Monday, April 10, 2006

C a n t i k

Pembantu yang baru di rumah saya cukup berpotensi menimbulkan bibit kecemburuan di diri saya. Wajahnya mencolok berbentuk kotak dengan tulang pipi yang tinggi, dan kulit yang mulus. Matanya berbentuk almond sempurna, bibirnya merekah indah.

Saya curiga dia melarikan diri dari kampungnya ke Jakarta karena menjadi kembang desa di sana. Tentunya dia banyak menyusahkan kehidupan orang karena menjadi rebutan terlalu banyak lelaki. Sedangkan kalau saya yang berada di posisinya di desanya, saya sudah bisa membayangkan bisa-bisa orang-orang di sana langsung bedol desa.

Menjadi cantik tentunya berbeda dengan menjadi pandai, atau apa yang orang bilang sebagai inner beauty, bahwa kecantikan di dalam tentu akan memancar keluar dan membuat kita tampak lebih menarik. Untuk sekarang, saya justru ingin berkutat dengan penampilan luar itu.

Selama ini saya merasa risih jika tiba-tiba predikat " cantik " dilekatkan pada nama saya. Hidung saya kembang kempis, pipi saya terasa terbakar, dan mata saya hanya mampu menatap lantai. Saya hampir tidak pernah merasa cantik. Lebih jauh lagi, saya selalu mengecamkan pada diri sendiri untuk tidak usah repot-repot melongok di cermin untuk mengecek penampilan. Kalau tidak menghembuskan nafas panjang-panjang, maka giliran bibir saya yang maju karena saya selalu kecewa mendapati apa yang ada di dalam bayangan cermin itu.

Satu detik saya mabuk dengan penampilan diri sendiri, tentu saja hal pertama yang terjadi adalah saya bertemu model jelita yang mempelototi saya dari atas sampai bawah. Dan karena kepala saya hanya sepinggangnya, saya kurang bisa mendengar apa komentarnya tentang saya.

Saya mempunyai banyak sekali teman berwajah elok. Banyak. Dan sungguh elok. Saya sering termangu memandangi setiap jengkal wajah mereka dan mendadak ingin meraih obat serangga. Saya juga yakin teman-teman saya kadang mengalami hilang ingatan, akibatnya mereka memuji penampilan saya pada suatu hari. Sembari tersenyum saya terbata-bata mengucapkan terimakasih, namun di dasar hati saya yakin mereka lupa minum obat, dan karenanya, berhalusinasi.

Ketika saya bercermin dan pantulannya membuat saya terdiam dan terkagum-kagum, saya tahu di luar sana saya hanya membutuhkan waktu maksimal lima menit untuk paling tidak menumpahkan saus makanan ke baju saya bagian dada. Satu menit yang lalu, boleh saja saya menjadi perempuan mempesona di kamar kecil itu, tapi ketika saya melangkah keluar dengan dagu terangkat naik lebih dari biasanya, mata saya hampir buta akibat seorang perempuan lain yang begitu terang benderang karena luar biasa cantiknya.

Saya tahu akan ada hari-hari dimana saya merasa tidak ingin ke luar rumah dan tidur seharian saja lalu mimpi menjadi secantik Daria Werbowy misalnya.









Dan mungkin yang saya butuhkan di hari-hari seperti itu adalah sekedar mengingat ujaran teman-teman saya bahwa, ...ya, saya bisa tampil cantik. Contohnya, ketika kehujanan, dengan mantel rajutan dan rambut di kuncir ekor kuda serta kacamata tebalpun, saya masih saja mendapat pujian itu.

Maka mungkin saya tidak usah menjelma menjadi burung merak yang senantiasa telihat pongah dengan penampilannya, dan yang lebih penting, saya juga tidak usah memirip-miripkan diri dengan burung unta yang lebih sering menenggelamkan kepalanya ke dalam tanah karena malu hati. Yang harus saya ingat adalah ketika orang lain tampil lebih cantik dari saya, tentu itu bukan akhir dari segalanya. Saya mencoba percaya bahwa saya tetap cantik dengan cara saya sendiri. Dan kalau masih saja saya memutar-mutar mata, tidak puas dengan penampilan diri sendiri, saya selalu bisa berkonsultasi dengan pembantu saya tadi. Saya yakin ia bisa mendidik saya untuk menjadi kembang desa berikutnya.