Wednesday, November 22, 2006

Dibuang Sayang, Di sayang Jangan

Amerika Serikat memang menjadi salah satu negara yang pemerintahannya sering mendapat kecaman, prostes dan sasaran unjuk rasa dalam beberapa tahun terakhir. Tuntutan aksi-aksi itu bervariasi, namun sebagian besar berkisar pada prostes terhadap kebijakan luar negeri AS yang sangat agresif pasca 9/11/2001. Para pengunjuk rasa menentang serangan AS ke Afghanistan dan Irak. Mereka juga mengecam dukungan AS pada Israel dalam penyerangan ke Palestina dan Libanon.


Hanya segelintir tuntutan yang berkaitan langsung dengan kepentingan dalam negeri Indonesia, seperti ketika terjadi kasus eksplorasi minyak di Blok Cepu, Jawa Tengah, oleh perusahaan minyak AS Exxon Mobil.

Berbagai aksi unjuk rasa ini dapat dijadikan indikator tentang sikap berbagai kelompok di Indonesia terhadap pemerintah AS. Maraknya unjuk rasa mengecam AS yang hampir selalu bernuansa politis serta cenderung negatif dapat diartikan bahwa sebagian orang Indonesia, khususnya muslim Indonesia bersikap negatif terhadap AS. Sikap negatif inilah yang terekam dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh The Pew Global Attitudes Survey di 13 negara, termasuk Indonesia. Mayoritas responden Indonesia, sebagaimana responden muslim dan non muslim di Prancis, Jerman, Spanyol serta responden di negara berpenduduk mayoritas muslim seperti Turki, Mesir, Pakistan dan Yordania mengaku memiliki sikap negatif terhadap AS. Sikap negatif terhadap AS sebagai entitas negara ternyata juga diarahkan kepada orang-orang Amerika (Americans).

Akan tetapi, jika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa Indonesia telah banyak menerima bantuan dari AS, tampaklah paradoks dalam hubungan Indonesia dengan AS. Di satu sisi, orang Indonesia bersikap negatif terhadap AS. Namun di sisi lain Indonesia menerima bantuan dari pemerintah AS dalam jumlah yang sangat besar.

Menurut laporan lembaga donor milik pemerintah AS, USAID, Indonesia telah menerima bantuan sebanyak lebih dari US$ 130 juta pada tahun ini. Bantuan yang diterima Indonesia dari USAID melalui perjanjian bilateral maupun multilateral difokuskan untuk berbagai sektor, antara lain pendidikan, kesehatan, pertanian dan lingkungan hidup, ekonomi, demokrasi dan pemerintahan, serta bantuan kemanusiaan untuk penyelesaian konflik. Masih menurut laporan tersebut, bantuan USAID itu mampu meningkatkan dan memperbaiki kualitas maupun kuantitas sasarannya. Misalnya, melalui program pengaturan dasar (MBE) di bidang pendidikan dasar, sekolah dasar yang memperoleh MBE telah mengalami perbaikan dalam pengaturan pendidikan, pengajaran di kelas dan prestasi murid-muridnya.

Selain bantuan keuangan, kondisi lain yang tidak sesuai dengan sikap negatif orang Indonesia terhadap AS adalah tidak adanya jumlah yang signifikan tentang kesaksian bahwa orang Amerika banyak yang telah berbuat jahat terhadap orang muslim. Jika orang Amerika tidak terbukti secara signifikan telah bersikap kasar kepada orang muslim dan Amerika juga telah memberi banyak bantuan kepada Indonesia, lalu apa yang membuat orang Indonesia bersikap negatif alias benci kepada orang Amerika dan pemerintah AS?.



Tiga alternatif jawaban bisa dikemukakan.

Pertama: Faktor identitas muslim Indonesia.
Responden Indonesia yang terekam dalam jajak pendapat Pew Global Attitudes Survey banyak yang merasa lebih sebagai orang muslim (36%). Bahkan sebanyak 25% responden tidak mampu memutuskan identitas utamanya sehingga merasa dirinya memiliki identitas ganda, sebagai orang Indonesia dan orang muslim. Ini sebabnya mengapa muslim Indonesia membenci AS. Sebagai orang muslim, mereka memiliki solidaritas sesama muslim dengan orang-orang di Afghanistan, Irak dan Palestina. Ketika negara-negara yang meyoritas muslim itu digempur oleh AS, muslim Indonesia juga ikut merasa gerah dan benci pada AS.

Kedua: Faktor pemerintah AS.
Pemerintah AS seringkali menetapkan standar ganda dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Ketika berhadapan dengan negara-negara yang mayoritas muslim, AS bisa sangat keras dan agresif, seperti terhadap Afghanistan dan Irak yang dituduh sebagai teroris.

Ketiga: Faktor sosialisasi bantuan.
Bantuan yang diberikan oleh pemerintah AS untuk orang Indonesia bisa jadi belum diketahui secara luas oleh berbagai pihak di Tanah Air. Inilah yang mungkin menimbulkan paradoks hubungan kedua negara.

Ketiga faktor itu kemudian menimbukan kebencian muslim Indonesia terhadap orang dan pemerintah AS. Untuk meredakan kebencian perlu dilakukan redefinisi identitas orang-orang muslim di Indonesia, supaya muslim Indonesia mampu melihat suatu permasalahan secara jernih dan tidak melakukan personalisasi konflik terlalu jauh.