Friday, May 18, 2007

Partai Amanat Nasional (PAN)

Partai Amanat Nasional (PAN) lahir di tengah gejolak kebutuhan reformasi politik di Indonesia. Wajar bila ada tuntutan agar PAN tidak terjebak ke dalam kesalahan parpol masa lalu. Akan menjadi celaan sepanjang sejarah bila PAN justru tenggelam, hanyut di tengah sekuen politik yang seharusnya direformasi.

3 Kesalahan---kalau tidak mau disebut penyakit kronis--- parpol di Indonesia selama ini adalah eksklusivisme, personalisasi institusi dan keengganan untuk menjadi kekuatan oposisi yang berujung pada ketidakmampuan parpol melaksanakan fungsi paling dasarnya. Sejauh ini kita saksikan kesulitan parpol mengembangkan basis konstituen sebagai akibat masih kentalnya pandangan yang sangat eksklusif, baik pada tataran elite maupun aktivis dan simpatisan mereka. Tiap upaya melebarkan basis konstituen ( yang merupakan kebutuhan satu partai moderan) selalu dilawan dengan sikap ideologis dari elite manapun simpatisan parpol. Contohnya PDIP. Saat konsep marhaenisme hendak dilonggarkan supaya bisa merekrut konstituen kelas menengah bahkan kelas atas, segera direspons oleh core supporter mereka.

Kesulitan ini bertambah karena kegagalan banyak parpol membangun sistem dan mekanisme kerja yang baku, yang menyebabkan virus personalisasi institusi ( yang biasa ditemui pada fase awal perkembangan parpol ) tetap ada, bahkan terkesan makin menguat. Figur pimpinan partai identik dengan partai itu sendiri. Dengan konstelasi seperti ini, mudah bagi pimpinan parpol untuk mentransformasikan kehendaknya menjadi kehendak institusi. Bahkan ( dalam banyak kasus ) pandangan dan harapan pribadi figur sentral dimaknakan sebagai ideologi bagi aktivis dan simpatisan parpol.

Parpol dengan mudah dapat dijadikan elite untuk berkuasa. Orientasi ideal parpol direduksi hanya pada merebut kekuasaan. Tidak dengan kesiapan kemampuan mengelola kekuasaan itu, apalagi berpikir untuk apa kekuasaan itu diberikan kepada mereka. Bila dalam politik salah satu indikator "kehebatan" politikus adalah merangkul lawan menjadi kawan, maka nafsu berkuasa memudahkan pengendali parpol masuk dalam lingkaran kekuasaan. Lupa bahwa penguasa "harus ditantang" agar tidak terjadi kesewenang-wenangan kekuasaan. Inilah arti penting oposisi di Indonesia. Ini pula yang tidak pernah terjadi, sehingga selalu terjadi kecenderungan pemusatan kekuasaan di setiap rezim politik di Indonesia. Ini tantangan PAN sebagai partai reformis.

Ketika Prof. Amien Rais---sebagai tokoh sentral dalam PAN---tidak mau dicalonkan lagi dan dia juga tidak mencalonkan siapa-siapa, sikap ini menunjukkan bahwa masalah PAN adalah regenerasi dan revitalisasi organisasi. Agak aneh kedengarannya, sebagai parpol baru PAN sudah merasakan kebutuhan regenerasi. Padahal beberapa parpol lama tidak merasakan ini dan terjebak dengan pemimpin yang " itu-itu saja". Tapi bila dilihat faktor usia dan kebutuhan Pemilu 2009, jelas regenerasi PAN harus dilakukan segera bila tetap ingin memelihara tren positif pada Pemilu 2004 kemarin.

Beberapa petinggi PAN sudah berusia "kepala 5" ( 50 tahun ketas) bahkan "kepala 6" ( 60 tahun keatas). Pemilih pada Pemilu 2009 nanti didominasi oleh generasi yang lahir tahun 1970-an and 1980-an, yang saat ini berusia 30-40 tahun. Konkretnya, ada jarak satu generasi di anatara mereka yang masih ingin dipilih dan pemilih. Padahal pola pikir dan tindak mereka berbeda, sebagai produk perbedaan semangat zaman.

Pada sektor ini PAN tidak perlu risau, karena yang berbeda hanya umur. Soal kemampuan intelektual, penalaran antara elite PAN tidak jauh berbeda. Kalaupun dicari-cari, perbedaannya ada pada "jam terbang" dari generasi lapis pertama ( Amien Rais dkk) dengan generasi lapis kedua (sebut saja Didiek Rachbini dkk). Tinggal dicari siapa di antara tokoh muda PAN memiliki jam terbang terbanyak memimpin organisasi, tapi tidak terkait dengan struktur rezim dan kekuasaan saat ini.

Masalah PAN terberat justru pada revitalisasi dan reposisi PAN dalam konstelasi politik nasional. PAN butuh mengembangkan basis konstituen. Ideologi mereka harus dirumuskan kembali secara cermat agar pendukung utama ( core supporter) tidak lari ketika PAN mengembangkan basis dukungan. Ini bukan pekerjaan mudah. Mayoritas lapisan kedua elite PAN adalah mereka yang tidak terlibat dalam proses kelahiran partai ini. Apalagi fakta menunjukkan banyak elite lapis kedua yang pendiriannya masih belum teruji saat berhadapan dengan manisnya aroma kekuasaan. Adanya tokoh PAN yang menjadi tim sukses SBY-Kalla di saat Amien Rais menjadi pesaingnya menunjukkan bahwa solidaritas PAN dan integritas elite lapis kedua masih kurang tangguh untuk menghadapi pemilu 2009.

Memperhatikan konstelasi politik nasional saat ini, posisi terbaik PAN untuk kebutuhan Pemilu 2009 adalah berperan sebagai kekuatan oposisi. Ini satu ruang kosong yang justru diharapkan publik ada aktor berperan di situ. PAN sudah melakukannya, misalnya bersama dengan beberapa partai lain, PAN menolak kenaikan harga BBM.

Posisi ini harus terus dipelihara. Bila tidak, nasib PAN bisa terseret oleh nasib Presiden SBY di pilpres 2009 nanti. Sebab, ada kader PAN di jajaran kabinet SBY yang seolah konfirmasi dukungan PAN pada presiden SBY. Logika ini bila tidak dikoreksi secara cerdas justru akan merugikan PAN. Koreksi cerdas di sini adalah mencermati setiap langkah pemerintahan SBY-Kalla dan menawarkan perspektif tandingan yang bisa dikaji secara rasional oleh masyarakat. Sekali lagi, Amien Rais sudah melakukannya. Saat berkampanye, pasangan Amien-Siswono mengangkat masalah illegal logging sebagai alternatif pendanaan APBN. Melihat angka kerugian negara sekitar 35 trilyun rupiah hingga 45 trilyun rupiah tiap tahun dari praktek haram ini, seharusnya PAN sudah bisa tampil dengan konsep tandingan.

Menyimak konstituennya, ada optimisme yang tinggi bahwa PAN bisa melakukannya. Masalahnya, mampukah para elite lapis kedua mengeliminasi aspek negatif dari gaya kepemimpinan "one man show", sebagai bentuk lain dari personalisasi institusi yang juga terjadi di parpol lain. Kalau elemen ini tidak berhasil dieliminir, maka jangan heran bila segala keunggulan yang saat ini ada di tangan mereka akan sirna begitu saja.