Friday, May 11, 2007

Mei Kelabu dan Jejak Reformasi

Bulan Mei 1998 adalah bulan yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada 12 mei 1998, beberapa mahasiswa Universitas Trisakti tewas tertembak. Kemarahan dan anarki menyusul pada 13-14 Mei di Jakarta dan Solo. Kondisi politik nasionalpun menegang. Klimaks dari kejadian-kejadian tersebut adalah turunnya Pak Harto dari jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998.



Sejarah Indonesia segera berbelok drastis. Orde baru---setidaknya dari sudut pemerintahan--- telah berakhir. Pemerintah baru hadir dengan kebijakan baru yang sebagian besar amat berbeda dengan masa sebelumnya. Meski pemerintahan Habibie berisi kolaborasi antara "orang-orang lama" dan "baru", tetapi hakikat kebijakan (politik) yang diambilnya relatif sama sekali baru.

Satu hal yang membedakan pergantian "kekuasaan" dari Soeharto kepada Habibie dengan ketika Soeharto menggantikan Soekarno, adalah "nasib politik"nya. Pak Harto sakit dan sudah sangat sepuh. Proses pengadilannyapun tampaknya tidak akan pernah "tuntas". Kalaupun ada rekonsiliasi, mungkin model Korea Selatan yang lebih pas dilakukan kepada Soeharto. Diadili lantas diampuni.

Yang penting ada sebuah proses pembelajaran bagi bangsa. Pak Harto, bagaimanapaun dikecam banyak orang, telah menunjukkan itikad baiknya dengan turun dari panggung kekuasaan dan tidak melanjutkan "Soehartoisme". Susah untuk membuktikan bahwa Soeharto mengacaukan proses reformasi dan demokratisasi di Indonesia, setelah ia lengser. Pengadilan sejarah akan menilai bagaimana posisi dan perannya selama ini.

Soal lain yang lebih penting adalah jalannya reformasi itu sendiri. Reformasi adalah "kata ajaib" yang menyatukan berbagai kalangan pada 1998, untuk mendorong percepatan kejatuhan pemerintahan Orde Baru. Yang terjadi kemudian bukannya reformasi yang evolusioner, tapi revolusioner, khususnya dalam bidang politik. Reformasi politik terkait dengan proses demokratisasi. Hingga kini perubahan-perubahan mendasar telah terjadi, dengan dilakukannya amandemen UUD 45 sebanyak 4 tahap. Boleh dibilang proses reformasi politik di Indonesia telah memberikan optimisme tersendiri, walaupun---dalam banyak kasus eksperimentasi politik yang direncanakan---terhadang oleh banyaknya kekhawatiran.

Reformasi di Indonesia pasca Orde Baru tidak lepas dari konteks "liberalisasi", baik politik maupun ekonomi. Kecenderungan proses demokratisasi di Indonesia kini adalah demokrasi politik yang liberal. Begitu pula dengan konteks lingkungan ekonomi dan pilihan-pilihan kebijakan yang diambil, tampaknya tidak dapat lepas dari paradigma ekonomi pasar. Apakah dengan arah kecenderungan yang "liberal" seperti itu masa depan Indonesia dapat lebih terpastikan?. Tidak menjamin. Demokrasi liberal di dalam masyarakat yang plural membutuhkan sejumlah persyaratan. Tingkat keberhasilannya dapat dicapai dengan pemenuhan persyaratan-persyaratan itu, dan sejauh mana manajemen konflik mampu tercipta.

Salah satu syaratnya adalah tingkat konsensus yang tinggi dalam masyarakat. Hal ini dapat dipahami, mengingat masyarakat yang plural terdiri dari beragam kelompok kepentingan yang bersentimenkan primordial. Tanpa adanya kesadaran dan aksi konsesual atas banyak persoalan bangsa, maka hanya akan menyulitkan proses manajemen konflik. Demokrasi membutuhkan pengelolaan atas banyak potensi konflik yang ada.

Menelusuri jejak reformasi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari Peristiwa Mei 1998. Dari Peristiwa Mei dan peristiwa-peristiwa yang kemudian menyertainya, sesungguhnya banyak pelajaran yang dapat diambil. Pertama, perubahan membutuhkan pengorbanan. Para mahasiswa yang gugur dalam Peristiwa Mei, juga martir lain yang meninggal dalam kerusuhan 13-14 Mei tentu saja bukan tanpa makna. Mereka bukan sekedar victim, tetapi sudah menjadi bagian dari pemicu perubahan sejarah. Untuk sebuah perubahan, disadari atau tidak, diniatkan atau kebetulan, mereka telah "dikorbankan" oleh pergolakan zaman.

Kedua, reformasi ternyata lebih merupakan proses ketimbang hasil. Pergantian rezim kekuasaan bukan berarti akhir dari tujuan gerakan reformasi. Justru setelah rezim berganti, ragam permasalahan menyeruak. Kondisi tidak langsung membaik. Banyak hal mesti dibenahi dalam setiap rezim yang berganti-ganti. Reformasi adalah sebuah proses yang penuh tantangan di tengah kecenderungan demokrasi politik dan lingkungan ekonomi yang semakin liberal.

Ketiga, penguatan civil society dalam konstelasi politik secara makro mengalami kondisi pascaklimaks. Yang terjadi---pasca Orde Baru--- bukan penguatan civil society, tetapi kekuatan-kekuatan politik di luar itu, utamanya Negara (state) dan Pasar (market). Gerakan mahasiswa dan kalangan muda mengalami kelesuan kembali, seolah kehilangan momentum. Fenomena "gagal konsolidasi" terus terjadi pasca Orde Baru. Faksionalisme antar kekuatan kalangan mahasiswa dan pemuda (plus LSM) kelihatan makin meninggi, disamping lambat laun kalah popular dengan kekuatan partai-partai politik. Dan "tidak ada apa-apanya" dibanding kekuatan pasar. Wallahua’lam.