Friday, March 10, 2006

M a s i h

Kelaparan telah melalap sebagian rakyat warga Serang, Cirebon, Bandung dan Brebes. Mereka mulai makan nasi aking, nasi sisa yang sudah beberapa hari kemudian ditanak lagi. Nasi aking ini dikumpulkan berhari-hari yang nempel di bakul bambu. Karena sudah berumur, nasi aking bukan tidak mungkin digrogoti bateri. Ada saja penduduk yang jatuh sakit sehabis makan nasi aking itu, perut mulas juga diare.


Sekitar sepuluh keluarga yang kelaparan itu mendorong kita untuk mimpi di siang bolong. Tidak terbayangkan oleh kita, musnah kebutuhan dasar mereka. Bagaikan ayam mati di tumpukan beras. Subhanallah...





Kota terdekat dengan Jakarta tempat tinggal saya, di Serang misalnya. Kota Serang adalah ibukota propinsi Banten, lumbung padi yang tak boleh dikata tak pernah tidak subur makmur. Sama masyhurnya dengan kabupaten Karawang. Roda ekonomi yang berputar deras menggambarkan aktivitas perdagangan yang laju di Serang, memanggil-manggil para pengusaha yang lalu lalang di Jakarta-Lampung untuk transit di Serang.



Penduduk yang kelaparan itu bukan disebabkan oleh tidak adanya beras di kampung mereka atau sifat malas sehingga mereka tidak mau mencari nafkah, melainkan tidak tertanganinya hak-hak dasar mereka oleh pemerintah.

Padahal secara geografis, tempat tinggal mereka mudah terjangkau oleh aparat pemerintah dengan program-programnya bagi pengentasan kemiskinan. Mereka tidak pula terisolasi secara politis. Satu-satunya kelemahan mereka barangkali karena mereka tidak pernah mengeluh disebabkan oleh kemiskinan mereka. Juga mereka tidak pernah minta-minta kepada pemda untuk diperhatikan. Penduduk yang kelaparan yang memiliki KTP ini tentu tidak bisa berdalih atau terlalu lemah untuk berdemonstrasi. Sebaliknya hati mereka begitu murni sehingga mampu membersihkan hati kita yang belepotan ini. Subhanallah...

Selain diakibatkan bencana banjir ketika musim penghujan kemarin, harga gabah di Karawang juga merosot. Alasan tengkulak beras tidak lagi mampu mengulak secara memadai karena biaya transportasi naik berlipat. Di satu pihak, petani yang sudah jatuh itu, tertimpa tangga pula. Harga pupuk yang lebih mahal daripada harga gabah menyebabkan hidup para petani kita semakin mengenaskan. Subhanallah...

Rakyat miskin yang semakin dimiskinkan, yang jumlahnya bertambah banyak, didera kelaparan, penderitaan, dihantam bencana yang susul menyusul, rasanya malapataka itu tak tertanggungkan lagi. Miskin dan ditimpa bencana alam. Apalagi yang bisa dipertahankan dari harkat yang sudah compang-camping ini?. Rakyat miskin bisanya cuma menangis, menangis dan menangis. Sementara rawan pangan dan kelaparan di Papua yang belum teratasi, seakan-akan menunjukkan bahwa tidak ada lagi hiburan lain bagi rakyat miskin di seluruh pelosok tanah air kecuali menangis. Kemana nasib ini diadukan? Kepada Tuhan?. Rakyat miskin tidak tahu cara mengadu dengan baik, sementara gerak-gerik Allah tak tertebak.

Presiden Yudhoyono tampak kuyu, lelah dan menderita. Pemimpin mana di dunia ini yang mampu menanggungkan penderitaan yang susul menyusul ini?.
PIB ( Pemerintah Indonesia Bersatu) yang baru menapaki belum dua tahun pemerintahannya, sudah digempur habis-habisan oleh malapetaka yang rasanya tidak berkesudahan. Tuhan berfirman bahwa Allah tidak mengaruniai malapetaka tanpa umat mampu menanggungnya. Presiden dan kabinetnya tentu mampu menyemprot awan hitam yang bergayutan di atas langit negeri ini, sehingga pelangi bisa tercipta. Subhanallah...

Saat ini belum lagi anggaran tambahan untuk mengatasi pasca gempa di Aceh dan Nias, juga kesiagaan di pulau-pulau terluar nusantara di hitung, keburu flu burung menyerang kembali. Puluhan mungkin ratusan ribu unggas telah tewas, bahkan diperkirakan flu burung juga telah menulari kucing sebagai hewan peliharaan. Hitung-hitung APBN ( Anggaran Pendapatan Belanja Negara) dihitung kembali, seperti menyusun anggaran baru yang bisa duakali lipat jumlahnya. Jangan-jangan harga BBM bisa dinaikkan lagi. Waduh!. Lho, memangnya kenapa?!. Oke, biar rakyat semakin mahfum bahwa pemerintah itu memang supersulit. Subhanallah...

Jumlah 17 trilyun rupiah untuk dana kesehatan dan pendidikan yang diambil dari subsidi BBM, dianggap para pakar kita sangat tidak cukup. Apalagi pencairan itu diicrit-icrit (bertahap). Lalu kita mengerti logika pemerintah bahwa jika tidak dipelit-pelitkan, dana yang disektor sekaligus sangat mudah dikorup. Sebenarnya kan urusan dikorup atau tidak itu kan urusan pemerintah, bukan urusan rakyat miskin. Yang pasti kenaikan harga BBM makin memicu laju kemiskinan.









Sekaranglah rakyat harus bangkit, syukur-syukur bisa meletuskan revolusi sosial. Tapi tidak cukup dari sabetan kanan kiri saja. Naikkan " harga diri " dengan kekuatan daya tawar yang hebat: " Kami rakyat miskin, mana duit kami!" ---kepada mereka yang mau main money politic.Ini kesempatan pula bagi para pemulung, anak-anak gelandangan, preman ( jangan cuma beraninya membentak-bentak rakyat yang sama-sama miskin didalam bus kota untuk minta sedekah) , gali, penjahat, dan pengemis, untuk tampil sebagai rakyat miskin yang punya hak atas dana BBM itu.

Tapi apa benar rakyat miskin punya perhatian terhadap dana BBM itu? Mungkinkah rakyat miskin antipati terhadap segala tetekbengek dana BBM itu yang cuma menguntungkan segelintir orang yang mendapat jatah membagi-bagikannya. Apakah para makelar dana BBM itu bisa menjamin hak dasar rakyat seperti kesehatan dan pendidikan?.

Atau rakyat miskin akan nrimo ( pasrah) saja terhadap nasib karena sudah terlalu lelah didera kemiskinan dan bencana?. Presiden Yudhoyono tak cukup tangannya untuk memuaskan semua rakyat miskin karena kelelahan dan menderita juga?. Lagi-lagi rakyat miskin yang sehari-harinya cukup mendaur ulang nasi yang layaknya untuk pangan bebek itu: nasi Aking.