Tuesday, October 25, 2005

Tigaperempat Bulan Satu Perenungan

Memasuki bulan Ramadhan ini , kita mempunyai suguhan istimewa yang mendahului sahur pertama untuk berpuasa. Yaitu "hidangan" teror bom dan bahan bakar minyak. Hal yang pertama, selain mengundang perhatian dari seluruh kalangan dunia, juga menimbulkan anggapan pada masyarakat luas bahwa negeri kita adalah lahan bagi hidupnya satu bangsa yang telah disarangi kelompok teroris. Mungkin tak ubahnya laba-laba yang pernah saya lihat membuat jejaringannya di sudut-sudut dan langit-langit rumahku. Jika seperti itu keadaannya, maka kesimpulannya sudah jelas. Sayalah yang lalai. Lalai dalam memperkirakan bahwa segumpal kotoran ternyata tak lebih dari setitik debu yang jika dibiarkan terus menerus akan berkelompok dan menjadikan pemandangan di rumah sayapun tak bersih lagi.

Namun bom bukanlah debu seperti debu yang beterbangan di atas kepala saya ataupun seperti sarang laba-laba di dalam rumahku itu. Ia dapat menimbulkan ledakan debu yang sangat dahsyat. Tidak hanya kepada harta benda yang kita miliki, rumah kita yang berdiri di atas tanah negeri ini, tapi juga ledakan ketakutan di hati seluruh penduduk dunia.

Bahkan Mesir yang beberapa tahun terakhir dikenal sebagai negara yang cukup amanpun, ternyata eskalasi kekerasan di negeri itu belakangan ini cukup mencemaskan pula. Arab Saudi juga sampai sekarang masih dalam pertarungan melawan kelompok garis keras yang bersembunyi di negara itu. Begitu pula di Marokko, juga Cassablanca yang menjadi saksi bisu aksi antikemanusiaan ini.

Saya tidak pernah mengerti mengapa tindak kekerasan kini semakin menjadi-jadi justru ketika peradaban semakin menua. Seingat saya, pijakan analisis yang terkait dengan masalah terorisme ini adalah masa terjadinya tragedi 11 September tahun dua 2001, empat tahun yang ada di hadapan jika kita berjalan balik menghampiri peristiwa itu.

Setelah masa itu, ada dua perasaan yang saling "menikam" hati umat Islam. Pertama, rasa duka karena tragedi itu mengorbankan rakyat yang tidak bersalah. Kedua, rasa suka karena mereka--pelakunya--menganggap sebagai ekspressi perlawanan umat Islam terhadap Amerika yang selama ini selalu memojokkannya. Kedua perasaan yang saling menikam itu meninggalkan bekas yang sama saja: luka. Rasa suka seperti yang bagaimana jika aksi berdarah berarti bersekongkol dengan kejahatan ?. Namun pada perjalanan selanjutnya, rasa duka itupun terkalahkan dengan rasa suka setelah Amerika menyatakan perang terhadap kelompok Osama bin Laden yang bersarang di Afganistan. Aksi protespun memenuhi negara Islam. Bahkan aksi-aksi protes ini menobatkan seorang Osama sebagai "pahlawan Islam".

Ketika Amerika menghadapi Uni Sovyet di Afganistan, untuk menaklukkan Sovyet, Amerika pernah juga melakukan hal yang sama, yaitu bekerja sama dengan garis keras Islam yang juga melibatkan Osama. Karena mempunyai keinginan yang sama, maka terjalinlah kerja sama yang rapi untuk menghancurkan musuh bersama saat itu, yaitu Sovyet. Oleh karena itu, ketika kelompok Osama yang dulunyapun dilatih Amerika untuk menghancurkan Sovyet kini berbalik menyerang Amerika, maka penamaan yang tepat untuk kondisi itu tak lain adalah senjata makan tuan. Silang kepentingan yang menjadi pemainnya.

Mari kita bedah perkembangan teror yang terakhir ini banyak menghantam umat Islam sendiri. Ada perbedaan antara koalisi umat Islam dan kelompok garis keras yang dilakukan ketika Amerika menyerang Osama, dengan koalisi yang dilakukan Amerika dan garis keras untuk menghadapi Sovyet. Perbedaannya ada pada tujuan dan sokongan kekuatan. Untuk menumpas "musuh" sebesar Amerika perlu kekuatan tangguh secara militer dan ekonomi. Sedangkan "koalisi tak bersenjata" antara umat Islam dan garis keras tidak mumpuni, lambat launpun melemah dan kemudian hancur. Umat Islampun "menginjak" figur seperti Osama, dengan bermunculannya slogan dimana-mana bahwa Osama merusak citra Islam.

