Thursday, September 15, 2005

Skala Prioritas


Dalam skala prioritas berbeda, tidak akan pernah terjadi kata sepakat kalau kompromi makin lama makin dituding sebagai rekayasa yang tidak demokratis. Maka ditempuhlah jalan voting dengan berbagai cara hingga keluar pemenang. Tetapi setelah ada yang menang, yang lain merasa dirinya kalah. Sampai disitu semuanya tampak normal. Tetapi posisi kemenangan sudah berlabel kemuliaan sehingga menimbulkan keirian.


Kekalahanpun menjadi keaiban yang berakhir sebagai rasa hina sehingga lahir dendam. Fungsi oposisi tak akan pernah menjadi proses bersparing partner, tetapi usaha penggulingan. Disitu perbedaan menjadi pertentangan, perseteruan dan akhirnya permusuhan.

Apakah itu sebuah penggambaran yang salah?. Tidak mungkinkah kita sudah terlanjur menempuh jalan yang salah karena ingin memestakan kebebasan?.

Kita pikir dengan memakai baju demokrasi segala keberuntungan yang kini menjadi atribut negara-negara maju, otomatis akan berjatuhan dari langit tanpa perlu upaya apa-apa lagi. Lalu kita tinggal menunggu untuk memungut hasilnya sebagai durian runtuh.

Siapa yang mau mengaku terus terang bahwa sekarang ini dirinya masih sedang belajar mempraktekkan demokrasi?. Semua cenderung mengatakan mereka sedang menjalankan demokrasi, meskipun kita selalu mengakui era ini adalah era pembelajaran. Dan yang sangat penting, kita lupa bahwa sebelum bisa "memakai" demokrasi, kita harus sepakat dulu tentang maknanya.

Itulah konsekuensi mimpi besar kita yang memfatwakan bahwa yang kita perlukan hanya sebuah sistem yang tepat, rapi dan berjalan mulus. Sungguh mengherankan mengapa kita bisa begitu saja percaya bahwa sistem bisa hidup otomatis tanpa sentuhan manusia. Komputer yang paling canggih sekalipun memerlukan operator. Bagaimana sistem itu akan berjalan kalau tidak digerakkan oleh manusia-manusia yang terlatih ? . Bahkan, bilamana dia sudah bergerak dengan sendirinya sebagai mekanisme yang otomatispun, masih harus terus diawasi citra manusia agar bisa "hidup" laras. Artinya, disamping canggih, sistem tetap mampu menjawab seluruh fenomena baru yang tiba-tiba mencuat.

Adanya sistem yang sudah berjalan dengan sendirinya karena dominasi individu yang sewenang-wenang ( karena dikultuskan sebagai pemimpin ), tidak akan terjadi lagi. Tapi tampaknya tak ada "pahlawan" yang akan sudi membiarkan manusia hanya berperan sebagai robot-robot dan sistem menjadi berhala. Cepat atau lambat mereka akan terusik. Dengan bahasa yang lebih cantik " terpanggil dan menamakan tindakannya sebagai kebangkitan manusiawi".

Kita tidak akan bisa selamanya bicara tentang sistem hanya sebagai sistem. Di belakang sistem itu ada chip pemikiran yang berasal dari manusia. Yang pada batas tertentu harus dikembangkan dan ditingkatkan, karena kalau tidak bisa kadaluarsa. Atau pada batas tertentu minta pengakuan, karena ia memang sudah memberikan pengorbanan dan jasa. Bagaimanapun hebatnya masa lalu, setiap zaman tetap memiliki kehendak yang harus dikejar oleh manusia-manusia penghuninya, yang nasibnya selalu " ketinggalan kereta ".

Terlalu salahkah kita kalau dikatakan sejujurnya---kendati pikiran kita ingin menolak--- bahwa kita kini memerlukan kehadiran "orang kuat" yang memiliki kharisma dan membuat kita semua patuh kepada hukum agar keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, pemerataan dalam segala hal terjadi ?. Tetapi mulainya bukan karena semata-mata didorong oleh hasrat nurani sendiri.

Agar para saudagar kelas kelontong maupun kelas kakap tidak seenaknya memainkan kelihaiannya, menjerat keuntungan dan sukses dengan dalih berbakti kepada negara. Ada etika kemanusiaan yang membatasi seluruh cabang profesi sehingga tak hanya hirau pada kesejahteraannya sendiri, tetapi kepada kelayakan setiap individu, sesuai dengan sila keadilan sosial dalam dasar negara.

