Thursday, May 4, 2006

Memahami Gejolak



" Lain lubuk , lain pula ikannya ". Pepatah itu ternyata tidak berlaku untuk persoalan yang mendera para pekerja di bumi pertiwi ini. Tengok saja, meski berada di daerah yang berbeda, fenomena upah minimum kota/kabupaten ( UMK ) terus bergulir menjadi persoalan yang sama bagi para pekerja. Mayoritas mereka menilai UMK tidak berbanding lurus dengan kebutuhan hidup sehari-hari.

Secara fundamental, upah memiliki porsi yang strategis dalam konteks hubungan industrial, terutama dalam sistem yang tidak memiliki sistem perlindungan sosial yang progressif seperti Indonesia. Artinya, buruh harus menyediakan sendiri jaminan kesehatan dan tunjangan hidupnya.

Berbeda dengan negara maju, penghasilan buruh walaupun kecil tetap mendapat dukungan dari negara, seperti pendidikan, health care dan anak. Karena sifatnya yang krusial dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan buruh, upah menjadi isu yang sangat mendorong ketidakharmonisan di tempat kerja dan seringkali berakhir dengan pemogokan industrial. Apalagi dalam sistem yang cenderung tertutup dimana proses negosiasi di tingkat perusahaan belum sepenuhnya bisa diandalkan.

Depnakertrans mencatat bahwa upah menduduki peringkat pertama dalam daftar penyebab kemogokan. Meski seluruh proses diklaim mencerminkan apa yang disebut kebebasan berserikat dan berunding bersama (terutama karena buruh memiliki kesempatan untuk mengartikulasikan kepentingannya), namun secara teoritis proses itu sebenarnya jauh dari esensi hak itu sendiri.

Ini menunjukkan buruh memiliki keterbatasan dalam melaksanakan hak berserikat dan berunding bersama, walaupun banyak dan kuatnya instrumen hukum melindungi hak tersebut.

Padahal secara hukum, baik buruh maupun pengusaha memiliki hak yang sama untuk berunding bersama. Ini sejalan dengan pikiran dalam Konvensi Inti ILO (ILO Core Convention) yang mengatur lima pokok pikiran, yaitu organisasi perwakilan bagi kedua pihak, dialog sosial, perundingan kolektif, hak untuk mogok, dan penyelesaian konflik. Tujuannya untuk melindungi kepentingan masing-masing melalui apa yang disebut sebagai perundingan bersama sebagai urat nadi hubungan indistrial. Bagi perusahaan, melalui mekanisme perundingan bersama jauh lebih efisien dibandingkan perundingan individual. Begitu pula sebaliknya bagi buruh, perundingan bersama meningkatkan posisi tawar menawar buruh secara positif. Ini yang menjadi alasan mengapa perjanjian kerja bersama (PKB) merepresentasikan wujud dan mekanisme negosiasi yang lebih demokratis dan ekonomis.

Sayangnya, banyak contoh kasus justru mementahkan preposisi itu. Dalam bernegosiasi sering kali buruh menghadapi dilema yang tidak memungkinkan mereka menegosiasikan kepentingan mereka secara maksimal. Ini dapat dilihat dari pengalaman di lapangan. Salahsatunya diceritakan bahwa buruh, sebelum dan masa perundingan, diminta untuk "memahami" posisi perusahaan yang sedang "sulit" karena buruknya situasi pasar. Merasa "tertekan" dengan masukan-masukan dari pihak manajemen, para buruh memutuskan untuk mengambil "jalan aman". Tujuannya agar mereka tetap bekerja, terlepas dari betapa sulitnya mereka harus memenuhi kebutuhan mereka setelah itu.

Sepanjang catatan yang ada, UMK/UMP yang ditetapkan biasanya hanya mencakup 87% - 93% kebutuhan hidup layak ( KHL) bagi buruh lajang. (Ini belum ditambah fakta bahwa patokan nilai KHL yang dipakai seringkali lebih rendah daripada yang dibayarkan oleh buruh). Persoalan akan bertambah jika seorang buruh harus menghidupi anggota keluarganya yang lain.

Buruh tidak bisa lagi diharapkan sebagai mesin pembangunan sosial dan politik negara. Fungsi serikat hanya sebatas "boneka bayangan" sebagai stempel tunduknya negara kepada persyaratan-persyaratan yang tersirat dalam Konvensi ILO. Karenanya serikat buruh tidak bisa lagi diharapkan menjadi alat perjuangan buruh. Dampaknya jelas, keanggotaan serikat buruh semakin menurun, yang pada akhirnya akan menghancurkan legitimasi serikat buruh dalam tataran yang lebih luas.

Ini berakibat kepada penggerogotan hak berserikat dan berunding bersama serta kekosongan hak-hak terebut. Ini menyebabkan kesulitan untuk melaksanakan dialog sosial dan tatanan pemerintahan yang baik pada tataran industrial. Matilah potensi buruh sebagai salahsatu kekuatan masyarakat sipil yang berdaya. Buruh justru akan menjadi kelompok "anak mama" yang sebenarnya menyuburkan potensi perlawanan dan berakibat kepada pergolakan sosial yang harganya justru lebih mahal.

Hak untuk berserikat dan berunding bersama jelas menuntut kedua belah pihak untuk bernegosiasi dengan niat baik dan saling percaya satu sama lain. Kepentingannya adalah mendorong proses produksi yang berkesinambungan. Bisa dipahami jika perusahaan juga menghadapi persoalan kompetisi pasar, tetapi alur pikir kita juga harus diubah menjadi "buruh yang sehat dan bahagia" yang menghasilan produktivitas yang tinggi.

Bukan buruh yang harus memahami situasi pengusaha yang kesulitan menghadapi kenaikan biaya dampak kenaikan BBM. Pemerintah, pada titik pertama harus mulai menghilangkan kebiasaan buruk yang berdampak pada tingginya biaya-biaya siluman ( diduga 20% dari total biaya produksi) yang harus dibayar oleh pengusaha.

Karenanya, UMK/UMP merupakan isu bersama yang harus menjadi perhatian setiap unsur di negara ini. Sama halnya seperti kita berbicara tentang bagaimana mengefisienkan anggaran pemerintah ataupun meningkatkan alokasi anggaran untuk kesehatan dan pendidikan. Begitu pula seharusnya kita memikirkan bagaimana memberikan kompensasi yang lebih tepat dan manusiawi kepada buruh. Perlu good governance yang dapat menyinergikan seluruh potensi dan sumber daya yang ada untuk penciptaan kondisi kerja yang layak.

Ini akan memungkinkan buruh untuk mempraktekkan hak berserikat dan berunding mereka sejalan dengan tujuan nasional bangsa. Dalam jangka panjang, para buruh tersebut akan menjadi kekuatan utama bagi demokrasi dan produktivitas negara. Pesimisme dan sinisme terhadap sistem yang dinilai kurang adil hanya akan mengakibatkan buruh memilih instrumen perjuangan sendiri seperti yang ditunjukkan oleh aksi-aksi yang ada. Ini membahayakan banyak pihak termasik buruh itu sendiri, juga negara.

Untuk mengantisipasinya, pendekatan yang lebih terbuka dan kompromistis harus dikedepankan. Kalau tidak, wallahualam. Bukan tidak mungkin, demo buruh yang kemarin diwarnai kerusuhan, pada hari rabu 3 mei 2006 itu, hanyalah "awal" dari pemberontakan yang lebih besar lagi. Inikah yang kita inginkan?.