Thursday, May 18, 2006

Maaf dan Terima Kasih

Saya tanya sungguh-sungguh kepada Toni, teman saya, orang Bali," Ton, apa benar orang Bali tidak mengenal ucapan maaf dan terimakasih? Mengapa?".

Dia membenarkan dan kemudian menjelaskan. Orang Bali tidak mengucapkan maaf dan terima kasih tetapi melakukannya. Jawabannya membuat saya terdiam, tapi saya katakan dengan lirih bahwa saya tidak pernah tahu tentang hal itu dan saya rasa perlu dipelajari juga oleh orang Barat.

Para pelacong dari luar Bali juga sering menanyakan hal itu sampai pada tahun 50-an, bahkan tembus ke tahun 60 an. Tetapi sekarang tidak lagi. Bukan karena jawaban dan penjelasannya sudah diberikan, tetapi karena orang Bali sudah mulai mengucapkannya dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dalam melayani pelancong. Disamping itu bahasa dalam lontar, pewayangan dan teater tradisipun sudah dioper ke dalam percakapan, sehingga terimakasih dan maaf sudah mulai diucapkan oleh orang Bali. Ini kemajuan atau kemunduran?.

Penonton Indonesia dikenal sebagai sopan tetapi pasif. Mereka menyaksikan apa saja dengan menutup mulut dan tidak banyak komentar. Hal ini membingungkan pelaku konser rock, karena tidak seorangpun ikut berjingkrak dan edan ketika mereka sudah jumpalitan setengah mati di atas panggung. Tetapi itu dulu.

Sekarang penonton dangdut sudah seperti edan ketika musik berbunyi. Mereka bisa lebih hot dari apa yang terjadi di panggung. Tidak jarang terjadi perkelahian dalam konser rock atau penyerbuan ke panggung sehingga panggung roboh dan mengakibatkan jatuh korban. Ini kemajuan atau kemunduran?.

Mungkin yang lebih jelas adalah di dalam percintaan. Secara literal atau harafiah, ucapan mencintai bukan tak ada dalam bahasa daerah maupun dalaam bahasa Indonesia. Tetapi prakteknya hanya mulus dalam sastra teater dan lagu.

Ketika terjadi peristiwa nyata yang memerlukan ekspresi vokal, semua itu menjadi seperti sulit diucapkan. Namun bahasa Inggris menolong. Dan orang tidak segan-segan untuk memilih mengucapkan "I Love You" daripada "Aku cinta padamu". Ini kemajuan atau kemunduran?

Di dalam undangan pernikahan, kini sudah tercantum kalimat baru, " Terima kasih Anda tidak memberikan ucapan selamat dalam bentuk cenderamata. Sedangkan di jalanan, dari ancaman klassik masa lalu yang terbaca: " Awas ada perbaikan", sekarang bunyinya jadi berbeda. "Maaf, perjalanan anda terganggu."

Sepintas lalu, seakan-akan kita kini menjadi lebih vokal dalam sopan santun dan mengekspresikan perasaan. Dan itu pasti tidak sedikit akibat imbas banyaknya membaca buku, nonton film asing, kursus-kursus kepribadian dan arus kunjungan pariwisata mancanegara. Kita ingin menunjukkan diri bahwa kita tahu etiket pergaulan. Kitapun mencoba idiom yang sudah menjadi aturan di dalam pergaulan internasional. Demi keindahan penampilan.

Dengan alasan serupa, pejabat dan pemerintah pun sekarang sudah mulai tak segan-segan untuk meminta maaf, baik kepada masyarakat/rakyat/bawahannya, karena tak dapat memenuhi tugas/kewajibannya sebaagaimana yang diharapkan. Meskipun demikian, diikuti dengan berbagai apologi yang buntutnya justru menyerang, bahwa maaf itu sama sekali tidak perlu, karena sebenarnya kesalahan berada di pihak orang lain atau paling sedikit keadaannyalah yang salah. Ini kemajuan atau kemunduran?.

Apa sebenarnya arti kemajuan dan kemunduran itu sendiri?. Apakah kita sudah boleh dianggap maju karena kita sudah fasih untuk mengutarakan perasaan?. Bagaimana kalau kefasihan itu sebenarnya hanya untuk menutupi atau malah menghapuskan praktek yang bertentangan di dalam perbuatan nyata?. Apakah orang yang bersalah menjadi hilang kesalahannya karena sudah meminta maaf ?. Apakah seorang pejabat dapat menjabat terus jabatannya asal sudah cepat-cepat memohon maaf atas semua keteledoran dan kesalahannya yang memalukan bangsa?.

Kita mendapat banyak pelajaran dari negeri maaf dan terima kasih (Barat). Disana para pejabat yang korup atau terlibat skandal tak hanya minta maaf, tapi kontan mengundurkan diri, semacam "harakiri" atas kesalahannya.

Apakah kita mundur, kalau tidak mampu merumuskan dalam laporan, padahal semua yang menjadi tugas atau rencana berjalan beres?. Bertambah wibawakahkah seorang lelaki karena dia dipuji, atau justru sebaliknya, ia menjadi begitu memancarkan kewibawaan karena hanya diam. Kita pernah mendengar pepatah "diam adalah emas".

Mudah-mudahan semua maaf yang berlaku di negeri ini bukan hanya sekedar upacara tanda basa-basi, tetapi pertemuan hati ke hati. Kita ucapkan dan kita lakukan sekaligus untuk lebih menyemarakkan, bukan menggantikan. Bukan diucapkan untuk dilaksanakan tetapi karena sudah dilaksanakan maka diucapkan. Maju atau mundurnya sangat tergantung darimana kita melihatnya, serta untuk apa kita menilainya.