Monday, November 21, 2005

D i s o r i e n t a s i

Elegi yang menimpa seorang kakek dan nenek di Demak dan Banyuwangi yang meninggal karena antri mencairkan dana kompensasi BBM beberapa waktu lalu adalah tragedi kemanusiaan yang tak boleh disembunyikan. Kematian mereka menembus slogan kenaikan harga BBM yang cukup fantastis ini. Kematian ini ( termasuk sekian kematian akibat kemiskinan yang merayap di seluruh pelosok dan tak sempat terekam kamera dan pena wartawan) juga menjadi tamparan yang cukup nyata atas iklan layanan masyarakat yang dikumandangkan tokoh agama dan ekonomi di televisi.

Paradoks kebangsaan yang sedang mengupas hati disaat kita merayakan momentum kebangkitan sumpah pemuda yang ke 77. Namun tragedi tidak langsung bergema seperti pernyataan Nikita Kruschev, one dead man tragedy, a million dead men are statistic. Di negeri yang mulai lumpuh nurani, kematian kakek nenek tentu saja tak berarti. Apalagi ia miskin dan bukan siapa-siapa. " wong nonton konser bisa mati koq ".

Presiden SBY dan menteri di kabinet tentu tak akan mengadakan rapat evaluasi kabinet hanya karena kasus ini. Bahkan jikapun terjadi fakta penderitaan yang lebih luar biasa lagi akibat kenaikan harga BBM, mungkin pemerintah tak akan beranjak untuk mengubah keputusannya.

Yang menyedihkan, intelektual seakan tunduk dengan logika pengetahuan yang ditekuninya bertahun-tahun. Hampir semua mengamini atau diam-diam saja tentang demokrasi prosedural atas legitimasi SBY sebagai presiden pilihan langsung rakyat yang dianggap tak berpeluang dijatuhkan oleh aksi massa. Logika prosedural ketatanegaraan juga turut melemahkan DPR sebagai lembaga yang tak dapat meng-impeach presiden. Namun di tengah prahara nasional ini, yang menyedihkan dimana suara mahasiswa ?.

Ketika terjadi krisis terbesar di Prancis setelah perang perang dunia ke dua, 1968, gerakan mahasiswa muncul sebagai pendobrak dan penentang paling serius atas kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat. Gerakan mahasiswa tidak membawa perubahan apa-apa kecuali kecuali hanya mengganti pimpinan pemerintahan. Gerakan mahasiswa Prancis hidup sebentar hidup sebentar dalam hysteria publik dan media massa. Jacques Derrida mengkritik gerakan mahasiswa itu sebagai infantilisme politik yang tak melakukan dekonstruksi intelektual apapun kearah ketercerahan sisitem pemerintahan. Mungkin kritik Derride agak hyperbolik, karena sedikit banyaknya pergantian orang membawa ekspressi perubahan pada sistem.

Pada tahun 1989, ketika gelombang demokratisasi merambah negara-negara komunis, mahasiswa Cina menuntut pemerintah Den Xiao Ping untuk membuka keran liberalisme ekonomi dan politik demi kesejahteraan rakyat. Kata-kata Mao Tse Tung tentang kemandirian dalam kemiskinan lebih berharga daripada kekayaan dalam perbudakan tidak renyah lagi di telinga. Mahasiswa menganggap pemerintah terlalu banyak berbohong dengan media yang dikuasainya. Buktinya, rakyat makin miskin dan terhina. Aksi mahasiswa berujung dengan tumpah darah di lapangan Tiannanmen. Ribuan massa mati terpanggang dan tertembak tentara. Namun, setelah itu Cina berkembang dengan kebijakan ekonomi dan politik yang mulai terbuka dan kompetitif.

