Monday, August 7, 2006

Israel "musnahkan" Libanon

Akankah Libanon lenyap dari peta bumi?. Kemana saja mantra suci "kedaulatan negara" yang pantang dilanggar itu?. Akankah agresi Israel berakhir pada aneksasi?. Serentetan pertanyaan menggelayuti publik dunia ketika tidak ada satupun negara asing yang menolong Libanon di ambang "kepunahan".




Iran dan Suriah berikrar akan membantu Hezbollah. Hezbollah adalah entitas tunggal, sedangkan Libanon adalah entitas multikultural yang sulit didefinisikan di mata Suriah dan Iran. Hezbollah adalah "sekutu sejati", sedangkan Libanon adalah sewaktu-waktu bisa menjadi musuh atau sekutu.

Dilihat dari akar sejarah dan ideologis, Hezbollah adalah "anak kandung" hasil perkawinan yang sah antara Suriah dan Iran. Suriah menyiapkan wilayahnya dan Iran menyuplai tentara berikut senjatanya. Dalam konteks demikian kita memahami bahwa Iran melalui Presiden Ahmadinejad berikrar akan membantu Suriah jika diserang oleh Israel.




Akankah nasib Libanon berakhir tragis?. Lihat saja Dewan Keamanan PBB gagal memberikan resolusi menghentikan Israel. Padahal, kesalahan Israel sangat fatal dalam tatanan hubungan internasional, yaitu melakukan agresi militer terhadap negara yang berdaulat. Dalam konteks ini sanksi yang semestinya diterima Israel yaitu : "dikeroyok" pasukan multinasional.

Tampaknya usaha ini akan sia-sia hingga saat ini tidak ada satu kekuatan apapun di muka bumi ini yang mampu menghentikan Israel. Tinggallah Libanon hanya sebagai negara di atas kertas yang terdaftar sebagai anggota PBB. Soal eksistensi dan signifikansi, Libanon telah kehilangan sama sekali. Tidak ada yang perduli, bahkan Iran dan Suriah sekalipun. Bagi dunia luar, tidak penting mempertahankan Libanon sebagai sebuah negara karena faksionalisme yang sangat keras dan entitas nasional mereka yang terpecah belah.

Mempertahankan Libanon sama dengan usaha sia-sia seperti membuat rumah dari pasir. Libanon sama sekali tidak berdaya, baik menghadapi Isarel maupun "menekan" Hezbollah agar menghentikan serangan sebagaimana yang diisyaratkan oleh Israel.



Aliansi-aliansi negara sebagaimana yang ditunjukkan dalam Perang Kolonial, Perang Dunia, dan Perang Dingin mulai kehilangan bentuk. Aliansi identitas ideologis, kultural dan peradaban lebih terasa menguat. Politik identitas sangat mewarnai pola konflik dan peta kekuatan yang menjadi aktor kunci dalam pertarungan ini.

Yang secara telanjang terlihat adalah gagalnya sentimen identitas Arab dalam menyatukan suara dan kekuatan untuk menghadapi Israel. Target serangan Israel kepada Hezbollah bukan Libanon sebagai sebuah negara Arab berdaulat, setidaknya mempengaruhi respons dunia Arab terhadap agresi Israel.

Konflik kawasan ini menimbulkan peta baru yang tampak berubah setelah kejatuhan Saddam Hussein oleh Amerika Serikat (AS) tahun 2003. Dengan bercokol di Irak tanpa waktu yang terbatas, AS "memotong" jalur Iran untuk masuk langsung ke jantung Arab melalui Irak.

Kawasan bulan sabit yang dikenal sebagai tanah air peradaban tua dari Mesopotamia hingga Mesir telah kembali bergolak dengan intensitas yang sama sekali baru dan berbeda. Titik tolak ini penting dijadikan perangkat analisis dalam mengamati jalannya kekuatan Israel dan potensi robohnya Suriah di tengah kepungan Israel, Yordania, dan Arab Saudi.

Dalam periode kekhalifahan Islam di tangan bangsa Arab, simbol wilayah ini dijadikan lambang (kejayaan) Islam yang digunakan hingga sekarang, yaitu bulan sabit ditambah bintang di tengahnya. Kini, seakan mengulang sejarah ribuan tahun lalu, kawasan kembali bergetar dari ujung barat hingga timur yang dipicu oleh perang di "tanah yang dijanjikan".



