Thursday, April 13, 2006

C i l a - C i l i




"Banyak orang yang cerdas!. Banyak orang yang pandai!. Tapi kecerdasan dan kepandaian itu hanya diperuntukkan untuk tujuan yang keji-keji belaka. Itu banyak terjadi dan kau tak boleh memasukkan dirimu ke dalam golongan orang yang seperti itu." ( Pramoedya Ananta Toer )



Pendidikan adalah segala-galanya bila ingin maju. Maju harkat pribadinya, maju nasionnya, maju peradabannya. Itulah salah satu dari banyak hal yang diangankan Pram.

Lewat novel Burunya, Pram mengatakan bahwa kemajuan bisa dicapai jika unsur mitos yang mencandra akal dan feodalisme yang membungkam rasio, bisa tertusuk tumpas dengan pendidikan. Sebab kedua paham itu menghalangi seorang manusia untuk merebut martabatnya sebagai manusia yang maju dan merdeka karena dipaksa oleh sebuah hierarki yang dibentuk oleh sistem feodalisme raja-raja.

Sebuah adegan ketegangan pendidikan dan feodalisme diperlihatkan Pram dalam salah satu paragraph di Bumi Manusia : " aku mengangkat sembah sebagaimana aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku. Dalam mengangkat sembah, serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri sampai sedatar tanah kalau mungkin…uh! Anakcucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini."

Karena tak rela menjalani kehinaan, maka Pram mengangankan bahwa semua pribumi kelak bisa mengecap pendidikan yang tinggi. Walaupun kita tahu Pram tak sanggup menjejaki angan-angan itu. Ia hanya lulusan SMP kelas 2 di Surabaya sebab sekolah keburu bubar karena serangan balatentara Jepang. Lalu di Jakarta pada usia 17-20 tahun, sembari bekerja di kantor berita Jepang, Domei, Pram mencoba mendaftar ikut kuliah filsafat dan sosiologi di sekolah tinggi Islam yang diasuh Dr.Rasjidi dengan bayaran 25 rupiah dari hasil menjual kemeja kaos putih dan biru muda yang baru duakali dikenakannya.

Tapi hasilnya nihil. Dan ia pun mengembara mencari pengetahuan dari buku-buku, dari klipingan koran dengan cara otodidak. Lalu himpunan dan data-data itu menjelma menjadi karya-karya besar lagi terpuji dan mengukuhkan namanya menjadi sastrawan dunia.

"Walaupun seorang yang enggak tamat SMP, saya ini doktor lulusan Amerika." ujar Pram bangga sembari tertawa.




Menurutnya tidak mesti orang belajar dengan membaca buku. Belajar bisa dengan mengamati, menghafal, memperhatikan, mendengarkan. Banyak belajar ilmu pengetahuanpun tidak menjamin orang menjadi kreatif. Bagi Pram, orang yang cedas dan kreatif adalah yang pandai menarik kesimpulan dari ilmu dan pengetahuannya dan pengalamannya.

Dalam beberapa kesempatan, Pram sungguh prihatin dengan tergusurnya pendidikan yang mengajarkan watak yang mandiri, kuat dan cerdas, menjadi pendidikan yang terkomersialisasikan.

Alih-alih ingin menggapai kualitas pendidikan yang baik dengan harga terjangkau. Para pelaku di dunia pendidikan kita lebih sibuk dan berpeluh menaikkan ongkos daripada menaikkan kualitas pendidikan. Hasilnya, watak yang dihasilkan dalam dinding-dinding kelas sekolah tak lebih dari watak manusia-manusia lama yang masih berada di alam agraris dan feodal.Watak ingin menjadi pegawai negeri, birokrat.

Ada banyak alasan mengapa profesi ini menjadi cita-cita, walau gajinya relatif kecil. Salah satunya adalah status pegawai negeri menjanjikan jaminan kepastian hidup dan masa depan.

Pendidikan kita, diakui atau tidak, selama ini memang tidak serius mencetak manusia-manusia yang berjiwa berdikari dan mampu merintis sebuah kerja mandiri dan tak harus menjadi budak bagi orang lain atau menjadi manusia kuli. Pendidikan kita seakan menjangkar dan memperluas kesadaran serta meluapkan keinginan bahwa bila lulus kelak akan menjadi pegawai negeri. Paling tidak menjadi pelamar pekerjaan dengan menenteng ijazah kesana-kemari dan mengantri panjang untuk mengambil formulir kartu kuning di depnaker ketika bursa kerja dibuka secara massal.

Para praktisi pendidikan barangkali menolak asumsi bahwa pendidikan menjadi terdakwa dalam hal ini. Namun kenyataan berbicara jujur bahwa sistem pendidikan kita tidak merangsang manusia untuk berkarya dan mandiri, melainkan mencetaknya sebagai manusia benalu dalam masyarakat. Buktinya, setiap tahun meruyak sebarisan panjang angka pengangguran sarjana.

Penting untuk menilai pengalaman secara seksama dengan ketajaman mata selidik. Sebab setiap pengalaman yang tidak dinilai, baik oleh dirinya sendiri ataupun orang lain, akan tinggak sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman adalah fondasi kehidupan.



Oleh sebab itu, tegas Pram, belajarlah menilai pengalaman sendiri dan membentur-benturkannya dengan lingkungan tempat dimana pengalaman itu tumbuh. " Beras menjadi putih bukan hanya karena tertumbuk alu, tetapi karena pergeseran dengan sesama beras karena tumbukan alu." kata Pram mengutip ucapan salah satu srikandi pergerakan nasional awal abad 20, Siti Soendari.



Bila penuntasan kasus korupsi dan penyelewengan sulit diberantas, maka ini bukan keanehan. Rendahnya usaha itu bukan hanya terkait dengan begitu rumitnya jaringan korupsi, aparat hukum dan negara yang mungkin tak becus, tapi juga terkait dengan masalah kesadaran. Kesadaran itu adalah kesadaran hidup menjadi ambtenaar di republik yang sudah sesak dengan pegawai negeri ini.

Banyak orang yang menjadi meester atau doktor hanya karena orangtuanya mampu membiayai atau karena diongkosi oleh orang lain. Ini bukan hal yang mengagumkan. Hanya orang yang bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi doktor atau meester atau insinyur dengan tenaga dan kekuatannya sendiri, itulah yang patut mendapat pujian. Itu tandanya orang-orang yang betul-betul punya kemauan, mempergunakan kecerdasan, kekuatan, dan kepandaian yang dimilikinya.

Titel akademi bukan tujuan manusia, itu hanya alat . Sama saja seperti pisau, mobil, pacul untuk menggampangkan orang dalam mencapai cita-citanya. Andaikan seorang anak gembel yang hidup di gubuk dan makan tak ketentuan bisa mendapat gelar akademi, itu baru hebat.

Jika kita masih percaya pada lembaga pendidikan, maka yang mesti dilakukan adalah mendorong lembaga-lembaga tersebut untuk membekali diri dengan kekuatan mendidik orang-orang dalam asupan pengetahuannya untuk menjadi manusia berwatak, mandiri, mau bekerja keras, serta memupuk daya saing dalam praktek bermasyarakat. Dan semua watak itu sulit kita dapatkan dalam mental orang-orang yang sedari dini bercita-cita menjadi kaum ambtenaar yang pemalas, miskin kreatifitas, dan kerjanya hanya rebutan proyek!.