Wednesday, October 3, 2007

Ramadhan 1428 H

Kelaparan adalah gejala kemanusiaan yang paling rendah. Lebih ironis lagi jika kelaparan ternyata menimpa sejumlah orang sedangkan yang lain menikmati kemakmuran yang melimpah. Sekarang ini, saat kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah berkembang begitu rupa, ketika paham politik dan demokrasi juga telah menjadi pilihan dan diperjuangkan dimana-mana, kelaparan dan kemiskinan sepertinya tetap mewarnai citra buruk dari peradaban umat manusia dan belum bisa terpecahkan.

Globalisasi, suatu keadaan yang dikendalikan arus pasar kapitalisme, sesungguhnya hanya bisa dirasakan oleh mereka yang memiliki surplus ekonomi. Bagi mereka yang tersingkir, jangankan bisa mempunyai peluang untuk bersaing dalam mengubah nasib hidup mereka, bisa bertahan untuk hidup sehari-hari saja sudah luar biasa.

Kehidupan Ramadhan yang sedang kita jalani sekarang ini tampaknya memberikan pandangan sosial bahwa besaran jumlah orang miskin dan terancam lapar akan semakin bertambah. Walaupun menurut pemerintah makroekonomi Indonesia menunjukkan indikasi baik, hal itu tidak serta merta mencerminkan nasib dan kehidupan rakyat sehari-hari. Sejak harga BBM dinaikkan begitu tinggi, harga kebutuhan pokok semakin tidak terjangkau. Bukan sekadar soal persediaan barang di pasar, tapi daya beli yang semakin merosot. Kalau daya beli tidak ada, ya hidup menjadi semakin susah.

Jelas Tuhan tidak ingin menyiksa umat manusia dengan kewajiban melaksanakan puasa. Oleh karena itu dianjurkan agar mempercepat berbuka kalau sudah datang waktunya dan mengakhiri makan sahur sebelum waktu imsak tiba. Pada dasarnya semua bentuk ibadah ritual bagi setiap manusia haruslah menjadi mekanisme reflektif untuk meneguhkan nilai kemanusiaan yang dibawa dalam fitrahnya terus menerus. Hal ini yang menjadi cita-cita yang harus diperjuangkan tidak hanya untuk hidupnya sendiri, tapi juga kebersamaan sebagai makhluk peradaban.

Puasa dalam Islam sesungguhnya lebih dari soal perlunya manusia mencari perasaan spiritual, tapi juga perspektif ideologi sosial yang jelas, yaitu kelaparan yang terjadi karena ketimpangan sosial merupakan gejala penurunan derajat dan harkat kemanusiaan yang paling buruk. Bukan karena maunya Tuhan, tapi akibat dari sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai sejumlah kecil orang dan sebagian besar mereka tidak mempunyai akses politik untuk mendapatkannya.

Dalam Ramadhan, bagi kita yang menjalankan ritual "lapar" selama siang memang bisa menunggu waktu kita berbuka dan makan sahur, tapi bagaimana dengan mereka yang menjadi bagian umat yang kelaparan?. Ya tentu saja mereka terus berpuasa. Mereka menunggu sampai datangnya keputusan politik yang adil agar semua karunia Tuhan yang telah dianugerahkan di bumi ini tidak hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil saja yang diuntungkan secara struktural.

Sudahkan kita secara ideologis menerima pahala puasa hanya dengan selesainya berbuka, sedangkan kesadaran keberagaman yang kita peroleh ternyata tetap tumpul terhadap kemungkaran sosial yang semakin timpang ini?.