Saturday, October 15, 2005

Air Mata

Izinkanlah kami, rakyat miskin, untuk memeras airmata darah. Itulah satu-satunya yang kami punyai, tinggal. Tidak, tidak. Kami rakyat miskin tidak menangis lagi. Kami hanya meminta izin untuk tetap sengsara disebabkan ketidak becusan kami dalam berburu nafkah. Jangan cambuk lagi kami dengan kasih sayang, cambuklah kami dengan penderitaan sepuluh tahun lagi, duapuluh tahun lagi, limapuluh tahun lagi, supaya kami, rakyat miskin, terus belajar bagaimana bertahan di segala cuaca.

Ketika menyadari bahwa setiap hari kami sangat kesukaran dalam mengatur uang belanja kami yang cupet, kami sadar, semakin mempersulit kerja siapapun yang mencoba menolong kami. Ya, kami menjadi beban. Beban yang berat sekali bagi siapa saja yang memikul kami.

Bagaimana kemungkinannya jika kami mengajukan eutanasia saja. Sekitar separo dari penduduk negeri ini, rakyat miskin, bisa dieliminasi supaya beban yang menyebabkan semuanya menderita bisa berkurang dalam sekejap. Tak ada gunanya memelihara rakyat miskin. Disamping sangat menghambat moderinisasi, rakyat miskin juga sangat boros dalam melahap kekayaan bangsa.

Kenaikan harga BBM memang fatal. Kami, rakyat miskin, ditempeleng telak. Kami terkapar. Ada saja anak-anak kami yang mencoba bunuh diri karena tidak mampu membayar yuang sekolah. Tidak tanggung-tanggung, 27.000 murid sekolah di Bogor terancam putus sekolah. Dewasa ini, kami yang jumlahnya ribuan, macet sekolahnya. Lalu menggelandang mencari pekerjaan apa saja. Kami juga menjadi pemulung, pengemis, penjambret, pencuri, perampok, pemerkosa, pembunuh, agen dari segala kerusuhan dan huru-hara. Pernah dengar sopir taksi yang dibunuh dan duitnya dijarah?. Itulah kerja kami. Kami membunuh kami, karena hanya dengan jalan itu kami bisa hidup.

Mitsubishi hengkang dari kebun kita dan memilih berinvestasi di Thailand, yang menyebabkan kami mampus. Berapa ribu karyawan yang kena PHK?. Tanpa dibunuhpun kami sudah tewas. Nah, beban dari yang berwajib berkurang dalam mengurus kami, setelah kami mundur dari dunia ramai. Alangkah mudahnya mengurangi derita. Barangkali sebentar lagi menyusul Honda, Hyundai, KIA, Toyota, Daihatsu, Suzuki, apa susahnya. Perusahaan besar datang dan pergi sesuka hati. Seperti datang dan perginya awan yang membentang di langit yang dapat diharapkan menjadi hujan.

Kami, rakyat miskin, memang sering bikin ulah yang menyebabkan para investor tidak tenang hidupnya. Yang berwajib tidak memperbaiki semua itu karena memang tidak mampu. Rasa aman, rasa tidak digerogoti, sudah sangat berat untuk ditanggulangi. Memang menyelenggarakan konferensi, kongres, muktamar, dan rapat-rapat jauh lebih memikat karena ringan, namun duitnya banyak, daripada menjaga para investor itu dari segala rongrongan.

Musim semi ekonomi Indonesia telah tiba, yang menikmati tentulah hanya para petinggi dan elite politik. Meski terdengar kata-kata mutiara: "Pesta yang buruk adalah pesta tanpa mengajak kaum miskin", tolong jangan ajak kami ke pesta, sebab itu cuma basa-basi yang sudah disobek dari lembar buku-buku pelajaran bagi orang-orang beriman. Orang-orang beriman sudah memiliki buku-buku baru yang lebih cocok.

Apalah arti musim semi ekonomi bagi rakyat miskin?. Semuanya itu cuma pembicaraan yang tidak mampu kami pahami. Yang kami butuhkan hanyalah yang serba konkret. Jika kami sakit beri kami obat. Jika lapar, beri kami makanan. Kalau sedih, hibur kami. Tapi, itu semua sudah tamat. Yang kami perlukan cuma eutanasia. Nah, kerjakan sekarang, mumpung penderitaan kami belum bertambah-tambah. Sekitar seratus delapan puluh juta jiwa bakal lenyap sekelebatan. Itulah pengertian yang selama ini kami yakini.

Kami tahu, beban berat tidak bisa dipikul terus menerus tanpa dipunggah dari pundak. Ayo, beristirahat. Kami berteduh di bawah pohon besar untuk melepas lelah dan peluh yang mengucur. Kami susun kembali karung-karung besar beban yang menggunung di sisi kami ketika kami lelap. Kami bermimipi sejenak: Mimpi tentang anak-anak yang kami lahirkan yang menempuh hidup di kemudian hari. Anak-anak ceras dan berbakti yang tetap saja digarong oleh masa depannya.

Andai kami bisa membentengi keturunan kami dari segala kerusuhan dan saling menerkam lewat mimpi kami ini. Ah, mimpi adalah godaan yang kami bangun sendiri dengan perih. Waktu jaga sudah kembali, haruskah kami terus bermimpi dan tak kembali lagi ke bumi. Alhamdullillah. Hidup hanya sepenggal catatan kusam yang tidak dibaca lagi. Kesanalah segala kesedihan berlabuh sampai kapal rusak dan tak mampu melaut lagi. Kami hanya rakyat miskin yang setiap saat dilupakan. Yang boleh dianggap tak pernah ada. Robeklah catatan dan kamipun lenyap.

Segala pasang surut APBN, harga minyak, dan para investor tak juga tertarik untuk mengadu untung di sini karena bahaya mengancam di setiap sudut kota, itu kesalahan kami, rakyat miskin, yang tidak memahami seluk-beluk citra dari segala penampilan. Kami sudah pasrah dengan segala tangan yang terikat ke belakang. Gusur kami, usir dan hardik. Penggal!, maka kepala kamipun menggelinding.

Kami, rakyat miskin, tinggal punya air mata darah. Seperti yang sudah diumumkan oleh Tsunami, Buyat, demam berdarah, flu burung, Polio, raskin, maupun tanah longsor dan banjir. Semua keterbukaan sudah tertutup bagi kami. Sampai disini riwayat kami. Jangan diperpanjang lagi derita yang hanya meninabobokan. Kami letih.




Konyol kami tak mampu melepaskan beban sendiri tanpa bantuan siapapun. Segalanya pernah ditulis. Segalanya pernah dikenang. Untung bagi kami yang kami hadapi hanyalah sisa-sisa kekuatan dari masa lampau yang sungguh tak sakti mencoba memberi nyawa kami. Yang papa, yang sengsara. Keadilan, kemakmuran, dan kebenaran, meski bagaimanapun pernah kami cecap, sedikit. Selamat tinggal.