Saturday, June 24, 2006

Jakarta Megapolitan





KONSEP MEGAPOLITAN


URBANISASI
Untuk mengatasi masalah urbanisasi dan lintas kependudukan antara Jakarta dan daerah sekitarnya. Luas DKI Jakarta hanya 656 kilometer persegi, sangat sempit untuk 10 juta manusia. Arus urbanisasi yang tidak terbendung membuat kondisi Jakarta tak seimbang dan hanya tinggal menunggu bom waktu.



TRANSPORTASI
Adanya penataan transportasi makro antara Jakarta dan daerah penyangga yang berbasis angkutan massal, yaitu kereta api bawah tanah dari selatan ke utara. Juga monorel dari timur ke barat, lalu busway dan angkutan air. Diharapkan penduduk di sekitar Jakarta memanfaatkannya.



BANJIR
Penanganan banjir harus dilakukan secara sinergi antara Jakarta dan daerah sekitarnya. Ancaman dari tigabelas sungai di selatan, penanganannya harus dikembalikan ke daerah asal yaitu Cianjur, Puncak, dan Bogor. Sampai di Jakarta, kapasitas air diharapkan sudah tipis, lalu disalurkan ke kanal barat dan kanal timur yang sedang dibangun. Saat ini sudah 50% pembebasan lahan untuk banjir kanal timur sepanjang 3 kilometer dengan lebar rata-rata 100 meter.



SAMPAH
Produksi sampah DKI Jakarta saat ini 6000 ton perhari, dan bila nanti penduduknya menjadi 15 juta, produksi sampah kira-kira 10 ribu ton. Ironisnya tak ada lagi lahan dan tidak mungkin menggunakan teknologi tinggi dengan lahan yang ada. Karena itu, perlu bekerja sama dengan daerah sekitarnya.



PIMPINAN
Untuk mendukung konsep Megapolitan dan pelaksanaan pembangunan pada kawasan tersebut, perlu dibentuk sebuah lembaga yang diketuai oleh koordinator yang berkedudukan setingkat menteri, gubernur DKI ex officio atau dibentuk sebuah menteri baru, menteri Jabodetabekjur ( Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Cianjur).






Ibarat bongkahan gula, DKI Jakarta dikerubuti semut dari segala penjuru. Segudang persoalanpun timbul dan Jakarta seperti tak sanggup lagi memikulnya. Fakta itulah yang mendasari Sutiyoso ( gubernur DKI ) mencetuskan ide Megapolitan Jabodetabekjur ( Jakarta Bogor Depok Tangerang Bekasi Cianjur). Konsep inipun langsung disambut pro dan kontra. Gagasan untuk menyatukan pengelolaan tataruang itu memang bagus, tetapi rentan kecurigaan. Terutama dari wilayah penyangga.


Pokok persoalan yang menghantui Jakarta adalah karena ia menjadi pusat dari segala kegiatan. Ya pusat pemerintahan, wisata, budaya, pendidikan, telekomunikasi, industri, perbankan dan pusat bisnis. Tidak heran jika kota yang dulunya bernama Batavia ini menjadi tujuan utama jutaan pengadu nasib.









Sekedar gambaran, populasi Jakarta pada 1960 baru 2, 7 juta orang. Sekarang diperkirakan telah mencapai 9-10 juta penduduk. Bahkan pada siang hari, sekitar 12 juta manusia memadati kawasan seluas 656 kilometer persegi ini. Tambahannya adalah mereka yang bekerja di Jakarta tapi tinggal di kota-kota penyangga semisal Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.



Situasi akan berbeda jika "gula-gula" yang ada tidak lagi terpusat di Jakarta, tapi disebarkan ke wilayah-wilayah sekitar. Pusat industri misalnya, bisa dipindahkan ke Cibinong-Bogor, dan perbankan dialihkan ke Serpong-Tangerang, sedangkan pelabuhan bisa dipindahkan ke Banten. Jadi para pencari kerja tidak lagi menumpuk di Jakarta, karena pabrik-pabrik, pelabuhan dan kantor-kantor perusahaan swasta berada di luar Jakarta.



Dengan begitu, Jakarta tidak lagi menyandang fungsi lain selain pusat pemerintahan.






Mungkin predikat ini yang agak sulit ditransfer ke kota lain, mengingat investasi gedung-gedung pemerintah, istana presiden dan wakil presiden ada di Jakarta. Tapi fungsi-fungsi lain tidak sulit dipindahkan.


Bayangkan saja andai dulu UI ( Universitas Indonesia ) tidak dipindahkan sebagian ke Depok, apa jadinya kawasan Salemba sekarang?. Atau Halim, kalau bandara tidak dipindahkan ke Cengkareng.


Bukannya tidak mungkin pula ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke wilayah lain karena Jakarta yang sudah sangat overload ini, misalnya ke Bandung atau Jogjakarta. Kota-kota besar di negara lainpun sudah menerapkan konsep ini. Malaysia sudah memindahkan ibukotanya dari Kuala Lumpur ke Putra Jaya. Di Australia, ibukotanya berada di Canberra sedangkan pusat bisnisnya di Sidney. Begitu juga Amerika Serikat yang menetapkan Washington sebagai ibukota sedangkan kota-kota lainnya memiliki peran yang berbeda-beda. Cina, yang sadar betul bahwa Beijing sebagai ibukota tidak lagi sanggup menanggung segala beban, telah mengembangkan Shanghai sebagai pusat bisnisnya.


Intinya, Jakarta tidak boleh lagi menjadi pusat dari segala kegiatan. Mungkin ide ini bisa menjadi alternatif untuk Bang Yos (panggilan akrab untuk Sutiyoso) jika konsep Megapolitan yang dicetuskannya itu nantinya tidak bisa jalan.