Tuesday, May 2, 2006

Menasionalkan Pendidikan Nasional



Permasalahan pendidikan nasional sesungguhnya sangat mendasar dan lebih menyangkut persoalan filosofis. Tapi perbincangan yang ada selama ini hanya mengacu pada problem teknis. Padahal, cara-cara teknis praktis itu tidak menjawab permasalahan, tetapi hanya menyembunyikan permasalahan dasarnya.

Cara pandang pendidikan dari segi teknis itu hanya mempersoalkan masalah mikropendidikan. Sebaliknya, persoalan makro, seperti filosofi pendidikan nasional justru tidak pernah disentuh, dianggap telah selesai.

Besarnya persoalan filosofis pendidikan bisa dilihat dari hilangnya identitas pendidikan nasional. Atas nama globalisasi dan persaingan ( tenaga kerja ) global, identitas pendidikan nasional dikaburkan oleh pawang pendidikan nasional dengan cara mengganti identitas nasional menjadi identitas internasional. Ini tampak dari fenomena seperti penyeragaman bahasa ke bahasa Inggris dan teknik komputer pada semua sekolah, tampak pada berdirinya sekolah-sekolah berstandar internasional dan kelas imersi ( kelas yang pengantarnya bahasa Inggris ), serta dari standarisasi pengelolaan pendidikan nasional.

Sekilas membanggakan, seakan kita sudah mencapai mutu internasional. Namun, bila diresapi lebih dalam lagi, internasionalisasi sistem pendidikan itu akan mengantarkan bangsa Indonesia ke lubang kematian. Bila sebagai bangsa tidak punya identitas lagi, sementara kemampuan teknologinya juga masih di bawah rata-rata, apa yang bisa dibanggakan sebagai bangsa ?. Kepentingan identitas nasional ini bukan hanya keperluan kaum chauvinistic, tapi juga mereka yang berpikir rasional. Penghilangan identitas nasional melalui pendidikan formal itu memiliki implikasi sangat luas terhadap kehidupan berbangsa, baik secara ideologi, politik, ekonomi, sosial maupun budaya.

Secara ideologis, anak-anak muda tidak lagi mengenal ideologi negara karena mereka tidak diperkenalkan pada ideologi negara secara benar dan intens. Sejak dini mereka berkenalan dengan ideologi global yang bernama pasar bebas. Tanpa disadari, pendidikan kita akan melahirkan orang-orang yang sejak dini sudah berideologi neo-liberal. Padahal masyarakat Indonesia sangat beragam, sehingga tidak semua warga masyarakat akan terbebaskan melalui pasar bebas. Banyak warga yang memerlukan subsidi dari negara dan pertolongan dari sesama.

Karena ideologi yang dicekokkan sejak dini adalah ideologi kaum neo-liberal, maka sudah pasti sistem politik yang akan berkembang adalah politik kaum dagang. Mereka yang memiliki modal akan memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan.

Secara ekonomi, model pendidikan yang menghapuskan identitas nasional itu akan mendorong tumbuhnya ekonomi global yang tidak berpijak pada kondisi geografis dan demografis bangsa. Secara geografis, Indonesia ini negara agraris, tetapi karena sejak SD diperkenalkan dengan teknologi komputer dan bahasa Inggris, maka orientasi kerja mereka tidak lagi pada sektor agraris dan kelautan, tetapi cenderung berorientasi pada teknologi informatika. Besarnya jumlah penduduk usia muda yang mencari pekerjaan di sektor industri informatika dan lemahnya kemampuan sumber daya manusia kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, akan menyebabkan penumpukan pengangguran di satu pihak dan kekurangan tenaga kerja di lain pihak, khususnya pada sektor agraris dan perairan.

Secara sosial, relasi antar individu yang dibangun oleh anak muda produk pendidikan formal, tidak lagi didasarkan pada solidaritas yang tinggi, tetapi kompetisi yang tinggi. Pendidikan formal sejak dinilah yang memperkenalkan tatanan sosial baru berupa kompetisi. Menurut para penganjurnya, kompetisi dalam mencari lapangan kerja akan sangat ketat sehingga hanya mereka yang memiliki kompetisi tinggi dan mampu berkompetisi sajalah yang akan menjadi pemenangnya. Bius semacam ini meresap pada diri murid, sehingga membentuk perilaku yang kurang solider terhadap sesamanya. Yang muncul justru perilaku yang kompetitif.

Secara budaya, internasionalisasi sistem pendidikan juga menghilangkan sistem nilai yang harus menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak. Nilai-nilai tertentu yang semula menjadi acuan masyarakat untuk bertindak dianggap tidak relevan lagi dengan tatanan ideologi, politik, ekonomi dan sosial masyarakat yang telah berubah seiring dengan perubahan sistem pendidikan.

Sebagai bahan refleksi kita atas nasib pendidikan nasional itu, patut kita ingat kembali Ki Hadjar Dewantoro ( 1937 ), bahwa pendidikan adalah tuntutan di dalam tumbuh kembangnya anak-anak. Pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Namun realitas praksis pendidikan nasional itu tidak mengembangkan kodrat anak, tapi justru mencerabut kodrat anak untuk memenuhi ambisi birokrasi pendidikan dan menyerahkan masa depan mereka pada identitas tunggal yang bernama pasar bebas. Ini sungguh menyedihkan. Lebih menyedihkan lagi adalah ketika UU no.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sendiri mendorong internasionalisasi sistem pendidikan yang menghilangkan identitas nasional itu dengan menganjurkan agar setiap daerah memiliki satu sekolah bertaraf internasional.

Ini kekeliruan, karena tanpa disadari akan membuat bangsa Indonesia menjadi tidak beridentitas secara sistematik. Jika kita tidak beridentitas, otomatis kita akan dilecehkan oleh negara-negara lain dalam banyak hal, termasuk ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya.