Mudik Lebaran memang sudah bagaikan suatu ritus yang tidak jelas, entah keajaiban fenomena agama, sosial ataukah budaya. Berita kemacetan, kematian sudah menjadi pemandangan umum di berbagai jalur arus mudik. Inilah teror kehidupan yang tak pernah berhenti merenggut nyawa kaum urban di negeri ini setiap tahunnya. Padahal sepenggal harapan para pemudik itu, sesungguhnya hanyalah "rindu" untuk menjenguk kampung halaman. Rindu tanah asal kebudayaan, rindu sanak keluarga, adat istiadat, kawan-kawan lama yang masih betah hidup di kampung halaman. Kawan-kawan lama yang tak tersentuh gemerlap kehidupan kota. Menjenguk tanah asal kebudayaan untuk menciptakan kembali identitas diri adalah berkah lain dari tradisi mudik. Kekerabatan yang tercerai berai dalam kurun waktu satu tahun akan menemukan identitasnya ketika mudik menjadi orkestra terakhir kaum urban.
Dalam banyak hal, mudik juga merupakan asuransi sosial yang secara khusus akan mampu menekan ketegangan antara kota dan desa. Satu hal yang mustahil bisa ditilik pada masyarakat dunia manapun, dan agama manapun kecuali Indonesia dan Islam, bahwa realitas mudik menjadi sesuatu yang "wajib" bagi para pelancong, pejuang kehidupan, yang setiap hari mengais rezeki di kota-kota besar.
Di negara maju seperti Amerika juga ada ritus serupa seperti Christmas Day dan Thanksgiving Day. Dua peristiwa itu juga dijadikan ajang untuk berkumpulnya seluruh keluarga inti mereka. Tetapi ritus mereka tidak sefenomenal yang melibatkan banyak orang, sumber daya dan fasilitas negara dalam skala besar. Tidak dalam skala keluarga jaringan.
Padahal tidak ada kaitan signifikan antara ritual mudik ini dan penghayatan keagamaan seseorang. Unik memang!.
Bagaimana sebenarnya fenomena ini membawa manfaat bagi pembangunan regional khususnya di wilayah pedesaan, khususnya peran ekonomi bagi wilayah urbanite itu?. Yang terlihat adalah bentuk lain dari "buang kekayaan" selama hidup setahun mengepung kota, untuk kemudian menabur hasilnya ke desa. Yah, semacam reaksi massal terhadap dampak sosial pembangunan. Ada pertentangan antara sakralitas dan profanitas.
Lahirnya tradisi mudik memang berasal dari realitas sakral pada bulan Ramadhan, tetapi mudik itu sendiri realitas profan yang tidak memiliki kaitan dengan unsur-unsur nilai sakral. Malah fenomena ini melahirkan teror lain, berupa kecelakaan lalulintas selama dalam perjalanan mudik, yang semoga saja jumlahnya tidak akan makin meningkat sampai menjelang arus balik nanti.
Uniknya lagi, para pemudik ini mengatakan "gak plong kalo lebaran gak mudik". Seolah fenomena mudik ini merupakan "orgasme spiritual" menjelang Hari Raya Idul Fitri di negeri ini. Inilah siklus unik kehidupan yang juga menakjubkan di negeri ini.
Yah, mudik tetaplah mudik, tidak ada grand theory ataupun backmind yang jelas, selain kangen-kangenan pulang kampung, rindu tanah asal. ( Selamat mudik saudara-saudaraku )
Tuesday, November 1, 2005
Mudik Lebaran
Posted by Cisca at 8:11 PM