Wednesday, January 24, 2007

Pembaharuan Disertai Kewaspadaan

Harus datang pembaharuan agar manusia dapat meninggalkan situasi yang memprihatinkan, yaitu kehidupan modern yang berjalan tidak menentu, mabuk oleh globalisasi, kemajuan ilmu, materi dan kekuasaan. Seandainya manusia mau berpikir murni dan mendalam, tujuan pokok hidup sebenarnya adalah mencapai kesempurnaan, baik spiritual maupun etis.

Untuk itu perlu tercipta peradaban baru yang etis. Suatu peradaban yang mengusahakan perdamaian kekal di dunia tempat tinggalnya. Hanya dengan sikap itu maka hidup akan ada artinya, dan manusia akan terhindar dari bencana dan kekejaman perang atau kekerasan yang sia-sia.

Pendapat serupa pernah disampaikan oleh filsuf Albert Schweitzer (1875-1965), yang juga menyimpulkan bahwa dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi sekarang lebih tidak perduli pada kemanusiaan. Dengan kemampuan membangun senjata modern, keinginan untuk melakukan kekerasan, merusak dan memusnahkan rupanya bertambah besar. Keinginan itu ada di tengah anjuran-anjuran yang disiarkan dimana-mana agar manusia lebih menghargai hidup. Kebenaran inilah yang masih harus dicari manusia.

Maka konsep HAM dicoba ditanamkan seluas mungkin di kalangan masyarakat dimana-mana. Sayangnya, tidak mudah membangun rasa saling percaya. Manusia masih saja menempuh jalan historis ke arah kekerasan dan kehancuran. Problemnya bukan pada keyakinan ini atau itu, kepercayaan ini atau itu, tetapi keakuan dan keserakahan yang memisahkan satu manusia dengan manusia lainnya.

Mungkin secara naluriah manusia memiliki sifat agresif, yang setiap ada kesempatan lalu mencetus menjadi kekerasan. Kekerasan yang membawa kesengsaraan. Manusia memang selalu mengecam dan menghindarinya , namun momok satu ini memiliki daya tarik luar dan pesona luar biasa. Perlu dicari penyelesaiannya.

Pada tahun 1960-an, Amerikapun mengalami peristiwa-peristiwa dalam negeri yang memprihatinkan. Terjadi pembunuhan-pembunuhan karena alasan politik. Korbannya, antara lain: Presiden Kennedy, Jaksa Agung Robert Kennedy, dan pejuang hak-hak sipil Martin Luther King. Terjadi bentrokan-bentrokan rasial, kekerasan dalam protes-protes mahasiswa dan kebrutalan polisi. Kejadian itu berlarut-larut sampai akhirnya menjelang akhir 1960-an dibentuk Komisi Nasional yang meneliti sebab-sebab dan pencegahan kekerasan.

Hasil studinya menunjukkan, ada 3 kondisi dalam masyarakat yang berkaitan dengan kerusuhan sipil. Pertama, karena dalam masyarakat terdapat ketimpangan serius antara yang secara sah seharusnya mereka peroleh dan kenyataan tentang apa yang kemudian mereka dapatkan.

Kedua, tingkat legitimasi politik. Semakin kecil rasa percaya terhadap legitimasi sistem politik, semakin besar kemungkinan mereka menggunakan kekerasan untuk menentangnya. Yang ketiga, struktur dan karakterisitk organisasi pemerintahan itu sendiri.

Di Indonesia, korupsi yang merajalela di lembaga-lembaga politik dan pemerintahan tentunya meruntuhkan rasa percaya masyarakat terhadap legitimasi sistem politik. Kerusuhan-kerusuhan yang bangkit akibat situasi ini diharapkan akan berangsur susut bila Presiden SBY berhasil menumpas korupsi.

Di luar korupsi yang memporakporandakan jalannya perekonomian, ada keinginan agar perhatian juga dicurahkan kepada rakyat yang selama ini merasa diabaikan. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin membangkitkan rasa adanya ketidakadilan. Bukan saja di antara mereka, tetapi juga di kalangan penduduk daerah-daerah provinsi. Memang demokrasi telah dijalankan, tetapi tanpa pegangan ideologi, dalam hal ini Pancasila. Harus ada sistem penyelesaian berbagai perkara yang tidak adil dan melanggar hukum.

Tentu masih banyak lagi yang harus disempurnakan, tapi pada dasarnya adalah bagaimana mempertajam rasa kemanusiaan dan kenasionalan yang untungnya belum hilang sama sekali. Ini terbukti dari bagaimana reaksi masyarakat ketika terjadi berbagai bencana alam di negeri ini.

Setelah berbagai penyempurnaan dan pembaharuan, diharapkan kekerasan, seperti kasus Poso dan wilayah-wilayah lainnya tidak terulang lagi. Seandainya yang mendalangi bukan orang kita, orang-orang itu menghasut dan mengajak berkomplot untuk membuat gerakan-gerakan teror tanpa tujuan konkret di negeri ini, sebaiknya jangan diladeni. Mereka tidak etis. Bukan hanya citra Indonesia yang rusak, tetapi mereka curang karena tidak mau mengusik negeri mereka sendiri. Akibat perbuatan tidak etis itu, dilihat dari sisi manapun, kita yang merugi.

Maka, setiap ada pembaharuan dalam bidang apapun, sebaiknya dibarengi dengan kewaspadaan, bukan dengan kekerasan.