Wednesday, May 10, 2006

Buruh Migran

Cerita tentang buruh migran di luar negeri selalu saja mewartakan kisah perih. Bukan saja karena seringnya kasus yang menimpa mereka mulai dari penganiayaan, pemerasan, kekerasan hingga perlindungan hukum yang tidak jelas, tetapi juga karena sering kali diikuti berkembangnya praktek perdagangan manusia ( trafficking ) dengan berbagai dimensi. Celakanya, banyaknya kasus yang menimpa buruh imigran itu ternyata tidak juga mampu ditangani secara baik oleh pemerintah. Keberadaan mereka sering terlupakan dalam setiap kebijakan.

Satu diantara beberapa hal yang ikut memberi andil dalam pemarginalan buruh migran itu adalah stereotip konseptual yang menganggap bahwa migrasi adalah respons sosial atas kemiskinan daerah asal. Meski tidak sepenuhnya benar, namun mitos kemiskinan tampaknya juga memberi warna pada fenomena migrasi ini. Mitos inilah yang melemahkan posisi buruh migran dalam seluruh aktivitas pasar kerja, baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. Buruknya posisi tawar pekerja itu diperparah lagi dengan kebijakan penempatan tenaga kerja internasional tanpa dasar jaminan perlindungan kepada migran pekerja, seperti yang dialami buruh migran di beberapa negara seperti Arab Saudi, Malaysia dan Singapura.

Persoalan buruh migran di luar negeri memang sangat kompleks. Terjadinya mobilitas tenaga kerja internasional yang terus meningkat itu, selain karena sulitnya bekerja di Indonesia, persaingan juga semakin ketat, ditambah lagi dengan kenyataan bahwa kebanyakan TKI adalah kelas menengah ke bawah dan rata-rata berpendidikan rendah. Adalah pilihan rasional ketika mereka menjatuhkan pilihan untuk menjadi buruh migran di luar negeri dengan tingkat upah yang lebih menjanjikan.

Namun dalam realitasnya, seringkali persoalan buruh migran menjadi "tragedi kemanusiaan" atas nama pembangunan. Padahal, dalam konteks pembangunan, keterlibatan kelompok migran ini tidak lagi dapat dipandang sebagai kelompok marginal, tetapi juga kelompok yang punya kontribusi besar sebagai penyumbang devisa negara.

Yang lebih memprihatinkan, aktivitas migrasi ( terutama perempuan) yang berlangsung dari negara-negara berkembang ke negara-negara industri maju, seringkali terjebak ke dalam perangkap trafficking. Berbagai konsekuensipun muncul, mulai dari perbudakan, pelacuran, sampai berperan sebagai prostitusi yang meraup keuntungan ganda dari industri seks. Sementara, peran dan keperdulian pemerintah terhadap mereka sangat minim. Keberadaan pekerja migran hanya dijadikan pelengkap penderita yang dapat diperah dan dieksploitasi.

Ironis. Ketika perolehan devisa negara menunjukkan peningkatan dari pengiriman tenaga kerja, namun terhadap buruh migran ini tidak pernah dianggap sebagai sebuah keterlibatan dalam proses pembangunan. Tidak pernah ada kebijakan publik yang berpihak kepada mereka, tidak ada pertimbangan untuk memberikan penghargaan kepada para buruh migran, baik di negara tujuan maupun di negara asal. Realitas mereka secara ekonomi-politik benar-benar terlupakan.

Bisakah pemerintah mempertimbangkan terciptanya peluang kerja berdasarkan kekuatan dan potensi lokal?. Jika tidak, mengapa tidak ada perangkat aturan sebagai dasar hukum yang melakukan kontrol serta melindungi seluruh aktivitas migrasi?. Sudah terbentukkah reorientasi program pembangunan melalui perencanaan matang dengan memprioritaskan terciptanya peluang usaha?.

Kalaupun realitas berkata bahwa posisi buruh migran belum sepenuhnya terakomodasi dalam kebijakan-kebijakan pembangunan, namun hal itu bukanlah sebuah justifikasi untuk terus melakukan dan menumbuhkembangkan segala bentuk eksploitasi dan kekerasan struktural terhadap mereka. Hentikan berbagai tragedi kemanusiaan atas nama pembangunan!.