Terlalu konyol kan kalau kita berkoar bahwa kini kita merindukan sebuah rezim yang begitu kuatnya sehingga hukum tegak dengan penuh wibawa?. Itu berarti bukan sistem, tetapi manusia pelakunya yang menjadi skala prioritas. Anda pasti berkata, tidak. Para intelektual pasti dengan tak ragu-ragu lebih menobatkan "sistem" sebagai Ratu Adil di dalam ramalan Joyoboyo. Bahkan, SBY semasa kampanye, ketika ditanya wartawan tentang satria "piningit", beliau mengatakan itu bukan orang, namun sistem. Dan kita memang sedang melaksanakan itu. Maka kita tendang sistem desentralisasi yang kita anggap biang kerok segala kebrengsekan masa lalu, lalu memuja dan memestakan otonomi daerah. Namun belum benar-benar terlaksana, sudah timbul seabrek masalah, karena itu melahirkan raja-raja yang bandel di daerah.

Skala prioritas kita memang pada dasarnya berbeda. Jadi, bukan hanya dalam hal adat istiadat, bahasa, keyakinan, kita memang tak sama, seperti yang diungkap dalam Bhinneka Tunggal Ika, tetapi juga dalam pemahaman tentang hal-hal yang aktualpun, kesimpulan kita lain-lain. Ada yang tidak mau menerima realita bahwa kualitas manusia kita tidak sepadan dengan negara kita yang besar dan luas dengan segunung permasalahan tertunda, sehingga kontan menuding kegagalan kita selama ini karena sistem yang salah. Pelaksanaan yang tidak bereskah, prosesnya yang menyalahi prosedurkah, dan sebagainya. Yang dinobatkan kemudian menjadi prioritas adalah sebuah sistem yang canggih, lebih tepat, lebih pas. Undang-undang Dasar 1945 misalnya, yang awalnya dipuji karena supel dan fleksibel, sekarang dicerca habis karena tidak lengkap. Tapi untuk membuat yang baru, kitapun tak kuasa. Bukannya tidak mampu, tetapi setiap berunding selalu ada skala prioritas yang berbeda sehingga tak pernah ada kata sepakat.

Ada juga yang melihat kunci dari semuanya adalah kaliber manusianya. Semua yang sedang pegang kekuasaan sekarang dalam pemerintahan maupun swasta berasal dari sebuah masa lampau.

Pemimpin Indonesia di masa depan, mungkin sekarang masih sekolah di TK atau masih dalam kandungan. Mereka mestinya diberikan dunia lain dengan memberikannya pendidikan baru. Paling sedikit agar tabu mengopi yang dilakukan oleh orangtuanya.

Pendidikan tak lagi hanya memfokus pada pendidikan formal sekolah, sebagaimana yang semakin menajam sekarang. Tetapi pendidikan total, baik dari orangtua, lingkungan, serta pendidikan moral. Banyak hal mesti dirembuk kembali, antara lain untuk memberi arti yang baru pada kompomi.

Banyak orang sudah bicara sinis tentang Pancasila, khususnya karena Pancasila sudah dipakai sebagai senjata untuk menggebuk. Namun, sampai sekarang Pancasila masih tetap merupakan dasar negara. Satu di antara sila-silanya menyebutkan tentang kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan. Itu adalah esensi dari kompromi dan sekaligus demokrasi.

Skala prioritas mungkin akan selamanya berbeda, tetapi tidak harus dibungkam dengan voting. Juga tidak dibunuh dengan "kompromi", namun diberikan ruang gerak dan pengertian tentang tenggangrasa. Bahwa kepentingan bersama bukan diurus lebih dahulu, tetapi memang tempatnya tidak bisa di belakang. Tidak mungkin dikemudiankan.

Dan itu akan sangat mudah dicapai bila mayoritas alias suara terbanyak menghormati minoritas. Sesuatu yang kini sering dimaknakan tak ada dalam demokrasi, karena yang lebih banyaklah yang menang dan berkuasa. Walhasil, sebenarnya skala prioritas tak berbeda, yang ada adalah beberapa pengertian yang sudah menyimpang secara mendasar sebagai akibat erosi budaya yang dibiarkan saja.