Tahun 1998, mahasiswa Indonesia menuntut mundur pemerintahan Orde Baru yang dianggap biang korupsi. Saat itu demonstrasi dipicu pula oleh kenaikan harga BBM yang dianggap tidak sensitif atas krisis ekonomi---meskipun akhirnya harga BBM diturunkan kembali. Langkah pemerintah tidak ampuh. Gelombang aksi mahasiswa mampu menjatuhkan Soeharto, sesuatu yang tidak diperkirakan para analis politik saat itu.

Jauh hari sebelum menaikkan harga BBM, pemerintahan SBY telah menyuarakan berbagai macam argumentasi berkaitan dengan pentingnya melakukan penghematan APBN dengan mencabut subsidi BBM akibat krisis harga minyak mentah dunia yang dirasakan hampir seluruh negara. Namun yang menyedihkan, argumentasi tersebut ditelan mentah-mentah. Tidak ada umpan balik yang dapat menjadi "tanda" bagi mahasiswa untuk menggalang aksi massa dengan argumentasi yang lebih melindungi rakyat. Informasi yang diberikan pemerintah seolah telah menepati derajat scientific sehingga tak ada ruang untuk mengurainya lebih lanjut. Tidak terlihat aksi demonstrasi besar-besaran dan massif yang menolak kenaikan BBM, bahkan respons menolak kenaikan BBM kedua lebih lemah dibandingkan pertama. Padahal, kenaikan kali ini sungguh tidak rasional.

Seharusnya mahasiswa tidak perlu tunduk atas penjelasan scientific yang njelimet tentang pemotongan subsidi yang dipropagandakan pemerintah akan berbanding lurus dengan peningkatan program kesejahteraan rakyat miskin. Apalah arti keilmiahan kalau hanya memproduksi derita?.

Mereka cukup merekam lingkungan di sekitar dan melihat ketimpangan antara teori dan realitas, antara das sollen dan das sain, sebagai sinyal argumentasi menolak kenaikan harga BBM. Seperti dikatakan Edward W. Said, yang membuat gerakan mahasiwa menjadi kuat adalah mediokeritas pengetahuan yang dimilikinya. Ia tidak perlu tahu semuanya untuk bergerak, karena yang menjadi senjatanya adalah suara-suara yang dibisukan oleh arogansi kekuasaan dan pengetahuan.

Namun, aksi massa mahasiswa tidak cukup nyata meskipun semakin hari data-data distorsi dana dan pemberian subsidi makin terang benderang. Bahkan yang menjadi ironi, pengurangan subsidi juga dipergunakan untuk menambah anggaran operasional kementrian dan tunjangan anggota Dewan. Fakta ini telah menyimpulkan bahwa tidak sepenuhnya anggaran yang telah "dirasionalisasikan" tersebut dijadikan sebagai benteng terakhir penyelamatan penderitaan rakyat miskin. Kebohongan menjadi selimut atas kebijakan nasional yang proliberal.

Di sisi lain, banyak masyarakat karena kemiskinannya telah mencapai derajat absolut, luput tercatat oleh BPS sebagai warga negara miskin, bahkan terjadi di ibukota Jakarta. Statistik kemiskinan telah membuat orang kehilangan banyak hal. Ini adalah pengetahuan utama yang dapat dijadikan alas an untuk menggalang aksi demonstrasi dan meminta penurunan BBM, sampai kapanpun hingga berhasil.

Yang dibutuhkan saat ini bukan kesempurnaan pengetahuan atas kebijakan pemerintah yang nyatanya tidak juga transparan. Yang dibutuhkan adalah partikulus wacana, yang banyak terserak di tengah-tengah kehidupan nyata masyarakat lapisan terbawah. Para ibu yang antri berjam-jam hanya demi lima liter minyak tanah mahal, pertengkaran kernet angkot dengan penumpang untuk urusan uang seribuan rupiah, anak-anak yang tidak sekolah karena orangtua tidak memiliki uang, seorang nenek yang mati membusuk karena tidak ada makanan, seorang ayah yang lumpuh oleh stroke karena ditolak rawat dini oleh rumah sakit, dan aneka penderitaan harian lainnya.