Thursday, September 14, 2006

Sidoarjo, 2006

Hari Lingkungan Hidup yang baru berlalu beberapa bulan, masih kita "nikmati" gaungnya dengan ironi dan tragedi lumpur panas di Sidoarjo yang hingga kini tidak dapat dihentikan itu.

Begitu dahsyatnya ia keluar dari perut bumi sehingga bila tidak dapat distop bisa total menimbun jalan tol, bahkan menghancurkan tiga desa di sekitarnya. Dan tentu, bisa membunuh penduduk. Desa Jatirejo, kecamatan Porong kabupaten Sidoarjo kini telah tenggelam oleh ketinggian lumpur yang melebihi atap rumah penduduk itu.




Lumpur panas yang terus mengalir lewat rekahan tanah di desa Siring, kecamatan Porong, kabupaten Sidoarjo Jawa Timur itu, tiap hari diperkirakan meluap sekitar 5000 meter kubik dengan suhu diatas 57 derajat Celcius. Jalur Tol Gempol Surabaya dan jalur kereta api Surabaya Malang Banyuwangi sempat ditutup karena terendam olehnya. Hingga kini lumpur panas itu telah merusak sawah di desa Renokenongo, desa Glagah Arum dan desa Plumbon.



Panen sudah pasti gagal. PT Jasa Marga sudah tentu kehilangan sebagian pendapatannya. Namun yang paling penting saat ini adalah bagaimana menentukan cara untuk menghentikan semburan lumpur dan gas itu dari perut bumi.



Pemprov Jawa Timur telah angkat tangan, tidak sanggup menghentikannya. Mereka telah meminta bantuan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, BP Migas dan Ikatan Ahli Geologi untuk mengirim timnya. Tim sedang bekerja. Tentu diharapkan segera membuahkan hasil, termasuk menentukan apakah ada zat-zat tertentu di dalam kandungan lumpur itu yang berbahaya untuk kelangsungan makhluk hidup di sekitarnya.



Sejauh ini lumpur panas itu diduga dari eksploitasi minyak PT Lapindo Brantas, yaitu kemungkinan kesalahan teknis, pelanggaran terhadap analisis mengenai dampak lingkungan dan pengaruh pengeboran. Meski PT Lapindo Brantas mengatakan bahwa malapetaka itu berkaitan dengan gempa di Jogja-- sebuah pembelaan yang mungkin benar, mungkin salah-- namun pemerintah dengan tim ahlinya seharusnya mencari dan menemukan penyebabnya yang pasti.

Bila penyebabnya karena melanggar undang-undang, misalnya melanggar analisis dampak lingkungan, segera saja dibawa ke pengadilan. Jika terbukti melakukan kesalahan, beri hukuman seberat-beratnya. Bila karena kesalahan teknis, mestinya menjadi pelajaran yang berharga supaya tidak terulang lagi. Namun tetap tiada maaf, perusahaan yang tidak professional itu layak membayar ganti rugi yang semahal-mahalnya karena telah merusak lingkungan.



Ganjaran yang setimpal diperlukan agar menimbulkan efek jera kepada pihak manapun. Efek jera ini sangat diperlukan agar pemanfaatan secara ekonomis sumber alam di negeri ini dilakukan dengan cara-cara yang benar, dengan sepenuhnya menghormati kelestarian Lingkungan Hidup.

Untuk itu pemerintah perlu taat asas dan tidak pandang bulu demi tegaknya analisis mengenai dampak lingkungan. Memang tidak mudah, karena hal itu hanya bisa terlaksana jika birokrasi tidak dapat dibeli.