Thursday, December 27, 2007

Manusia dan Alam

Sedang mengalami ketidakseimbangan ekosistem yang relatif parah, sehingga manusia dan alam berada pada posisi yang berlawan-lawanan. Ketidakseimbangan ekosistem inilah yang diistilahkan dengan Bencana Alam. Inilah kondisi global di negeri ini terkait dengan fakta alamnya.

Berbagai perspektif muncul dalam rangka memahami makna terminologi alam ini. Satu diantaranya dari perspektif teologi. Satu tema besar dalam teologi adalah seputar proses terciptanya alam semesta. Kepercayaan akan adanya eksistensi Tuhan membawa konsekuensi logis bahwa alam semesta merupakan bagian dari proses sebab akibat dan Tuhan adalah penyebab awal yang mengakibatkan terjadinya alam semesta. Keberadaan Tuhan tidak disebabkan eksistensi lain yang mendahuluinya (prima causa). Para teolog sepakat dalam persoalan itu.

Perbedaan pandangan mulai muncul dalam dunia teologi menyikapi pascapenciptaan alam oleh Tuhan. Sebagian kalangan berpandangan bahwa setelah diciptakan secara mutlak, Tuhan tidak ikut campur (intervensi) terhadap segala proses yang terjadi di dalamnya. Alam semesta ini berjalan dengan hukumnya sendiri atau juga diakibatkan tindakan yang dilakukan para penghuninya (manusia juga hewan). Konsep ini melahirkan pandangan tentang kebebasan manusia, bahwa manusia memiliki kebebasan penuh untuk melakukan tindakan yang diinginkannya tanpa ada intervensi dari Tuhan (free will and free act).

Muncul kelompok dengan pandangan yang bertolak belakang, yang menyimpulkan bahwa segala fenomena yang terjadi di alam semesta pascapenciptaannya berada di bawah kendali dan kreasi Tuhan, merupakan refleksi dari Kehendak dan Tindakan Tuhan. Gagasan ini mendasari lahirnya konsep Fatalisme.

Di antara dua konsep ekstrem itu muncul pandangan lain yang mencoba menengahi. Menurut aliran jenis ini, pascapenciptaan alam semesta, Tuhan tidak sepenuhnya tidak mengintervensi proses yang terjadi di dalamnya, namun juga tidak sepenuhnya mengendalikannya. Dalam batas dan kondisi tertentu, Tuhan mengintervensi proses alamiah, yang berarti juga campur tangan terhadap kemutlakan Kebebasan Manusia. Dengan konsep ini, manusia tidak sepenuhnya dapat merealisasikan kehendak dan tindakannya, tapi tidak juga dikekang tanpa ruang ekspresi.

Ketiga pandang teologi ini kemudian ikut memberi andil bagi terbangunnya perspektif dan interpretasi yang berbeda-beda tentang fenomena alam, khususnya bencana. Pandangan teologi yang meneguhkan Kebebasan Manusia secara penuh membentuk paradigma yang berpandangan bahwa semua fenomena yang mencuat di muka bumi ini dapat dicari rasionalitasnya pada kerangka hukum kausalitas. Hipotesis bagi terjadinya bencana alam merupakan sebab dari akibat yang dilakukan oleh tangan manusia. Karena manusia memainkan peran sepenuhnya dalam eksistensi alam, maka manusia bertanggung jawab sepenuhnya.

Teori fatalistik justru mengedepankan peran Tuhan dalam berbagai proses kehidupan dan fenomena alam. Bencana alam dipersepsikan sebagai akibat dari tindakan Tuhan, sebagai penyebabnya. Dalam hal ini manusia hanyalah mediator bagi terwujudnya kehendak Tuhan, oleh karenanya secara konstitusional manusia tidak memiliki tanggungjawab apapun terhadap segala fenomena dan bencana alam yang terjadi.

Konsep yang cenderung menengahi dua titik ekstrim itu beranggapan bahwa bencana alam bisa merupakan akibat dari tangan manusia dan sekaligus hasil kreasi takdir Tuhan. Kebebasan manusia dikombinasikan dengan Kehendak Tuhan tanpa mempertentangkan keduanya. Tanggungjawab yang dipikul tidak sepenuhnya berada di pundak manusia dan tidak pula dianggap bukan tanggung jawab manusia. Inilah yang memunculkan persepsi bahwa bencana alam adalah teguran dari Tuhan atau ujian bagi kesadaran manusia.

Dari tiga jenis pandangan itu, mayoritas masyarakat Indonesia lebih dekat dengan corak ketiga. Yang cenderung lebih moderat namun berimbas pula pada rendahnya tanggungjawab manusia yang terkait dengan eksistensi alam dan segala fenomena yang terjadi di atasnya. Pada saat yang sama, segala bencana alam itu dipersepsikan sebagai akibat dari ulah tangan manusia, namun pada saat yang sama dapat dipersepsikan sebagai Kehendak Tuhan.