Saturday, November 19, 2005

P e r s e l i n g k u h a n

"Keadilan sosial bagi semua"-- yang merupakan upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat-- adalah keadilan yang kerap kali dilihat sebagai utopia, karena realitas dalam hidup ini terdapat situasi pasti dimana kesenjangan sosial antara kaya dan miskin selalu ada di dalam struktur masyarakat.

Cita-cita kesejahteraan sosial tetap harus diwujudkan, dengan dasar utama untuk menciptakan keadilan sosial paling maksimal yang bisa ditempuh. Satu-satunya jalan masuk untuk mewujudkan hal itu adalah dengan menciptakan dan menerapkan hukum sebagaimana mestinya. Hukum yang melindungi semua, terutama hukum yang melindungi wong cilik yang selama ini selalu di tepi akibat akal bersaing di dunia nyata.

Kemiskinan di Indonesia harus dilihat dari kacamata yang paling obyektif. Temuan Bank Dunia ( WorldBank ) pada Januari lalu menempatkan separuh lebih penduduk Indonesia berada dalam situasi hidup yang tidak layak. Kita memperoleh pendapatan yang jauh di bawah ukuran kelayakan.

Persoalan utama yang melandasi struktur kemiskinan masyarakat kita karena adanya dosa struktur. Dosa stuktur yang dimaksud adalah menyangkut bagaimana distribusi yang adil dan menjangkau semua pihak. Dengan demikian, keadilan yang sedang kita bicarakan disini adalah menyangkut keadilan untuk semua.

Misalnya, harus memulai diperhatikan adanya biaya produksi yang mahal dalam setiap aspek kehidupan masyarakat di pedesaan sebagai akibat dari sistem jaringan transformasi dan informasi yang hanya tersedia di kota besar yang menjadi pusat ekonomi. Atau contoh yang lebih umum, harus mulai diperhatikan adanya kesenjangan akses ( pendidikan, sosial, ekonomi, budaya ) yang hanya bisa diakses oleh kaum berduit daripada kaum melarat. Atau akses kehidupan yang hanya bisa diakses oleh kaum bandit daripada masyarakat jelata lainnya.

Kehidupan ekonomi yang hanya berfokus pada pusat kota membuat daerah di pelosok semakin tidak tersentuh oleh jaring-jaring ini. Fatalnya, seringkali jaringan ini hanya mengeskploitasi daerah pedesaan tanpa memberdayakannya. Contoh, harga pupuk yang mahal adalah kebijakan " orang kota " yang membuat masyarakat di pedesaan kelaparan.

Mereka hidup susah tanpa tahu mengapa semua ini terjadi. Mereka "nrimo ing pandum", menerima nasib apa adanya dan the show must go on. Mereka tidak tahu logika mengapa harga produksi gabah dan tebu misalnya, sangatlah murah, dan harga pupuk sangatlah mahal. Mereka tidak tahu berapa selayaknya jerih payah mereka harus dihargai karena telah menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan.

Padahal merekalah pahlawan kita selama ini. Pahlawan yang selalu diperah dan diperas tenaganya untuk membiayai kehidupan Indonesia.

Jaringan kekuasaan hanya memfokuskan pembangunan pada pusat kota, dan ini membuat biaya hidup rakyat miskin di pedesaan semakin berat. Beban hidup mereka akan habis hanya untuk membiayai transformasi.

Kemiskinan juga sulit diatasi karena kaum miskin tidak memiliki daya tawar terhadap kebijakan yang selama ini tidak berpihak kepada mereka. Kaum miskin hanya menjadi alat produksi semata-mata.

Pendapatan mereka hanya sekedar mencukupi kebutuhan hidup saja. Inilah yang membuat kaum miskin tak berdaya untuk memiliki daya tawar terhadap pengambilan keputusan. Yang kaya semakin berada di puncak.

Kebijakan politik yang ada selama ini sering ( dan sebagian besar ) hanya berpihak kepada mereka yang memiliki alat produksi dan modal. Kaum miskin diperas tenaganya hanya sekedar menjadi buruh kasar dengan dalih keterampilan mereka terbatas. Tetapi pemerintah, di sisi lain, tidak mampu berbuat bagaimana seharusnya meningkatkan keterampilan mereka agar bisa berkompetisi lebih adil dengan lainnya.

Ketidakmampuan mereka inilah yang sering dieksploitasi tanpa rasa kemanusiaan. Ini membuat posisi daya tawar mereka begitu lemah. Dalam kajian teoritis atau secara ideal, mereka memang dilindungi oleh negara, namun dalam konteks realitas mereka adalah pecundang yang sering ditipu daya oleh dua poros utama, yaitu : Modal dan Penguasa.

Kaum miskin selalu dilihat sebelah mata dalam berbagai proses pembuatan kebijakan. Kebijakan yang dilahirkan penguasa tidak terlalu banyak memperhatikan poros warga negara. Warga negara yang miskin dianggap tidak memiliki kedaulatan tertinggi di dalam sebuah negara. Pelanggaran konstitusi ini terus terjadi tanpa adanya kemauan untuk memperbaikinya. Misalnya dengan melahirkan sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh mengapresiasikan dan melibatkan kaum miskin untuk berperan sebagai warga negara normal.

Penguasa kita masih menggunakan pola VOC pada zaman Hindia Belanda dalam salah satu programnya. Badan Publik, yaitu Badan Usaha Milik Negara yang seharusnya menyejahterakan masyarakatnya justru berperilaku sebaliknya. Mereka gagal memberi nilai tambah bagi masyarakat.

Fatalnya, seringkali dana itu di korup oleh pengelola badan publik dalam berbagai skandal, baik dengan parpol maupun lainnya.

Dalam birokrasi publik kita, korupsi seperti sudah lazim diterjemahkan sebagai " uang lelah ". Mentalitas dan kebudayaan ini tanpa disadari meneruskan warisan budaya yang ditanamkan oleh kultur centengisme yang digunakan VOC untuk memperalat pribumi dalam mengabdi pada kepentingan penjajah. Kultur ini menjadi subur karena para pelaku politik sudah bersekutu dengan para pelaku bisnis hitam.

Ini kenyataan yang membuat keadilan di negeri kita sulit diwujudkan.

Elite politik yang masih bermentalitas pola VOC dan fasisme Jepang ini membuat bangsa terpuruk karena terjadi perselingkuhan antara poros negara dengan badan publiknya dan poros pasar dengan komoditas bisnis. Dalam perselingkuhan ini poros warga selalu dijadikan korban.

Kapan elite politik keluar dari lingkaran setan ini?.