Thursday, May 1, 2008

Jalan Berliku Demokrasi

Sopir taksi yang mengantar saya pulang dari kerja pada suatu sore mengeluh kepada saya, mengapa pada era reformasi ini masyarakat justru semakin miskin, sementara di sisi lain para pejabat justru semakin mementingkan diri sendiri. Bapak pengemudi taksi ini menunjuk sederet kasus seperti mahalnya harga kebutuhan pokok, naiknya harga BBM, meningkatnya biaya pendidikan dan biaya kesehatan yang makin tak terjangkau. Sementara itu di sisi lain, para pejabat sibuk menaikkan pendapatan untuk dirinya sendiri. Jika demikian, ia menganalisis, gerakan reformasi yang dicanangkan mahasiswa dulu nyaris tak memberi arti apa-apa.

Merenungkan kembali omongan supir taksi itu, saya jadi teringat teori konsolidasi demokrasi. Menurut teori ini, suatu momentum gerakan perubahan ke arah demokrasi selalu memunculkan keadaan transisi, yaitu waktu yang sangat penting yang dapat membuat momentum perubahan ke arah situasi demokratis atau pun justru kembali ke sistem otoritarianisme. Masa transisi ini bisa pendek atau panjang, tergantung dari tarik menarik kekuasaan antara kelompok prodemokrasi dan kelompok yang ingin kembali ke arah status quo. Satu hal yang menentukan dalam proses transisi demokrasi adalah masa awal transisi, apakah gerakan prodemokrasi mampu menjadi pengendali perubahan atau tidak.

Dalam kasus di Indonesia, hal ini tidak terjadi. Gerakan civil society yang dipelopori kalangan kampus dan LSM waktu itu tidak cukup ngotot untuk melakukan perubahan secara radikal. Mereka sudah cukup puas manakala Soeharto lengser dan rezim berganti.

Dengan demikian, awal transisi demokrasi di Indonesia berbeda jauh dengan people power-nya Filipina yang menjungkalkan kekuasaan presiden Marcos. People power Filipina yang berlangsung tahun 1986 lebih mampu memberi ruang peralihan kekuasaan pada kekuatan baru. Pemimpin oposisi di Fipilina saat itu, Corazon Aquino, mampu merebut posisi menjadi presiden dan mengakomodasi momentum perubahan dengan memasukkan orang-orang dari kalangan oposisi dalam jajaran kabinetnya.

Selain itu, kelompok-kelompok oposisi di Indonesia waktu itu tidak cukup kompak menelurkan agenda reformasi yang diinginkan. Akibatnya, sampai saat reformasi telah berjalan satu dekade, masa transisi menuju demokrasi masih belum menemukan mata rantai pijakan yang mantap.

Dalam kerangka teori ini, situasi chaos sangat mungkin terjadi. Mengingat dalam masa transisi seperti ini, ketatanegaraan masih uji coba. Peraturan perundang-undangan masih belum menjadi koridor baku, serta penegakan hukum masih bergantung pada kemauan politik elit. Dengan demikian, nasib supir taksi tadi, kita dan berjuta rakyat lainnya sangat bergantung pada relasi kekuasaan antarkelompok kepentingan yang ada.

Kalau dipetakan secara sederhana, saat ini ada dua kelompok besar yang bermain di gelanggang kekuasaan. Kelompok pertama adalah kelompok pro status quo, yaitu orang-orang yang tidak mau berubah karena melihat bahwa perubahan sistem bakal menggerus kekuasaannya. Kelompok kedua adalah kelompok pro perubahan, yang melihat bahwa sistem ketatanegaraan di negeri ini harus diubah menjadi sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis, transparan dan akuntabel.

Di panggung politik Indonesia, tarik menarik antara kedua kelompok ini riil terlihat, baik dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, dalam implementasinya maupun dalam penegakan hukumnya.

Peraturan perundang-undangan sering kali sulit dipakai sebagai aturan main karena peraturan dibuat demi kepentingan sekelompok elit tertentu. Kasus pembuatan PP 37/2006 tentang tunjangan komunikasi intensif dapat menjadi contoh yang baik. Setelah banyak anggota DPR yang terjerat kasus korupsi karena penyalahgunaan alokasi anggaran DPRD, PP 37/2006 dianggap sebagai pintu keluar untuk menghindarkan mereka dari jeratan hukum. Untuk kasus ini, tidak ada cara lain bagi kelompok pro reformasi untuk mengadvokasi kecuali dengan gerakan protes untuk membatalkan peraturan perundang-undangan.

