Wednesday, November 16, 2005

Otsus Menelan "Korban"

"Jangan kami saja rakyat kecil yang berani dihukum cambuk di depan umum, orang-orang kaya atau orang-orang penting, bila divonis cambuk, juga harus ditonton masyarakat umum" ( salah seorang terpidana hukum cambuk di Bireun - Aceh 2005 )


Dalam beberapa kali penerbitan di bulan April dan Mei, beberapa media cetak lokal dan nasional sempat melansir berita mengenai proses persidangan di Mahkamah Sya'riah ( MS ) Bireun terhadap 20 warga setempat yang didakwa melakukan tindak pidana perjudian. Meskipun perjudian tergolong kasus tindak pidana biasa, namun dalam kasus itu mendapat banyak perhatian dari masyarakat luas di Aceh, karena untuk pertama kalinya hukum atau Syariat Islam coba diterapkan di provinsi NAD. Majelis Hakim MS yang menyidangkan perkara ini mencoba menjerat para terdakwa dengan pasal-pasal yang temuat dalam Qanun ( peraturan daerah ) No. 13 / 2003 tentang perjudian ( maisir ).

Dalam proses persidangan akhirnya ke 20 warga tsb divonis hukum cambuk bervariasi, mulai dari 6 - 10 kali. Bahkan vonis terhadap 12 orang dianataranya telah memilki status kekuatan hukum tetap karena mereka tidak memanfaatkan waktu yang ada untuk mengajukan proses banding. Memang belum ada eksekusi karena masih menunggu SK dari gubernur.

Sepintas sepertinya peristiwa hukum di Bireun ini telah berjalan sesuai landasan hukumnya, yaitu UU No.18 / 2001 tentang Otonomi Khusus bagi provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai provinsi NAD. Di dalam kedua UU tersebut, secara jelas disebutkan bahwa Aceh memiliki hak untuk menjalankan Syariat Islam bagi seluruh muslim yang berada di wilayah tersebut.

Namun, jika ditelusuri lebih jauh, kebijakan penerapan Syariat Islam di Aceh sebenarnya masih menyisakan beberapa persoalan. Salah satu persoalan yang sepertinya masih belum terjawab sampai sekarang adalah menyangkut kelengkapan instrumen hukum pelaksanaannya. Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 26 ayat 1 dan 2 UU No.18 / 2001, MS yang berada di tingkat kabupaten atau kota merupakan pengadilan tingkat pertama. Sedangkan di MS di tingkat provinsi merupakan pengadilan tinggi. Pengadilan tingkat kasasi tetap berada pada Mahkamah Agung.

Sejauh ini di seluruh daerah kabupaten atau kota dan provinsi NAD, MS sudah terbentuk. Tetapi hal tersebut agaknya belum diikuti dengan pembentukan lembaga khusus di tingkat MA yang memiliki wewenang memeriksa permohonan kasasi ataupun peninjauan kembali perkara-perkara dari MS. Paling tidak hal ini terlihat dari penjelasan Bagir Manan, ketua MA pada 2002 lalu. Menurutnya masih perlu dicari kesinambungan ( lembaga ) yang menghubungkan antara MS dan MA. Karena bagaimanapaun juga, MS masih merupakan bagian dari sistem peradilan nasional.

Dengan kata lain, kelengkapan institusi hukum yang akan menangani perkara-perkara Syariat Islam dapat dikatakan belum sepenuhnya terpenuhi. Anehnya, dalam kasus Bireun, terkesan pemerintah daerah dan institusi peradilan setempat cukup berani menggelar proses persidangan kasus perjudian tersebut melalui MS. Sementara keberadaan lembaga khusus di tingkat MA sendiri belum jelas, apakah sudah atau belum dibentuk.

Persoalan lainnya tentang waktu dari penerapan Syariat Islam itu sendiri. Sebagai salah satu kebijakan khusus dalam paket kebijakan Otonomi Khusus Aceh apakah Sya'riat Islam yang diterjemahkan seperti dalam kasus di Bireun itu mendesak serta berada pada moment yang tepat untuk dilaksanakan ?.

Keinginan memberlakukan Syariat Islam di Aceh pada awalnya muncul pada 1948. Adalah Soekarno, presiden RI pertama, yang berjanji memberikan status daerah khusus kepada Aceh untuk mengatur daerahnya sendiri. Pemberian janji oleh Soekarno tersebut didasarkan atas pengamatannya setelah melihat kondisi sosial masyarakat Aceh saat itu yang sangat kental budaya keislamannya. Ucapan soekarno itu sendiri disampaikan dalam sebuah perbincangan antara dirinya dan tokoh ulama kharismatik Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh di Banda Aceh pada Juni 1948.

Keinginan tersebut baru benar-benar bisa diwujudkan setelah lebih empat dekade kemudian melalui UU No.18 / 2001. Meskipun demikian, perlu juga dipahami bahwa UU tersebut lahir bukan semata-mata berfungsi sebagai payung hukum penerapan Syariat Islam, melainkan juga sebagai salah satu pendekatan pemerintah pusat untuk mengatasi konflik politik antara RI dan GAM serta ekses yang ditimbulkan dari konflik tersebut.

Di tengah kondisi sosial masyarakat Aceh seperti saat sekarang, kebijakan Syariat Islam bergerak terlalu progresif dibanding pencapaian tujuan utama kebijakan otsus. Apabila pemberlakuan Syariat Islam ini tidak segera dihentikan untuk sementara, tidak berlebihan jika dikatakan kebijakan otsus bukan sebuah solusi bagi penderitaan rakyat Aceh. Ia lebih tepat dikatakan sebagai "alat baru" pemerintah yang ( untuk kesekian kalinya ) menempatkan rakyat Aceh sebagai " korban ".

Alasannya, selain tingkat kesejahteraan rakyat Aceh yang tidak terpulihkan dengan adanya otsus ini, dalam prakteknya hukum di Indonesia hanya mampu berlaku efektif bagi masyarakat golongan kecil. Sehingga wajar jika muncul kekhawatiran, seperti yang diucapkan oleh salah seorang terpidana hukum cambuk, bahwa Syariat Islam ini nantinya juga tidak mampu berlaku adil.

Kalaupun pelaksanaan Syariat Islam ini tetap dipaksakan, langkah awal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah NAD adalah melakukan penilaian ( terutama ) sejauh mana kesiapan masyarakat Aceh sendiri untuk menjalankan Qanun / Qanun-qonun Syariat Islam.

Hal ini menjadi penting, karena kalau dilihat dari rentang waktu munculnya ide pemberlakuan Syariat Islam dengan kehadiran landasan hukumnya yang sangat jauh, tidak tertutup kemungkinan terjadi pergeseran nilai-nilai sosial di tengah masyarakat Aceh yang berakar pada Islam. Dengan kata lain, kondisi kultur keislaman masyarakat Aceh seperti masa lalu harus dihadirkan terlebih dahulu sebelum Syariat Islam diterapkan.

Disamping itu masalah kelengkapan perangkat hukum menjadi bagian penting lain yang harus dipenuhi oleh pemerintah pusat, sehingga tidak menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat apakah pemerintah pusat sepenuhnya setuju dengan pemberlakuan Syariat Islam di Aceh ?

Tetapi jika pemerintah mau lebih arif, perbaikan tingkat kesejahteraan masyarakat Aceh harusnya jauh lebih dikedepankan dibandingkan pelaksaaan Syariat Islam. Lagipula, bukanlah faktor utama penyebab konflik Aceh adalah karena ketidak adilan di bidang ekonomi, politik, dan hukum, bukan karena tuntutan ada atau tidaknya Syariat Islam ?.