Monday, March 31, 2008

G E L A R

Kontroversi tentang mensyaratkan gelar S1 untuk calon presiden membuktikan, kita umumnya masih menganggap gelar sebagai atribut penting untuk menengarai apakah seseorang memiliki bobot atau tidak. Semakin tinggi gelar akademisnya, semakin dianggap berbobot orang itu. Maka wajar kalau umumnya orang memilih mencantumkan gelar di seputar namanya. Selain gelar akademis, bahkan gelar kebangsawanan, militer, jabatan sipil atau gelar haji pun dianggap membantu memberi kemantapan. Kita kadang-kadang melihat sebuah nama yang ramai dengan berbagai atribut. Tidak cukup satu yang akademis, misalnya. Kalau dia memiliki lebih dari satu gelar akademis, bahkan yang tingkatnya lebih rendah pun disandingkan dengan gelar-gelar lain yang lebih tinggi. Salahkah?. Tentu tidak. Itu hak pemiliknya.

Tiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang tidak bisa diduga orang lain. Juga bergantung pada perangkat nilai masyarakat lingkungannya. Di negara maju, gelar akademis umumnya hanya dipakai untuk kepentingan profesi ---seperti gelar dokter spesialis--- atau untuk kepentingan akademis. Biasanya hanya gelar S3 yang dipasang. Penyandangnya dianggap menguasai suatu disiplin ilmu lebih dari yang lain-lain. Di Indonesia, sementara ini, gelar apapun bidang dan tingkatannya memiliki nilai lain. Inilah tahapan proses.

Kalau kita menyerahkan kartu nama tanpa gelar, adakalanya kita merasa kurang dianggap. Seakan, tanpa gelar kita tidak ada artinya. Begitu rupa, hingga ada tokoh-tokoh yang memiliki gelar palsu, atau berusaha memperoleh gelar tinggi dengan cara gampang. Dengan membayar perguruan tinggi yang membuka kesempatan, misalnya. Untuk yang bersangkutan, itu lebih baik daripada harus menghadapi masyarakat tanpa memakai gelar. Masyarakat kita memang sedang haus gelar.

Menghadapi ini, marilah jujur. Mungkinkah negara yang belum memberikan perhatian maksimal ---artinya sesuai yang diamanatkan UUD --- dibenarkan menuntut bobot pendidikan akademis yang maksimal dari warganya?. Gelar S1 sudah menjadi persyaratan memasuki lapangan kerja swasta maupun pemerintah untuk pekerjaan tingkat tertentu. Mereka yang bergelar dianggap menguasai atau---paling tidak--- mengenal disiplin ilmu tertentu. Dia juga biasa mengadakan riset, studi banding, menganalisa serta membuat kesimpulan. Wawasannya dianggap lebih luas karena luasnya pergaulan dengan orang-orang dari berbagai disiplin ilmu lainnya. Sudah dengan sendirinya ada asumsi bahwa mereka lebih berbobot dari yang tamatan SMA, yang pembelajarannya bersifat umum. Autodidak tidak masuk hitungan. Pada akhirnya menjadi hak perekrut tenaga kerja untuk membuat pilihan karena tuntutan pekerjaan yang memang sudah lain dari generasi lalu. Tetapi, apakah tamatan perguruan tinggi selalu memenuhi harapan para perekrutnya?. Itu tergantung dari perguruan tinggi yang meluluskannya dan pribadi yang bersangkutan. Juga bergantung pada kemampuan lembaga perekrut untuk membimbingnya.

Untuk kepentingan negara, dibutuhkan jauh lebih dari sekedar persyaratan standar. Mensyaratkan para calon pemimpin negara harus tamatan perguruan tinggi, rasanya tidak tepat. Seakan-akan tokoh pemimpin hanya harus disaring dari para tamatan perguruan tinggi. Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk membentuk dan membangun kepribadian seorang pemimpin negara. Tidak harus lewat bangku kuliah. Dia terbentuk di lingkungan keluarga, masyarakatnya, lingkungan nasional dan internasional, dan partai politik yang mengawasi kaderisasinya untuk kepemimpinan.

Kalau dibandingkan dengan lamanya pendidikan di bangku kuliah, lama masa pembentukan seseorang menjadi pemimpin negara jauh lebih lama. Yang hebat di bidang akademis belum tentu berhasil menjadi pemimpin negara yang baik, walaupun tentunya ada lulusan perguruan tinggi yang berhasil menjadi pemimpin besar, contohnya Bung Karno dan Bung Hatta. Mereka ditempa oleh masa revolusi yang lama, ketika Indonesia mulai melek bahwa sudah waktunya bangkit menjadi bangsa yang merdeka. Dua tokoh itu dan beberapa tokoh muda lainnya, berhasil menghadapi tantangan bangsanya untuk memerdekakan diri.

Ide mensyaratkan pendidikan S1 untuk calon presiden saat ini banyak ditentang karena tidak sesuai dengan fakta di lapangan, ditinjau dari segi sosial maupun politik. Ketika masyarakat meneriakkan soal krisis kepemimpinan, soal langkanya para pemimpin bangsa yang mumpuni, tiba-tiba muncul saran tentang persyaratan yang mereka rasakan tidak relevan untuk saat ini. Tidak untuk saat ini karena yang penting sekarang bukan pemimpin yang bergelar, melainkan yang mampu memimpin.

Mengapa pada saat ini timbul saran itu?. Yang bisa menganalisa dan menjawab adalah partai-partai politik, karena merekalah yang melakukan kaderisasi untuk pemimpin-pemimpin di negeri ini. Mereka pula yang bertanggung jawab mengenai bobot para calon pemimpin yang akan mereka usung untuk memimpin negeri ini. Saran persyaratan S1 mungkin menuju sasaran seputar itu.

...Selengkapnya...