Di sisi lain, kalangan garis keras yang merasa dikhianati, menuduh negara-negara Islam bekerja sama dengan musuh. Aksi kekerasanpun mulai dialamatkan kepada mereka, termasuk Arab Saudi, Maroko, Mesir dan kami Indonesia. Kitalah yang selalu menjadi sasaran kekecewaan siapapun dan apapun terhadap perputaran waktu yang senantiasa mengandung kejadian, peristiwa dan yang kemudian menjadikannya sebagai sejarah.

Sekarang tentang saudara seibu kita disini. Keputusan pemerintah untuk mencabut subsidi bahan bakar minyak dan membagikan dana kompensasinya dalam bentuk bantuan langsung secara tunai kepada rakyat telah mengalihkan isu politik yang sensitif tentang hal itu, menjadi isu yang sangat teknis di lapangan. Ketika bantuan tunai dana kompensasi BBM itu sedang dibagikan kepada seluruh rakyat, antrian warga yang sedemikian panjang membuat kondisi fisik saudara kita menjadi lemas dan akhirnya pingsan dalam barisan rakyat miskin. Bahkan ada yang pingsan dan tak tertolong lagi hingga menemui ajalnya. Ada pula diantara kita yang mengomel karena tidak dapat menahan diri untuk bersabar menghadapi situasi di lapangan. Bahkan seorang nenek di Jogjakarta nekat menerjunkan dirinya ke dalam sungai untuk bunuh diri saja karena sudah frustrasi dengan urusan penerimaan kartu kompensasi BBM itu. Jika takut bunuh diri tapi tidak takut membunuh yang lainnya, seseorang di negeri inipun dapat dengan mudah menghilangkan nyawa orang lain di luar dirinya hanya karena faktor emosi. Seorang ketua RT (rukun tetangga) di daerah Jambi kabupaten Bungo, tewas dibunuh salah seorang warganya yang emosi karena korban tidak mendaftarkan warga tersebut sebagai warga miskin penerima dana kompensasi BBM.

Ada lagi pernik yang lucu. Di Sulawesi tengah kabupaten Donggala, ada keluarga yang menolak di daftar sebagai warga miskin karena malu dengan anggapan itu. Yah, istilahnya biar miskin yang penting sombong. Ini menyulitkan badan pusat statistik disana. Karena selain kurangnya waktu untuk pendaftaran dan tenaga pendata, juga kondisi geografis yang sulit dijangkau. Untuk mencapai daerah pegunungan dan kepulauan di sana harus naik kuda, bahkan hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki.

Kalau ada warga yang malu dianggap miskin dan menolak bantuan tunai tersebut--padahal memang miskin keadaannya--ada lagi keluarga yang keadaannya cukup layak namun mengaku miskin supaya bisa mendapatkan bantuan itu. Ada pula diantara kita yang mengajukan protes jika tidak didaftar sebagai warga miskin, karena kemiskinan adalah identitas rakyat di negeri ini. Kita khawatir jika tanpa identitas kemiskinan itu, pemerintah tidak dapat mengenali kita lagi...

Padahal, penentuan kriteria keluarga miskin inipun sebenarnya tidak luput dari persoalan tentang bagaimana variabel yang disebut miskin itu, jika dikaitkan dengan tingkat penghasilan keluarga. Ada sebuah keluarga yang rumahnya dibangun dengan sistem gotong royong--seperti arisan pembangunan rumah-- sehingga kondisi rumah yang ditempatinya tampak layak. Padahal jika ditinjau dari besarnya penghasilannya perbulan, mereka tergolong miskin.

Ada lagi yang berkesan seperti bantuan salah alamat. Dana kompensasi BBM dikirim kepada keluarga yang tergolong mampu, sehingga bantuan tunai itu bukan untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari , tapi malah digunakan untuk membeli baju baru buat lebaran. Ada kepala desa yang dihajar karena urusan pembagian subsidi tunai langsung itu, namun ada pula kepala desa yang diam-diam ketahuan menyunat uang bantuan itu hingga 20%. Ini semua terjadi memang karena buruknya pengamanan dan kontrol kita selama di lapangan.

Dan yang paling memprihatinkan, semua ini terjadinya justru pada bulan Ramadhan. Bulan yang seharusnya tepat untuk sebuah kontemplasi yang manis pada diri setiap umat Islam.

Rakyat di negeri ini selalu terpapar sebagai model dari dua realita hidup: Islam dan kemiskinan. Kemiskinanlah yang menobatkan dirinya menjadi ibu dari semua keturunan dan anak cucu persoalan di negeri ini. Agama yang tidak mampu menggerakkan umatnya untuk mengamalkan ibadahnya dalam hidup bermasyarakat, diibaratkan sebagai bapak yang lama kelamaan menjadi impoten karena setiap hari ibu selalu mengomel tentang urusan dapur. Dan bapakpun mulai banyak berdiam diri karena sudah pusing tak menemukan lagi cara jitu untuk menenangkan ibu yang selalu menuntut penghasilan yang memadai, sebagai landasan kebutuhan hidup.