Sunday, October 30, 2005

Yang Masih Tercecer


"Kring..kring..kring..., suara bel sepeda Phoenix buatan Taiwan itu membelah panasnya Jakarta di sebelah barat dan kota. Sarman, si pemilik sepeda itu, ringan saja mengayuh tunggangannya melawan arah. Kadang "nyalib" di depan kendaraan lain yang melaju kencang. Raungan klaksonpun bersahutan mewakili kekesalan pemilik kendaraan lain. Peluh bercucuran dari wajah pak Sarman yang terlihat lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.

Namun suara klakson kendaraan lain tak membuat pak Sarman grogi, tetap santai dia mengayuh pedal sepedanya. Lewat kayuhan sepedanya inilah pak Sarman menyambung hidup keluarganya. Pria berusia 42 tahun ini adalah salah seorang pengojek sepeda yang kini masih banyak di kawasan Jakarta Kota. Bahkan menjadi tunggangan alternatif yang tak lekang oleh panas hujan dan tak lapuk oleh kenaikan harga bahan bakar minyak. Habis mau bagaimana lagi ?. Berjalan kaki ke tempat beraktivitas pasca kenaikan BBM ?. Apa Mungkin ?. Lihatlah bagaimana kondisi trotoar di negeri ini. Trotoar bukan lagi untuk pejalan kaki, tapi sudah dimonopoli oleh pengendara motor dan pedagang kaki lima. Belum lagi kondisinya yang tidak terawat, masih banyak terdapat kawat bekas galian, berlubang-lubang tidak rata dan ditumbuhi pepohonan yang akarnya kadang menyandung para pejalan kaki. Belum lagi galaknya pengendara motor yang jika mereka melajukan motornya di atas trotoar, lantas ada pejalan kaki yang dianggap menghalangi jalan mereka, mereka akan membunyikan klaksonnya, mempelototkan mata sambil mengumpat, Woi, minggir!. Nggak ngeliat apa lu!". (Minggir?. Lha mau minggir ke mana lagi. Trotoar kan tempat kami berjalan kaki?. Apa kami mesti turun ke bahu jalan untuk berjalan?. Yah, terpaksalah daripada saling ngotot, ngeyel, dan memang akhirnya hanya itulah yang bisa kami lakukan. Berjalan kaki di bahu jalan raya sambil mangkel di hati pula. Kadang masih juga beresiko keserempet oleh sliwerannya kendaraan umum seperti metro mini, kopaja, mini angkot dan pengendara lainnya. Belum lagi kami harus berjalan menghindar dari kerumunan para pedagang buah-buahan dan kaki lima lainnya yang ikut meramaikan suasana pertrotoaran disini. Aduh....)

Lain halnya dengan pak Sarman yang satu ini. Keluwesannya mengendarai sepedanya menembus semrawutnya lalulintas merupakan alasan mengapa masyarakat masih setia memilih angkutan tradisional ini. Bahkan pak Sarman telah mempunyai pelanggan tetap yang menggunakan jasanya usai jam kantor. Bersama sekitar 60 orang rekan-rekannya, pak Sarman menunggu penumpang dengan sabar di depan Stasiun Kereta Api Beos , Kota.
"Saya sudah tujuh tahun ngojek sepeda" katanya. Sebelum menjadi pengojek, pak Sarman mengaku pernah bekerja di berbagai toko dan pabrik di ibukota, namun ketidaksenangan diperintah oranglain membuatnya banting setir. Awalnya menjadi pengojek sepedapun gara-gara tetangganya menawari untuk membawa sepeda yang tidak dipakai lagi. "Yah..akhirnya keterusan sampai sekarang," katanya lagi sambil tertawa terkekeh mengusap peluh di dahinya.

Yang tidak bisa disembunyikan adalah guratan wajahnya yang seolah menjadi bukti kerasnya perjuangan hidup.

Soal penghasilan, pak Sarman menuturkan, "Yah...lumayanlah bisa mendapatkan 15 ribu sampai 20 ribu rupiah sehari, karena tidak dibebani setoran. Kalau pengojek lain yang masih dibebani setoran, harus menyisihkan sejumlah 15 ribu hingga 20 ribu rupiah kepada pemilik. Ini sepeda Phoenix saya beli seharga 300 ribu rupiah, kalau yang baru sih bisa sampai 500 ribu rupiah," katanya sambil menunjuk sepedanya yang telah dilengkapi jok tambahan itu.

Karena menjadi pihak yang lemah, daya tawarpun rendah. Sulit bagi mereka mematok harga. Nominal Rp.1500,- dianggap layak untuk berjalan dari Stasiun Kereta Api Beos menuju kantor pos yang berjarak sekitar 300 meter. Namun tak jarang pula, seberapapun uang yang diberikan penumpangnya mereka terima dengan ikhlas.

Kendati minim dalam penghasilan, mereka tidak minim dengan kebaikan. Bahkan persainganpun disikapi dengan bijak. Tenggang rasa menjadi sebuah keharusan ketika melihat ada teman yang belum mendapat penumpang. Mereka sadar betul bahwa rejeki itu sudah ada yang mengatur. Untuk apa saling sikut jika hanya menimbulkan penderitaan yang berujung pada ketidaknyamanan dalam hidup dan bertambahnya musuh ?.

Meski tidak semua pengojek sepeda memiliki sifat seperti pak Sarman ini, namun ada kesamaan yang tidak bisa hilang dari mereka, yaitu komunitas marjinal. Namun rasa "nrimo" lah yang membuat kaum terpinggirkan ini menjadi "survive". Setelah merasa cukup, tidak ada lagi niatan untuk merebut milik orang lain.

Saat ini ojek sepeda hanya ada di kawasan Jakarta Utara dan Kota. Mereka para pengojekpun menjadi fasih dengan perkembangan yang ada di wilayah itu, bahkan mereka sekaligus berfungsi sebagai pemandu wisata di kawasan yang memang terkenal dengan kota tua yang banyak peninggalan bangunan bersejarahnya. Dengan uang sekitar 20 ribu rupiah, kami bisa diajak berkeliling kota. Mulai dari Stasiun kota, Museum Sejarah Jakarta, hingga ke pelabuhan Sunda Kelapa, sambil dengan senang hatinya mereka menceritakan sejarah bangunan-bangunan yang ada di sekitar situ. Akan lebih menyenangkan lagi jika hal ini dilakukan pada malam hari, setelah terik matahari Jakarta terganti oleh semilir angin laut.

Kehidupan kadang terasa tidak berubah. Kala senja menyisir pantai teluk Jakarta, pak Sarmanpun dengan bersenandung lirih--entah lagu apa yang dinyanyikannya--membelokkan setang sepedanya ke rumah, menemui anak dan istrinya. Masih tampak sesungging senyumnya karena mengantongi hasil tetesan keringat yang diperolehnya seharian. Sembari berdoa pada Sang Khalik, "Tuhan, berilah kesempatan pada saya untuk bisa berbuat baik dan menjadi lebih baik lagi"

(Ah, sebait doa sederhana dari pak Sarman dan rekan-rekannya, yang masih sawang sinawang dengan koor serempak para anggota DPR ketika menerima tambahan tunjangan sepuluh juta rupiah, di tengah duka abadi karena naiknya harga bahan bakar minyak di negeri ini), terdengar jelas sampai kami kembali membuka hari esok.