Thursday, September 8, 2005

Ibadah Sosial

Dua sisi dari sekeping mata uang di Indonesia adalah kelaparan rakyat dan kemewahan pejabat. Itulah nasib yang digaruk dari gatal sejarah jika sebuah negara tidak memiliki negarawan.

Banyak cendekiawan dilahirkan di negeri ini, namun untuk mencapai taraf negarawan agaknya tidak cukup hanya dengan sebuah negara yang rangkaian gugus pulaunya telah diguncang gempa dan tsunami yang sangat besar kerugiannya itu. Seorang negarawan harus dilahirkan. Tidak bisa dicetak, bahkan dalam kelas yang paling cantik sekalipun seperti STPDN.

Apalah gunanya kitab suci dan para malaikat jika kita lebih suka duduk-duduk sambil ngobrol tentang ayat-ayat suci yang tipis kemungkinannya dapat mengais berkah dari masyarakat yang isinya berantem melulu. Kita ini memang paling bersemangat kalau disuruh berantem. Bisa berantem di parlemen, di jalan tol, berantem rebutan lahan, berantem berebut rezeki, berantem di daerah konflik, berantem di tempat bencana, berantem rebutan tender, berantem di KPU, ataupun di istana.

Apa saja bisa menimbulkan perkelahian. Bangsa filosof seperti Indonesia ini memang ujung-ujungnya selalu mengemukakan filsafat, pandangan hidup, sikap dan sejenisnya justru pada saat seharusnya menganalisis masalah yang sebenarnya sangat rasional dan bercokol pada masalah realitas sosial. Masyarakat filosof tentunya tidak pandai berdagang, tidak pandai mengurus negara, karena tugasnya memang hanya berfilsafat. Jika pandangan kita tentang kebenaran menjadi tersinggung, kita lantas berantem.

Apa lagi yang bisa perbuat ?. Atau kita ucapkan Alhamdulillah saja atas apapun hasil yang kita peroleh ?. Yah, alhamdulillah, kita masih bisa berantem.

Dewasa ini umat Islam malah dijangkiti penyakit yang jauh lebih mengerikan yang sudah kronis: berantem sesama muslim. Kalau yang satu merasa paling jago daripada gerombolan lain dan yang merasa paling jago ini meneropong kepada yang dianggapnya musuh itu, lantas di dalam benaknya menyimpulkan kalau gerombolan itu bukan Islam, langsung saja gebuk!. Padahal kelompok yang dianggapnya bukan Islam itu itu rajin shalat lima waktu, berpuasa di bulan ramadhan, membayar zakat, membaca Al'Quran, membayar hewan kurban ketika Idul Adha, selalu shalat Jumat, bahkan sudah haji dan umroh.

Apa yang salah dengan semua ini ?. Bisakah kita menyalahkan diri sendiri yang kerjanya hanya mengelus-elus ayat suci dan tidak mempraktekkannya?. Masih tebal dalam anggapan kita bahwa pekerjaan ngaji lebih suci daripada pekerjaan lainnya. Ngaji memang oke, tetapi mempraktekkannya ke dalam kehidupan bermasyarakat, jauh lebih oke lagi.

Menurut nabi Muhammad rasulullah saw, ada 3 hal yang menjadi musuh Islam. Yaitu : kemiskinan, kebodohan dan penyakit. Fokus perhatiannya adalah pada penderitaan umat Islam yang dilanda kebodohan dan kemiskinan dimana-mana. Juga pada keterbelakangan yang menggelayuti sepanjang hayat, serta penyakit yang semakin menggila menggerogoti para keluarga muslim karena ketidakberdayaan atas mahalnya obat dan tidak terjangkaunya biaya rumah sakit. Semua yang dinyatakan oleh Rasulullah itu pada dasarnya lahir dari tidak adanya keadilan dalam masyarakat. Elite politik yang berkuasa hingga habis masa berkuasanya juga tidak mampu memberikan keadilan itu pada rakyatnya. Karena memang fokus perhatiannya tidak disitu. Dibiarkannya saja rakyat terus sengsara, karena disitulah nikmatnya kekuasaan. Para pembesar yang berkuasa tidak mungkin memberikan sedikit saja sedikit kenikmatan kekuasaannya kepada rakyat jika rakyat tidak menyembah dulu.

Itulah hukum kekuasaan. Kesalahan rakyat adalah karena rakyat adalah rakyat. Maka rakyat harus bisa naik menjadi elite politik yang berkuasa. Darisitu nanti baru bisa memberikan keadilan kepada sesamanya yang dulu senasib sependeritaan.

Lihatlah sifat aneh dari yang bernama kekuasaan itu: ketika Indonesia masih dilanda kesengsaraan karena gempa dan tsunami, eh koq ya tega-teganya menyelenggarakan dua konferensi sekaligus. KTT Asia Afrika dan Konferensi Umat Islam Indonesia. Juga pembelian rumah di Swiss seharga 70 milyar rupiah, yang jika ditotal seluruh biayanya bisa menghabiskan seratus tiga puluh milyar rupiah. Opo ra' hebat !. Koq ya ndak sungkan dengan para donatur. Kan bisa saja nanti dikiranya..oh, jadi selama ini dana bantuan itu untuk pembiayaan gengsi-gengsian tho ?!. Koq ya ndak rikuh sama yang ngasih bantuan.

Jawabnya: tentu saja, kita ini bangsa filosof koq. Kita bisa mencari jawab untuk segala tingkah laku kita itu di dalam filsafat. Sementara, penderitaan saudara-saudara kita terlalu banyak yang tidak bisa dijawab dengan filsafat. Misalnya saudara kita yang dilanda bencana gempa di pulau Nias. Bantuan yang datang ke sana tidak cukup pantas untuk membangun kembali kehidupan mereka selayaknya.

Rasanya para ulama harus menggulung lengan untuk memimpin ibadah sosial umatnya dalam meneladani Rasulullah, jika tidak mau umat menemui jalan buntu...