Tuesday, February 14, 2006

Nyatakan Cinta dengan Rasa


Pagi ini saya terbangun dan tidak lagi merasa diri saya sebagai orang Indonesia. Mata dan rambut saya masih hitam, kulit coklat dan tulang pipi menonjol, tapi saya sudah terkontaminasi. Ibarat sebuah disket yang salah format, saya mengalami erosi dan abrasi. Nama menjadi beban, karena citra saya tidak sanggup mengangkat simbol dalam bunyi.


Di dalam kamar saya tertindih oleh pikiran-pikiran tentang kemerdekaan, keadilan, kebenaran, kesetaraan dan kemanusiaan yang diagungkan di seluruh dunia, tetapi kadang terasa sangat bertentangan dengan cita-cita adat dan tradisi Indonesia. Bentuk sayapun sudah lain, karena saya mengonsumsi dan dihiasi dengan aksesori yang tidak lagi berasal dari lingkungan alam sendiri. Saya adalah sebuah pasar hidup dari produk teknologi dan industri alam pikiran liberal, dengan semangat individualisme yang membuat saya benci kepada keluarga dan semangat gotong royong dalam masyarakat. Saya sudah menjadi sesuatu yang baru dan sekaligus juga virus.

Dengan ragu-ragu saya keluar dari kamar sambil membawa senjata, karena saya tetap harus membela diri kalau diserang oleh lingkungan, oleh saudara-saudara bahkan oleh anak dan pacar yang tak kenal, karenanya tak bisa menerima kehadiran saya lagi. Hidup adalah sebuah peperangan dan itu mungkin dimulai dari depan pintu, waktu bangun tidur.

Saya sudah memilih yang lain. Untuk itu saya masih memiliki hak untuk melawan dan akan saya pergunakan. Karena masa depan tidak semestinya hanya ditentukan oleh masa lalu, tetapi seluruh pembaharuan yang terjadi.

Lalu saya gebrak pintu dan meloncat keluar siap tempur. Tetapi di depan pintu ternyata terbentang ruang yang lain. Bukan yang biasa saya kenal. Sesuatu yang masih asing karena saya mencium bau yang belum pernah saya hirup sebelumnya. Atmosfernya begitu menggoda. Saraf-saraf dan kelenjar gairah saya terangsang. Tiba-tiba saya ingin bersatu tubuh dengannya. Tetapi baru saya mencoba menjajaki, tubuh saya berontak. Ia tidak lagi berada di bawah kekuasaan saya.

Walau saya tekadkan untuk berhenti beberapa saat, kaki saya terus melangkah dan jari telunjuk saya hampir saja menarik senjata, tepat ke arah kepala saya sendiri.

Terseret oleh kekuatan di luar kekuasaan saya, saya sampai ke pintu yang lain. Pintu yang perlahan-lahan terbuka ketika tubuh saya mencoba menerobosnya. Pintu yang menghantarkan saya ke luar tetapi sekaligus ke dalam ruang yang lain.

Saya terpesona. Ruang itu ternyata lebih dahsyat dari yang sebelumnya. Lebih menyerang dan lebih merangsang. Dari seluruh dindingnya keluar tenaga yang seperti menghisap tubuh saya.

Senjata terlepas dari tangan dan tubuh saya tertarik dari segala arah. Saya bertahan. Pakaian saya tercabik sampai saya telanjang bulat. Kemudian bulu-bulu badan saya tercabut dari tubuh. Bukan main sakitnya. Saya menjerit menutupi rasa pedih itu. Tapi kemudian jari-jari tangan, lengan, kaki, telinga, hidung, seluruh bagian tubuh saya tercabut dan ditelan oleh dinding ruang yang buas itu.

Sekarang saya bukan lagi hanya kehilangan identitas Indonesia. Saya bangkrut atas seluruh kehadiran saya. Tetapi satu hal yang menakjubkan, ternyata masih ada yang tersisa.

Perasaan saya tidak kelihatan, tidak berwarna, tidak memiliki volume. Ia bisa tercerabut dan mengalir ke mana saja menerobos jarak, waktu dan segala hukum. Tetapi ia selalu kembali seperti bumerang.

Dengan rasa itulah saya menyaksikan ratusan, ribuan, berjuta-juta bahkan miliaran pintu menunggu di depan. Saya takjub, lalu yakin bahwa saya sedang memasuki alam pikiran orang lain. Saya sudah tersesat ke dalam rencana orang lain. Ini kekalahan besar Indonesia yang tak boleh terulang lagi.

Lalu saya peluk rasa yang sekarang menjadi nyawa saya. Saya berbalik dan bergegas hendak kembali. Pulang dan bertahan adalah jalan terakhir yang terbaik. Tetapi begitu saya berbalik, kembali saya terpesona. Di depan saya, tepatnya di belakang saya berdiri Indonesia.

" Apapun yang kamu lakukan, aku selalu berdiri di belakangmu," bisiknya.

" Saya orang Indonesia, karena saya lahir dari keluarga Indonesia. Tetapi apakah saya Indonesia ?. Wajah saya cenderung meruncing, hidung runcing, tulang pipi kurus, mata cekung dan kulit coklat muda. Saya menyanyikan Indonesia Raya dan mengibarkan Sang Saka dan menjiwai semangat gotong royong, bahkan sudah lulus penataran P4, tetapi saya sudah dalam pikiran orang lain. Berhakkah saya menyebut diri saya Indonesia ?. Apakah saya sudah menjadi orang asing setelah saya tidak lagi memakai kain sarung, tetapi jins, sepatu dan referensi berpikir barat ? ".

" Hey, sekali kamu lahir sebagai orang Indonesia, kamu sudah terkutuk sebagai Indonesia. Apapun yang kamu lakukan, topeng siapapun yang kamu mainkan, aku tetap di belakangmu," kata Indonesia yang tiba-tiba masuk ke lubuk hati.

" Aku bukan hanya bangsa, bukan hanya teritorial, bukan ideologi, bukan paham, bukan agama, bukan hanya kekuatan moral dan politik, tetapi sebuah konsep sebagaimana juga Rusia, Australia, Amerika, Perancis, Inggris, Jepang dan sebagainya. Indonesia adalah sebuah fenomena rasa," kata Indonesia lagi.

Rasalah yang menyebabkan segala perbedaan tetap berbeda. Tetapi anehnya masih terus membuat kita selalu bersama-sama. Rasalah yang akan terus tumbuh dalam masa pemerintahan presiden pilihan rakyat yang memimpin negeri ini untuk masa lima tahun. Rasalah yang kita harapkan akan menjadi primadona era baru yang sudah begitu banyak diganduli harapan oleh 250 juta rakyat yang selama ini hanya dibodohi pemimpinnya. Rasalah yang selama ini telah hilang. Rasa itu yang harus kita bangun kembali. Tidak cukup hanya politik, ekonomi dan teknologi, tetapi juga kebudayaan yang diberdayakan secara tepat dan proporsional.









(To : My Mom, Sis and Brother)
Thanks for still loving me and my son, we're also loving you...