Sunday, April 16, 2006

Granada - Gaza

Bangsa Israel, kaum Yahudi, tidak luput dari kisah pengusiran. Fenomena terakhir terlihat di depan mata, sebagian warga Israel harus keluar dari kandang perkampungan Gaza. Mereka diusir dan dikucilkan. Padahal bagi bangsa Yahudi, pengusiran dan pengucilan adalah sebuah dislokasi spiritual juga fisikal. Peristiwa pengusiran dari perkampungan Gaza membuka kenangan lama, peristiwa pengusiran bangsa Yahudi dari daerah Granada, Spanyol.

Waktu itu, tepatnya 2 Januari 1492, pasukan raja Ferdinand dan Ratu Isabella, dua penguasa Katolik, yang pernikahannya mampu menyatukan dua kerajaan Iberia kuno, Aragon dengan Castile, berhasil meluluhlantakkan negara kota Granada, satu wilayah pertahanan terakhir kaum muslim di daerah Kristen. Inilah awal pembersihan penduduk muslim dan Yahudi dari daratan Eropa.













Tiga bulan kemudian, 31 Maret 1492, Ferdinand dan Isabella menandatangani Perintah Pengusiran ( Edict of Expulsion), yang dibuat untuk membersihkan Spanyol dari bangsa Yahudi. Orang-orang Yahudi waktu itu diberi dua alternatif: memilih dibaptis masuk Kristen atau dideportasi.







Ada 80 ribu warga Yahudi migrasi ke Portugal, 50 ribu lainnya mengungsi ke kerajaan baru Islam, Utsmaniyyah. Di daerah kekuasaan Islam, kaum Yahudi seperti halnya warga Kristen, diberi status dzimmi (minoritas yang dilindungi). Status ini bentuk perlindungan militer dan sipil bagi mereka yang menghormati hukum dan supremasi negara Islam.

Dan sebagian yang lain, memilih masuk Kristen dan menetap di Spanyol, karena mereka sudah terlanjur jatuh hati dengan "al-Andalus" ( nama lain kerajaan Islam di Spanyol).

Orang-orang Yahudi yang menyeberang ke agama Kristen seringkali disebut "converse" ( umat yang berpindah agama), tapi komunitas Kristen lebih sering menjuluki mereka "marrano" (babi). Sebagian warga bekas Yahudi, karena ketidaktahuan mereka, dengan bangga memilih sebutan terakhir, "marrano", babi.

Sepenggal kisah di atas, ingin mempertegas ritual kehidupan bangsa Israel yang tidak lepas dari pengusiran dan pengucilan. Pengusiran dan pengucilan dari perkampungan Gaza, juga merupakan dari ritual dari kehidupan bangsa Yahudi. Hanya saja, kini mereka harus keluar dari wilayah yang dihuni sebagian besar penduduk muslim, yang bertahun-tahun mereka singgahi tanpa mau mengakui identitas mereka yang sebenarnya.








Satu ciri khas bangsa Yahudi, bangsa urban, warga Israel ini, memang unik. Mereka merasa berkuasa di berbagai wilayah, bebas dari jebakan-jebakan kekuasaan dan seringkali mengendalikan takdir mereka dengan logika dan penalaran sendiri.







Orang-orang Yahudi, dalam lintas sejarah dan bacaan-bacaan sejarah, merasa hidup dalam isolasi agama dan selalu meyandarkan diri pada takaran rasional. Mereka mengabaikan kitab suci, dan hampir pasti tidak memiliki rentetan pengalaman ritual "hukum suci" dari Taurat. Anehnya, cerita-cerita kaum Yahudi ini, kemudian dijadikan mitos.

Seperti halnya mitos soal warga Israel yang melarikan diri dari Mesir dan melewati Laut Merah. Cerita ini kemudian dijadikan mitos yang dikaitkan dengan cerita-cerita lain mengenai ritual inisiasi, pengarungan samudera, dan terbelahnya laut menjadi dua oleh para dewa untuk membuka dunia baru bagi bangsa Yahudi.

Pendeportasian warga Yahudi dari Gaza, pada titik yang lain, adalah satu ritus panjang kehidupan kaum Yahudi. Mereka tidak memiliki tempat singgah dan menyebar ke berbagai daratan di seantero dunia.


Hal lain, di luar kesepakatan damai Israel - Palestina, pengusiran warga Israel sebenarnya untuk menutupi wajah bopeng Amerika yang selama ini jadi benteng terakhir Israel. Amerika, tentu saja, malu kepada dunia karena tidak mampu menaklukkan "anak asuh"nya sendiri. Jalur kehidupan sebuah bangsa memang tidak selalu ditentukan oleh diri sendiri, tapi ia juga bisa ditentukan oleh bangsa lain.

Itulah sepenggal potret kehidupan warga Israel, juga Palestina, dimana identitas kehidupannya tercerabut oleh kepentingan-kepentingan negara-negara besar yang selalu merayakan demokrasi sekaligus mematikan demokrasi itu sendiri.