Friday, April 21, 2006

Haruskah ?





Ketika seorang anak bertanya," Mengapa ibu menikah dengan laki-laki yang menjadi ayahku, Bu?", sebuah gugatan terhadap laki-laki sedang terjadi. Sang anak merupakan saksi dari serangkaian kekerasan yang dialami oleh ibunya. Mungkin si anakpun tidak mengerti, mengapa ibunya begitu tegar mempertahankan perkawinan itu. " Demi anak-anak ", kata sang ibu setiap kali ia mendapat pertanyaan yang sama.

Laki-laki yang menjadi suami dan ayah dari anak-anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan telah menjadi awal dari jalan panjang kehidupan seorang perempuan. Dalam perkawinan itu, perempuan mengalami kebaikan juga kemalangan. Perkosaan hak reproduksi, penindasan, trafficking, bahkan pembunuhan karakter dan cita-cita terjadi secara kasat mata dan terselubung.

Anak yang bertanya dan menggugat keabsahan institusi itupun menjadi korban berikutnya, karena nilai-nilai dan norma yang dibangun di dalamnya mengondisikan suatu kepasrahan dan kepantasan seorang perempuan. Sebagai perempuan seseorang disadarkan dan bahkan dipaksakan tentang betapa bedanya ia dibandingkan dengan lelaki, baik dalam hak maupun kewajiban. Peningkatan status seorang perempuan seperti status keluarga, tidak berarti inisiasi atas martabat perempuan terjadi dengan sendirinya.

Kartini pun memulai hidup baru yang tidak pernah diidealkannya setelah ia menikah dengan sang bupati, yang menyebabkannya melupakan impian-impian seorang idealis. Sangkar emas rumah tangga ini kemudian menempatkan Kartini kembali menjadi perempuan kebanyakan, tidak seperti yang ia tulis dalam surat-suratnya.

Kalau perkawinan kemudian menjadi suatu akhir dari seluruh mimpi dan awal dari malapetaka, mengapa seorang perempuan harus kawin?. Bukankah ia juga perlu diberi hak untuk hidup membujang dan memilih mewujudkan cita-citanya sekaligus membantu mewujudkan cita-cita kaumnya?. Perempuan sebaiknya dilarang kawin, dan itu bukan tanpa alasan. Paling tidak ada alasan yang bisa disebut.

Perkawinan dapat menjadi penjara bagi kaum perempuan yang menjauhkannya dari dunia publik. Perkawinan itu menjadi suatu lembaga yang mengesahkan penindasan kecerdasan dan pembunuhkan kreativitas perempuan. Rutinitas dalam keluarga telah mendikte dan membatasi bukan hanya partisipasi perempuan dalam kegiatan publik, tetapi juga ide-ide kreatifnya. Dari perempuan lebih sering kita mendengar alasan anak sakit, menemani anak ujian atau pembantu pulang kampung, ketimbang laki-laki. Laki-laki tidak merasa harus bertanggungjawab untuk kegiatan yang bersifat domestik. Kecenderungan ini meninggalkan ruang yang begitu sempit untuk perempuan berkiprah dalam matra kegiatan yang lebih produktif dan yang menyaratkan konsentrasi dalam olah pikir. Ruang artikulasi dan aktualisasi diri perempuan atas kapasitas yang dimilikinya sangat terbatas.

Kalaulah perkawinan itu menjadi penjara yang mematikan kreativitas proses berpikir yang sangat potensial yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan, mengapa ia harus mengorbankan dirinya untuk masuk ke dalam penjara itu ?. Rumah tangga harusnya menjadi tempat perempuan menemukan identitasnya, sementara suami tidak dapat menjadi mitra yang memfasilitasi rencana-rencana yang dimiliki perempuan.






Rumahtangga adalah ranah domestik yang menjauhkan kaum perempuan dari hak-hak yang secara hukum berlaku dalam publik. Perkawinan telah menyebabkan proses domestikasi perempuan yang mengembalikan perempuan ke ruang domestik. Banyak sekali perempuan yang telah menjalani hidupnya di ruang publik yang bekerja secara professional, kemudian memutuskan meninggalkan pekerjaan mereka dengan alasan " ikut suami ", atau berhenti bekerja setelah memiliki anak pertama. Adanya mas kawin dalam perkawinan menjadi satu persoalan, karena dalam wilayah kebudayaan tertentu mas kawin memiliki nilai tukar atau pengganti yang disampaikan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Pertukaran semacam ini berimplikasi pada perpindahan hak atas perempuan ke keluarga suami dimana perempuan tersebut secara kultural tunduk kepada laki-laki atau bahkan pada keluarga laki-laki.

Proses domestikasi ini mendapat pengesahan secara sosial dan legal. Payung hukum tidak efektif dalam dunia domestik, sehingga kaum perempuan atas nama istri atau ibu rumah tangga tidak mendapatkan proteksi yang cukup dalam lingkungan domestik ini. Berbeda dengan ruang publik dimana hukum berlaku secara lebih efektif. Kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga misalnya, diperlakukan sebagai persoalan internal, kurang relevan secara sosial, sehingga praktek dan kepatuhan hukum tidak masuk sampai ke ruang domestik tersebut.

Perkawinan menjadi tempat yang melucuti seluruh kedirian perempuan. Perkawinan menyebabkan perempuan kehilangan dirinya karena ia harus menjadi bagian dari entitas yang lebih luas. Dalam proses ini potensi perempuan selain tersembunyi, juga kediriannya dikorbankan menjadi bagian dari suatu tatanan yang tidak ikut dia bangun. Pengorbanan semacam ini sering kali membuat kaum perempuan kesepian, kehilangan kawan dan dunia perempuan, karena ia harus hidup dalam dunia yang dikonstruksikan oleh para lelaki atau institusi-institusi yang berpihak pada lelaki.

Institusi perkawinan tidak semestinya menjadikan perempuan terkungkung dan kehilangan jati diri sebagai individu. Institusi itu dapat saja menjadi dukungan bagi pengembangan minat dan bakat yang memungkinkan aktualisasi diri dalam dunia publik. Banyak sekali perempuan yang beruntung dalam perkawinannya, namun lebih banyak lagi yang tidak mendapatkan dukungan dan justru setelah perkawinan terjadi, diri perempuan tenggelam dalam rutinitas dan kebosanan tiada ujung.









Alasan-alasan itu agaknya menegaskan perlunya pertimbangan seksama tentang persyaratan yang harus dipenuhi oleh perempuan, laki-laki dan lembaga-lembaga yang terkait, sebelum sebuah perkawinan dapat dilangsungkan. Apa cukup perkawinan itu atas kesepakatan dua orang ( laki-laki dan perempuan ) saja ?. Apakah pasal-pasal dalam buku nikah cukup menjadi pegangan hukum bagi jaminan hak-hak perempuan ?.

Bagaimana kita dapat melindungi perempuan dari kemungkinan perkosaan dalam rumah tangga atau pengingkaran terhadap kebutuhan strategisnya?. Jika kemaslahatan tidak dapat dicapai dan dijamin dengan adanya perkawinan, mengapa peristiwa itu disahkan?. Jika perkawinan itu menghilangkan identitas diri kaum perempuan, sebaiknya suatu perkawinan perlu digagalkan.

Sayangnya, dulu kita tidak sempat melarang sang bupati menikahi Kartini. Kalaulah Kartini tidak menikah, mungkin anak-anak tidak perlu lagi bertanya pada ibunya, " Mengapa ibu menikah dengan laki-laki yang menjadi ayahku, Bu?".