Monday, May 1, 2006

Minggu 1 Pahing




Dalam usia beberapa tahun pohon cemara di muka rumah rebah, tak ada pilihan lain kecuali engkau berniat memahami matahari yang tak jatuh ke sumur, hingga lumut kian subur. Kau tak boleh menanam pohon lain di halaman yang sama, karena kau bukan penjaga kebun yang dapat membagi rata airnya.

Dan aku ingin sekali kau melahirkan patung-patung rusa di pekarangan, sebuah bar kecil, dan seorang anak perempuan berambut ikal yang menyetel televisi sendiri. Maaf, jangan kau pindahkan rumpun pandan dari halaman belakang, karena aku suka wanginya menyebar sampai ke kamar mandi.

Seharusnya kau juga tak gagal mengandung sungai, agar saat aku hanyut dalam peta aku dapat berpegangan pada rambutmu. Menjambaknya!. Sampai disitu aku berharap kau melupakan perahu-perahu yang tak ada jangkarnya, lalu mengingat-ingat kembali obat apa yang pertama kali kau beli saat demam bertahun-tahun. Bagaimana kau menafsirkan daun cemara yang jatuh ke dalam buku harianmu?. Ada anak burung gereja yang mematut-matut tangkainya, di senja hari sambil kau mengingat jalan-jalan ramai yang pernah kau lewati: pasar malam masih tutup, komedi putar, gula-gula dan wahyu yang kau dapati dari beberapa pengeras suara: " Mari membangun fondasi yang pasirnya kita tambang dari pantai sendiri. " Waktu itu kau masih berharap rumah yang dicat kuning dan sebuah kamar dengan gambar penyair Anwar.

Ayolah, tinggalkan rumahmu. Aku harus segera menukar uang asing agar dapat membelanjakan sayuran, membeli bibit cemara, beberapa pot kecil dan sebuah telepon yang dapat membuatmu bicara dengan hati. Apa yang kau tunggu?. Pada sebuah tangga penyeberangan, betapa kau bisa membaca sejarah tentang suara bayi yang hanya singgah.

Aku melihat kesetiaan menjadi sepasang mata yang harus tumpah airnya. Dan dari segala makna yang kuterka, betapa tragedi dengan anggun mampu menisik gorden jendela. Ayolah, tinggalkan rumahmu!.

Mendatangimu yang terbaring, aku nyaris lupa menghitung berapa kali aku gagal membuatmu tersenyum, berapa kali aku lolos dari jebakan macet. Kota ini terlalu kecil untuk 20 juta kendaraan bermotor, pemukiman yang terlalu padat, para urban yang bebas mendirikan bedeng di tanah yang semestinya jadi apotek hidup. Langit sering muram disini. Debu sudah jadi pelengkap bagi menu sarapan pagi. Aku seakan telah jadi bagian kebisingan di sekelilingmu. Kegaduhan para pendemo, jalan raya yang mengecil karena digerogoti pedagang kaki lima, juga persimpangan yang salah arus. Ah, betapa banyak orang sakit di kota ini. Jembatan dan pertokoan dihiasi bendera partai, suara azan yang kalah getar oleh knalpot motor. Bagaimana mungkin seorang pengamen bisa lebih galak dari seorang polisi?.

Melihatmu yang terbaring, kurasakan tatapanmu penuh bicara, sedangkan gerimis seperti menyileti hari-harimu yang memelas. Kota ini telah memberiku catatan demi catatan tentang seseorang yang merasa sangat berharga bila telah memberi, tapi siapakah gerangan yang terhempas bila yang kuat harus menang, dan bukannya siapa yang benar harus keluar dari jeratan?. Kini aku ikut terbaring di atas jerami.

Lalu, sakit itu akan kau letakkan dimana kalau tubuh sudah tak memberi tempat untuk tersenyum?. Terlalu sering kita menaiki anak tangga, tapi tak pernah kita kencangkan tali rekatannya. Padahal dari situ gelombang muncul bersama botol-botol dan menu yang basi, kita terus saja mengayak pasir pada jaring ikan hiu. Kalau bisa terbang, kau tak mungkin akan memilih jadi seekor burung. Sebab tanganmu bukan kepak kakimu, bukan langkah hidungmu, bukan cium matamu, bukan tatap. Hatimu endapan limbah yang mendidih di belakang pabrik.

Sekarang aku kembali pada buku yang berhalaman banyak. Kucari diriku disitu, dimana aku tinggal, sampai dimana aku tertinggal. Aku mulai dari awal menatap, menjejak dan bergerak. Lalu setelah itu biarkan waktu yang bicara.



Aku telah kalah dalam perkelahian massal dengan perasaan sendiri. Terbentur ribuan kali selama belasan tahun. Bicaralah Pram, tentang rumah yang diramaikan tawa anak-anak dan suara-suara daun di tengah malam. Betapa aku haus seribu sumur dan ladang yang menanam cahaya matamu. Tak ada kekayaanku selain puisi, tak ada mawar bisa kucium selain di tamanmu. Bicaralah Pram, sebelum awan jadi bendungan mendung dan lahar menguap ke udara. Kekalahanku begitu menyesakkan, sebab semua telinga tersumbat harum ruang tamu. Sedang suara-suara mereka seperti bendera tanpa negara.

Tak ada yang dapat kubanggakan selain ketulusanmu, yang dapat mematahkan seratus pilar kabut di sepanjang perjalananku. Kekalahanku ini telah memberiku luka, tapi aku bertahan karenamu. Bicaralah Pram, sebelum aku kehabisan darah dan semangat untuk membangun jalan menuju alamatmu. Aprilmu lebih hampa dari payung yang diterbangkan angin. Lebih sedih dari sebuah puisi sedih. Tidak adakah sedikit tempat di dunia ini untuk merahasiakan dukacita ini?. Aku punya pinsil biru untuk hari rabu, juga yang kelabu untuk hari Sabtu. Tapi tak ada kalimat yang kuasa merayakan jiwaku yang pucat. Sakit bukan lagi sakit dan tangan bukan lagi tangan. Aku menulis seharian, melukis semalaman. Kemanakah lenyap terbawa pensil putih hari-hari sedihku?. Kenapakah harus kurahasiakan lilin doa yang sia-sia menyala?. Entah tiba pada siapa Aprilmu. Entah menghampiri siapa Aprilku, karena payung yang kemarin petang tak bisa lagi bersilang jalan dengan puisi sedih yang sekarang...





Untuk : Pramoedya Ananta Toer


minggu pagi tigapuluh april
tahun duaribu enam masehi