Thursday, September 21, 2006

Politik Pertanian


Permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada menteri yang berasal dari partai politik untuk melobi partainya untuk membatalkan pangajuan hak angket dan interplasi terkait dengan kebijakan impor beras, tampak wajar jika dilihat dalam perspektif makro. Yaitu, mengimpor beras adalah perlu untuk berjaga-jaga agar rakyat tidak kelaparan.



Pemerintah tentunya tahu benar berapa stok beras yang ada. Tahu pula bahwa sepenuhnya mengandalkan beras hasil pertanian sendiri, bangsa ini belum mampu. Karena itu, impor beras bukanlah hal yang dilakukan dengan senang hati, tapi sebuah keniscayaan justru agar makanan pokok untuk rakyat cukup tersedia.





Tetapi, niat baik memang tidak selamanya bisa diterima dengan baik. Niat baik Presiden ini dijemput dengan hak angket atau interplasi DPR yang menolak kebijakan impor beras.

Sebagai lembaga legislatif, DPR memang memiliki peran mengontrol kebijakan pemerintah. Satu peran penting yaitu memelihara hidupnya mekanisme check and balance, pengawasan dan pengimbangan. Namun, pengawasan dan pengimbangan itu harus tunduk kepada kepentingan publik, bukan kepentingan partai atau orang perorang.

Yang terjadi kemudian, wacana penolakan impor beras telah menjadi larut dalam hiruk pikuk komoditas politik, yang di dalamnya tumbuh berbagai ragam kepentingan.

Masalah beras sejatinya adalah masalah politik pertanian pemerintah, yang ujungnya berada di atas pundak Departemen Pertanian. Politik pertanian menuju swasembada beras inilah yang belum dimiliki dengan konsisten. DPR pun mempunyai kontribusi dalam hal ini, karena membiarkan negara ini tidak memiliki politik pertanian yang menuju swasembada beras.



Faktanya, inilah negeri agraris yang paradoks. Lahan kita berlimpah, penduduk yang hidup bertani berjuta-juta, tapi kemempuan untuk menyediakan makanan pokoknya sendiri tidak mampu. Penduduk terus bertambah, namun tidak ada politik pertanian yang tegas dan konsisten untuk menjadi bangsa yang berswasembada beras.


Dalam keadaan seperti itu, siapapun yang menjadi Presiden, akan berhadapan dengan dilema. Sepenuhnya mengandalkan produksi beras dalam negeri, tidak realitis. Sebaliknya, mengimpor beras dikecam dan dikritik. Siapa sih presiden yang membiarkan rakyatnya terancam kelaparan bila stok beras rawan?.


Impor beras memang harus kebijakan sementara. Selanjutnya, Presiden dan DPR harus memacu Departemen Pertanian untuk menjadikan bangsa ini bangsa agraris yang penuh harga diri. Bukan saja mampu swasembada, bahkan menjadi eksportir beras.


Kita juga ingin menggarisbawahi bahwa menterilah yang mengikuti kebijakan pemerintah. Menteri dari sebuah partai yang menolak kebijakan pemerintah, sebaiknya mengundurkan diri atau diberhentikan saja.