjelang pelaksaan UN. Apakah dengan demikian sudah bisa dikatakan siswa sudah belajar keras dan mutu pendidikan menjadi lebih baik?. Apakah bukannya budaya UN justru menumbuhkan budaya instan di kalangan siswa dan guru?.

Dengan menganggap UN sebagai alat penentu kelulusan, saya berani katakan bahwa UN justru menihilkan etos kejuangan siswa ( juga guru ) dalam memahami substansi ilmu, dan menyuburkan cara-cara curang untuk mengejar angka kelulusan. Lebih jauh lagi, jika kita kaitkan dengan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang menyatakan bahwa standar mutu tidak bisa terpisahkan dari kompetensi lulusan, maka penyelengaraan UN inkonsistensi terhadap produk hukum tersebut. Jika mutu pendidikan hanya diukur pada ujung proses belajar siswa ( ujian ), tanpa melihat aspek secara komprehensif, kita pantas meragukan kompetensi lulusan.

Memang diakui, menguraikan persoalan UN menjadi tantangan tersendiri bagi kita, apalagi jika harus mencari penyebabnya. Tapi disini saya hanya bisa menyarankan agar pemerintah perlu membangun suasana pembelajaran yang lebih merangsang dan menantang siswa di kelas. Artinya pembelajaran difokuskan kepada proses. Kehadiran, perilaku, pekerjaan rumah (PR) dan hasil tes semua tetap diperhitungkan.

Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak siswa agar potensinya berkembang. Sekolah, sebagai pusat pembudayaan perlu menciptakan suasana pembelajaran agar siswa dapat mengembangkan potensinya. Pendidikan kita tetap didasarkan pada proses, bukan semata-mata hasil.

Terkait dengan kebijakan pendidikan, agaknya kita perlu sadar bahwa setiap penyusunan kebijakan jangan sekali-sekali mengesampingkan tata perencanaan, pembuatan program dan pendanaan. Kebutuhan pembangunan pendidikan, tidak terkecuali tingkat dasar ( SD ) perlu dihitung pembiayaannya. Kendati ada Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, namun upaya ke arah perbaikan infrastruktur belum optimal sebagaimana yang dijanjikan. Baik pemerintah pusat maupun daerah mestinya tergerak hatinya ketika menyaksikan banyaknya gedung sekolah yang ambruk. Selama ini, faktor ketiadaan sarana pendidikan tergolong kebijakan yang masih terkesan baik di atas kertas. Padahal jika ingin meningkatkan mutu pendidikan, maka persyaratan dasar seperti ketersediaan ruang kelas, ruang guru, perpustakaan, laboratorium, tempat berolah raga, bermain dan sebagainya harus diwujudkan. JIka tidak, mustahil cita-cita pendidikan bermutu akan terwujud.

Terkait dengan pembiayaan, mau tidak mau anggaran pendidikan sebesar minimal 20% dari total APBN / APBD harus dipenuhi. Perlu kita wacanakan bahwa pendidikan adalah masalah darurat bangsa ini. Dengan kondisi saat ini, seharusnya pendidikan diposisikan pada level gawat darurat. Penyusunan anggaran pendidikan harus berpijak pada kegiatan dan kebutuhan bangsa, terutama dengan melihat prioritas bahwa pendidikan adalah kebutuhan yang mendesak.

...Selengkapnya...