Hambatan tidak berhenti pada peraturan saja. Ketika peraturan telah mengakomodasi prinsip demokrasi, tidak jarang hal itu dihambat dari teknis pelaksanaannya, misalnya saja dalam sistem pemilihan kepala daerah (pilkada). Di satu sisi, pilkada diakomodasi untuk mendorong agar sistem politik lebih akomodatif bagi suara rakyat untuk menentukan kebijakan. Dengan pemilihan langsung diharapkan akan ada kontrak langsung antara kepala negara dan kepala daerah dengan rakyat, sehingga ada dorongan bagi para pemimpin untuk mengabdi pada kepentingan rakyat. Meski demikian, mekanisme ini tidak berjalan mulus dalam praktiknya. Ada kepentingan lain yang menyabot mekanisme kontrak langsung antara kepala daerah dan massa pemilihnya. Misalnya saja, dilarangnya calon independen. Peraturan perundang-undangan mengharuskan seorang kandidat kepala daerah untuk mencalonkan diri melalui partai politik yang memenuhi syarat. Dengan demikian, peraturan ini telah menyabot kepentingan rakyat pemilih, karena dengan aturan ini kandidat kepala daerah akan lebih memperhatikan kepentingan partai politik daripada kepentingan rakyat pemilih.

Selain kendala dari sisi regulasi, kendala dari segi budaya juga masih terlihat dalam proses demokratisasi di tingkat lokal ini. Meskipun mekanisme pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung dan kepala daerah tidak dapat diberhentikan oleh DPRD, tapi masih saja marak adanya resistensi terhadap perubahan mekanisme ini. Di beberapa daerah, kepala daerah yang dianggap tidak kompak atau tidak disukai oleh partai-partai yang berkuasa, dicoba untuk didongkel dari kedudukannya. Misalnya hal yang sempat terjadi di Depok dan Banyuwangi pada beberapa tahun silam.

Dengan kekosongan peraturan perundang-undangan, sementara penegak hukum yang ada juga sangat lemah, akibatnya dalam kasus-kasus semacam ini antara satu kelompok dengan kelompok yang lain bermain pada tataran di luar koridor hukum. Kelompok satu dengan kelompok lain saling membentuk kelompok penekan untuk memprotes kelompok lain.

Dalam situasi ini ada beberapa cara untuk memperkuat daya tawar rakyat. Yang pertama adalah memperkuat lembaga kepresidenan. Presiden yang telah dipilih secara langsung oleh rakyat harus diperkuat kelembagaannya sehingga mampu berjalan efektif untuk menyelenggarakan pemerintahan dan melayani kepentingan rakyat. Selama ini lembaga kepresidenan tampak lemah, karena meski presiden dipilih langsung oleh rakyat namun ia harus mengakomodasi kepentingan partai politik di parlemen. Akibatnya, dalam banyak kasus, pemerintah sangat akomodatif terhadap kepentingan lembaga legislatif.

Yang kedua adalah dengan mengubah sistem pemilihan legislatif dari sistem campuran antara distrik dan proporsional menjadi sistem distrik. Dengan sistem pemilihan model distrik, calon anggota legislatif akan dipilih langsung oleh rakyat, sehingga mau tidak mau harus mementingkan kepentingan rakyat. Selama ini sistem campuran tidak mengubah kebancian sistem proporsional, yang membuat anggota legislatif lebih mementingkan kepentingan partai ketimbang konstituen.

Yang ketiga adalah memperkuat kontrol masyarakat terhadap penyelenggara negara. Demi kepentingan ini, maka lembaga-lembaga non pemerintah, pers dan kampus harus diberi ruang yang luas untuk mendapatkan informasi. Kelompok-kelompok inilah yang mampu menyuarakan kepentingan masyarakat dan mampu memobilisasi massa untuk mendukung ataupun menolak suatu kebijakan tertentu.