Jika awalnya Israel menyerang Palestina dan dengan cepat berubah agresi ke Libanon, perhatian dunia tertarik kepada serangan yang kedua. Dalam definisi Israel, Palestina bukan negara dan masih merupakan bagian dari Israel. Dengan demikian, setiap serangan Israel atas Palestina, tidak dianggap sebagai agresi atas negara asing, dan karenanya sampai kapanpun pasukan multinasional tidak dapat ditempatkan di Palestina. Ini berbeda dengan Libanon yang merupakan negara berdaulat, sekalipun sekarang dilanggar oleh Israel.

Mestinya dalam setiap perang yang dideklarasikan oleh negara mendapat respons yang sama dari negara yang diserang tersebut. Secara jelas Israel menyatakan perang dengan Hezbollah, dengan menempatkan Libanon pada posisi yang sama jika pemerintah Libanon gagal mengusir Hezbollah dari negerinya. Dengan strategi seperti ini Israel selamat dari tuduhan agresi atas negara lain, sekalipun fakta berbicara lain. Dari sini kita dapat melihat arah lajunya konflik.

Pertama:
Israel menjadikan Hezbollah sebagai target yang harus dilenyapkan. Dua hal yang diperoleh Israel sekaligus yaitu keamanan militer dari serangan Hezbollah selama ini dan efek jera pada Suriah dan Iran jika berani menyerang Israel. Hezbollah menjadi faktor penentu pertarungan Israel versus Suriah dan Iran. Jika ini berhasil dilakukan, akan terjadi perubahan politik dan militer yang besar di kawasan.

Kedua:
Mengentalnya aliansi Syiah sebagai kekuatan kekuatan utama dalam melawan Israel. Dunia Suni Arab terbukti tidak berani dan diam saja dalam menghadapi agresi ini. Pemerintah Suriah hingga saat ini masih berada di bawah pengaruh Syiah dan karenanya relatif lebih sulit mendapatkan dukungan Yordania atau Arab Saudi sebagai negara tetangga yang paling dekat. Aliansi Syiah akan terjadi lintas negara dimulai dari Iran hingga Libanon.

Ketiga:
Runtuhnya pemerintahan Libanon yang pro-Suriah. Ini menjadi target publik Arab dan dunia internasional pada umumnya.

Keempat:
Jatuhnya pemerintahan Presiden Bashar yang selama ini menjadi ganjalan dalam keamanan Timur Tengah. Kekuatan mana yang akan melakukan agresi atas Suriah belum dapat diketahui. Jika melihat arah dan kapasitasnya, Suriah kemungkinan jatuh di tangan Israel, sebagaimana Irak dan (mungkin) Iran jatuh ke tangan Amerika.

Kelima:
Pola perubahan geopolitik ini akan mengancam secara serius eksistensi tujuh kerajaan tribalistik Arab seperti Yordania, Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Oman. Jika demikian, agenda demokratisasi Ttimur Tengah baru saja dimulai dengan cara yang dianggap "sukses", yaitu pengerahan kekuatan militer.

Israel sudah mendapatkan dua hal pertama, yaitu tidak ada satupun upaya sistematis dari negara-negara Arab dan dunia Islam untuk menghentikan Israel. Kedua, dunia internasional tidak bereaksi keras seperti dahulu.

Jika melihat gejala ini, agresi Israel atas Libanon akan berakhir aneksasi dan memasukkannya sebagai wilayah Israel. Jika aneksasi gagal, Israel akan melakukan pendudukan sebagaimana yang dipraktekkannya pada Palestina.

Nasib Libanon akan bernasib sama seperti Palestina dengan menyisakan fragmentasi sosial yang lebih parah. Dengan komposisi yang beragam, penduduk Libanon sangat sulit dipersatukan identitas politiknya. Ini berbeda dengan Palestina yang relatif homogen, sekalipun terpecah dalam metode perjuangan menghadapi Israel.

Pengentalan identitas Syiah sebagai "lawan sebanding" menghadapi Israel akan mewarnai konflik di masa depan. Dan wilayahnyapun akan meluas sepanjang ruas Mesir hingga Mesopotamia. Sejarah baru sedang bergulir.