Sunday, August 20, 2006

W a r i s a n

Dalam hidup yang berat dan sulit, selalu dibutuhkan tokoh pemenang yang gemilang sebagai pujaan yang berbeda dari yang lainnya, tokoh pemimpin. Manusia yang ditokohkan itu sering dituntut berbuat lebih dari kemampuannya dan memberikan kinerja dewa-dewa. Iya, jadi dewa selama mampu memberi. Kalau gagal?. Dicampakkan tanpa pertimbangan apapun jasanya. Padahal yang diwariskan untuk generasi mendatang jauh lebih sakti dari yang bisa dibayangkan orang.

Padahal kita tahu setiap pemimpin punya gaya dan siasat kepemimpinan yang berbeda, tergantung pribadinya dan situasi lingkungan maupun tantangan-tantangan yang dihadapinya. Tidak mudah menilainya, apalagi memang tidak ada pemimpin yang sempurna. Kalau disimak sejarah para pemimpin besar kita, khususnya para mantan presiden, tentunya yang dapat dijadikan pelajaran untuk generasi mendatang tidak melulu ketidaksempurnaan mereka, tapi juga warisan penting yang layak dipertahankan sampai saat ini.

Pemerintahan Bung Karno--pemerintahan the founding fathers--





adalah pengurus perubahan dari masyarakat jajahan menjadi masyarakat merdeka yang mengidamkan demokrasi. Dalam mengantisipasi perubahan ini, dibangun Pancasila sebagai pegangan hidup untuk menanggapi tantangan selanjutnya bangsa ini. Para founding fathers menganggap tidak mungkin sebuah negara yang masyarakatnya heterogen akan selalu sepaham dengan pandangan politik ekonomi dan sosial. Kenyataannya memang begitu. Sejak proklamasi kemerdekaan hingga kini, para elite tidak henti-hentinya bersilang pendapat tentang paham dan cara pemerintahan. Parlemen menjadi forum semakin panas, hingga Bung Karno pernah mengeluarkan gagasan Nasakom ( nasional, agama, komunis), tetapi gagal. Untuk seterusnya, istilah Nasakom mengingatkan kita pada usaha musykil seorang pemimpin untuk mempersatukan bangsanya.

Pemerintahan pak Harto kita kenal dan akui sebagai Bapak Pembangunan di berbagai bidang. Dalam bidang ekonomi dirancang secara berencana setiap lima tahun, GNP/capita melonjak berlipat-lipat, dan kestabilan lebih terjaga.




Pak Harto beranggapan bahwa untuk kelancaran pembangunan di berbagai bidang, kestabilan harus terjaga. Untuk menyiasatinya, ia menjalankan konsep Dwifungsi ABRI yang dilegitimasi oleh MPR. Untuk menjamin persatuan dan kesatuan, Pancasila disaktikan. Semua orang dilarang melakukan tindakan-tindakan yang berlatar SARA.


Tidak adil membandingkan warisan dari pemerintahan masa Bung Karno ( 22 tahun) dengan pak Harto (32 tahun) dengan tiga mantan presiden yang berikutnya di masa reformasi. Yang patut dicatat: Pak Habibie mencanangkan kebebasan pers.




Gus Dur: berupaya membebaskan kehidupan umat
beragama dari campur tangan negara dan memungkinkan pemulihan hak-hak sipil penganut agama Konghucu.







Ibu Mega: memfokuskan kegiatan pada upaya pemberantasan KKN.

Ini menandakan ada warisan para mantan presiden yang selayaknya tidak kita lupakan, karena penting untuk kelangsungan NKRI maupun persatuan bangsa.