Friday, September 30, 2005

Diktator Kecil

Rakyat yang kelaparan adalah ayat-ayat Allah yang menenggelamkan kita ke dalam samudra kegelapan sehingga kita seperti orang yang hilang kesadaran. Tak mampu bernafas, tak mampu berenang, kita dibelit arus yang kuat menyeret kita ke dasar dari segala lumpur. Semua kemampuan kita untuk tegak berdiri telah runtuh oleh ketidak jujuran kita. Beban tanggung jawab yang keras mengira kita mampu memikulnya, tidak dan tidak. Itu semua di luar kekuasaan kita.

Tersebar di lembaran-lembaran kitab suci, yang tak bisa kita tafsir seratus persen karena lebih pelik daripada telaga yang paling pelik. Namun, alhamdulillah, kita punya kekuasaan yang dengan stempel kediktatoran untuk mendesakkan kemauan kita. Semua wajib mengikuti kita.

Kita adalah diktator kecil dengan kekuasaan besar, karena mampu menilap uang rakyat yang sedang sekarat. Apalah arti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Nias, maupun sembilan gunung yang siap meletus, yang seluruhnya berada di bawah kekuasaan kita. Kita adalah kekuasaan yang bisa bikin puyeng murid, orangtua murid, guru dan rakyat papa lainnya yang kandas sekolahnya. Kita adalah diktator kecil di masing-masing meja kecil kita, namun daya rusaknya persis kapal perusak. Setiap keluarga bisa kita hancurkan dengan sewenang-wenang. Seluruhnya memakai ukuran-ukuran kita sendiri, sebagai keperkasaan hukum, yang tidak pernah lengah memantau seluruh situasi.

Seluruh peta telah kita kuasai. Seluruh tambang sudah kita gali. Seluruh padang dari segala kawasan sudah terperangkap dalam pemantauan kita. Ya, kita adalah gurita!. Mbahnya segala gurita adalah kita, diktator kecil yang rakus, yang memamah biak, yang terus menelan apa saja yang masuk mulut. Tidak ada sesuatupun yang mampu mengenyangkan kita.





Biar kecil tapi diktator, itulah segalanya. Kita barangkali cuma pesuruh kantor, tukang ngumpulin berkas-berkas atau satpam. Tapi jangan salah, kita bisa gertak seorang professor doktor hingga keder dan menuruti perintah kita karena kedudukan kita di pusat pemerintahan. Diktator kecil bisa mengubah demokrasi menjadi premanisme karena cara kita memberi wawasan, taktik atau cercaan untuk berkelit dari kebohongan menjadi kebenaran. Semua dosen di seluruh negeri tunduk dan patuh. Jika membangkang, kita sikat. Kita bisa menaikkan gaji kita sampai 400% dan tidak perduli terhadap protes dan pemogokan dosen yang lain.

Rakyat yang menangis adalah ayat-ayat Allah yang berdemonstrasi menuntut keadilan, kemakmuran, dan kebenaran, menggerogoti jalan raya, bergentayangan di bus-bus kota. Kita tahu kebutuhan sudah menjadi hak rakyat, tapi diktator kecil tak mau tahu. Rakyat yang menjerit, yang sudah tak mampu menyekolahkan anaknya meski di kelas-kelas miskin sekalipun, minta tidak dibeda-bedakan antara kelas mewah dan kelas kere. Diktator kecil harus tetap membedakan karena karena hasil sabetan yang berbeda. Begitu juga dukungan diktator kecil atas universitas yang mata duitan. Protes para mahasiswa dianggap suatu bentuk yang tidak paham cara pengelolaan universitas yang membutuhkan biaya mahal. Tobatnya para dosen sudah menyundul langit, harus cari biaya sendiri untuk memajukan dan memelihara universitas karena ongkos untuk semua itu sudah digondol sang diktator.

Diktator kecil tidak perduli di tengah bobroknya dunia pendidikan, masih mampu menelurkan para jagoan fisika. Para jawara kecil itu mengharumkan nama bangsa dan dunia pendidikan, ketika rakyat dimana saja makan apa saja yang bisa masuk mulut.

Rakyat yang mengais-ngais apa saja yang bisa dimakan adalah ayat-ayat Allah yang merongrong hati kita siang malam untuk memahami kebutuhan dan hak yang saat ini sudah semakin hilang dari ingatan kita. Kita tidak tahu lagi dimana adanya kebutuhan dan dimana adanya hak itu. Jati diri kita sudah musnah dimakan birokrasi. Para birokrat, dimanapun berkutat, tidak mengenal lagi reformasi karena reformasi sudah dilipat-lipat. Kita semua sudah lupa bahwa gerakan reformasi pernah digulirkan.

Rakyat yang menaruh harapan besar kepada reformasi, tinggal gigit jari karena yang muncul justru para diktator kecil. Para diktator kecil ini mengerikan karena kelihatan tidak berkuasa, tetapi ternyata sangat menindas.

Diktator kecil menguasai seluruh sektor. Sektor reformasi maupun sektor konservatif. Mereka menyelinap di pemerintahan, lembaga, departemen, partai, LSM, maupun bermain independen. Sebagai free lancer, diktator kecil mendukung semua elemen yang bertikai dan berperan sebagai penengah, kelihatannya. Padahal ia sebenarnya pengobar kerusuhan. Dalam huru-hara, ia memperoleh keuntungan lebih besar dari kedua elemen yang saling bermusuhan itu. Konyolnya, kedua kelompok yang bertengkar itu percaya kepadanya dan menyerahkan urusannya.

Dalam "dunia nafkah" yang rakyat hidupi sepanjang hari, rakyat punya etika profesi. Rakyat tidak mencaplok nafkah orang lain, karena jika hal itu dilakukan, rakyat tidak tahu sopan santun. Rakyat juga memegang tanggungjawab moral untuk tidak melakukan hal-hal yang terlarang karena di atas itu bercokol moral yang dijunjung tinggi. Sementara itu, rakyat juga punya tanggung jawab sosial yang mematuhi aturan dan hukum yang berlangsung di dalam masyarakat.

Diktator kecil tidak perlu mematuhi etika profesional, tanggungjawab moral maupun sosial. Yang penting bagi diktator kecil adalah serang, terjang. Meradang, urusan nanti belakangan. Tak perduli sakit dan sedih. Tetap sabar, senyum tetap mengulum. Diktator kecil yang berkuasa atas segala hal yang terungkap dan tersembunyi. Diktator kecil sudah mengatur siapa yang harus benar dan siapa yang harus berperan sebagai yang salah. Semua pendukungnya berteriak: "Hidup diktator kecil !".