Wednesday, August 2, 2006

Dua Wajah Barbarisme

Seorang wartawan yang pernah bertugas di Indonesia, Michael Vatikiotis, menyerang sengit pemerintah Indonesia mengapa membebaskan Abu Bakar Baashir. Bebasnya kiai Ngruki, yang dituduh AS sebagai anggota jaringan terorisme Asia Tenggara ini, baginya seakan menjadi bencana bagi dunia bebas, bagi demokrasi besutan Washington di seluruh dunia.

Dalam argumen Vatikiotis, guru ngaji gaek ini memiliki segala kuasa untuk menghancurkan. Dan dengan sepatah kata segera menghancurkan Amerika: negara yang harus dibela karena selalu menyerukan kebajikan moral dan demokrasi. Rupanya, Vatikiotis, sama seperti kolega Baratnya, memasang kacamata kuda dalam menatap entitas muslim. Ia seharusnya tidak mendorong pemerintah Barat menekan RI soal Baashir karena Indonesia mengetahui jauh lebih baik dari pemerintah manapun tentang warganya, karena kita tidak ada persoalan prasangka seperti Barat. Mestinya, Vatikiotis dan rekannya harus lebih kritis melihat posisi Washington sekarang.

Amerika hanya "pengkhotbah" moral dan demokrasi, tetapi setiap hari meninggalkan jejak buruk dalam dua perkara itu. Bersama Israel, Amerika menjadi cap mengerikan bagi nilai kemanusiaan sekarang.

Kekerasan terhadap kaum sipil mencapai rekor tertinggi di Irak dan Palestina. Kita semua mengetahui skandal penyiksaan di Abu Ghraib dan Jindariya. Dengan sedih kita harus melihat, skandal itu masih terus berlangsung sekarang. Di penjara Guantanamo, karena tidak sanggup menerima siksaan, tiga tahanan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bersamaan dengan itu, tersibak pula insiden pembunuhan terencana di Haditha dan Ishaki. Dalam insiden itu, dengan alasan mencari teroris, tentara AS membantai laki-laki dan perempuan tak berdosa yang sedang tidur di tengah malam buta.

Kemudian bagaimana tentara pendudukan itu menghancurkan secara terencana Ramadi di Provinsi Al-Anbar. Semua penduduk di kota itu dipaksa menyingkir, kemudian tentara Amerika mengubah kota ini menjadi puing-puing. Penduduknya, termasuk anak-anak dan perempuan, kini hidup di kemah-kemah lusuh penuh penderitaan tanpa ada kepastian kapan mereka bisa punya rumah lagi. Inilah yang disebut Yankee Democracy, yang diperkirakan akan diterapkan terhadap Baghdad juga.

Di Washington, juga di Irak, pembunuhan terhadap Abu Musab Al-Zarqawi disambut suka cita. Apa yang tidak disebut adalah fakta bahwa untuk membunuh Zarqawi, Amerika telah mengebom tiga bangunan lain di dekatnya dengan semua penghuni masih di dalam.

Itulah cara Bush menyelamatkan popularitasnya, yang terus merosot ke level terendah jika dibandingkan dengan presiden AS manapun dalam sejarah.

Di Palestina, Zionis masih memberikan pelajaran lain kepada demokrasi. Menyusul kemenangan demokratis Hamas, permainan baru dimulai---metode pemusnahan Hamas. Bukan masalah bahwa gerakan itu telah menerima gencatan senjata dan kondisi itu telah berlangsung selama satu setengah tahun. Alih-alih menerima prakarsa Arab dan membuka jalan perdamaian, Israel malah mengambil jalan teror dan melakukan penyiksaan dan penghancuran.

Sekali lagi, orang diingatkan tentang Mohammed Al-Durrah, bocah cilik yang ditembak mati dalam pelukan ayahnya pada awal intifadah kedua. Gambaran ini jauh lebih brutal sekarang. Sebuah keluarga yang tengah bersantai di pantai, hancur berkeping-keping diterjang rudal Israel. Hoda, gadis kecil berusia 10 tahun yang selamat, tertangkap kamera sedang menangis seraya terus menatap mayat kedua orangtua yang tak berbentuk lagi. Ketika semua manusia tersentak dengan peristiwa itu, Presiden Bush cepat merespons: " Itu hanya self-defence ".

Setali tiga uang dengan Bush, PM Israel Ehud Olmert mengatakan,"Tidak perlu meminta maaf". Untuk apa Olmert meminta maaf ketika kejahatan seperti itu telah menjadi inti kebijakan Israel?. Tidak ada alasan sama sekali untuk meminta maaf ketika malu dan moral bukan bagian dari Bush maupun Olmert.

Yang satu adalah presiden sebuah negara demokrasi tapi bisa berpulas di atas tumpukan mayat-mayat penduduk pemilik negeri mereka, yang satunya lagi adalah perdana menteri sebuah negara yang lahir karena genosida, dan berbalik memperlakukan bangsa Palestina dengan penuh barbarisme.

Israel dan Amerika telah banyak bicara tentang demokrasi dan moralitas. Masalahnya, tidak satupun yang mereka katakan masuk akal sehat.