Monday, September 12, 2005

Yang Terbuang


Saya baca lagi perasaan hati seorang pelajar yang puluhan tahun lalu adalah salah satu mantan penerima beasiswa dari negara Indonesia untuk melanjutkan kuliahnya di negara sosialis. Sayangnya, karena ia dianggap terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, mahasiswa itu dicabut paspornya secara semena-mena oleh pemerintah Indonesia. Ia terpaksa mengambil kewarganegaraan lain agar bisa pulang ( meski hanya sebagai turis ) sekedar menengok keluarganya di Indonesia, dengan jatah waktu berkunjung selama 60 hari.

Selama puluhan tahun tinggal di luar negeri, silaturahmi dengan sesama orang-orang terbuang dari negeri sendiri sering dilakukannya untuk membentuk tali kekeluargaan sekaligus melipur kerinduan pada keluarga di tanah air. Kadang mereka kumpul-kumpul di KBRI sebagai sarana menjaga identitas sebagai orang Indonesia. Jika bertemu dengan teman-teman dari Indonesia, mereka sangat antusias menyambutnya, layaknya sanak famili yang lama tak bersua.

Meskipun sekarang mereka telah pensiun, bahkan ada yang telah bermenantukan perempuan Indonesia yang juga ikut menetap di sana, (dan menantu perempuannya inilah yang kerapkali memasakkan masakan soto Indonesia ala negeri itu ketika timbul kerinduan pada rasa masakan kampung sendiri), namun mereka belum juga boleh menetap kembali di Indonesia.

Kini, di tengah kebahagiaan, kepedihan, dan kerinduan di negeri orang,-- sehubungan dengan adanya berita pemberian amnesti presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada anggota Gerakan Aceh Merdeka, juga pemberian izin kepada tokoh-tokoh Gerakan Aceh Merdeka yang berada di luar negeri untuk boleh kembali ke Indonesia--, mereka seolah menemukan wacana baru. Akankah kiranya pak SBY memberikan hati dan pikiran untuk memikirkan nasib mereka?.

Di usia senja mereka, mereka sangat mengharapkan bisa pulang ke kampung halaman, berkumpul seterusnya dengan keluarga dan kembali menetap di Indonesia.