Sunday, June 10, 2007

SBY - Kalla 2007

Bagaimana prospek hubungan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) pada 2007? Benarkah kimia politik pasangan ini akan makin pudar? Jawabannya dapat dirunut ke sebuah peristiwa politik fenomenal pada akhir 2004, saat wakil presiden Jusuf Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Kalla-personal lantas berubah menjadi Kalla-institusional, ditandai dengan pelipatgandaan kekuasaan politik. Bagi SBY, Kalla telah berubah menjadi "pedang bermata dua", bisa menguntungkan sekaligus bisa memenggal SBY.

Dengan menguasai Partai Golkar, partai terbesar di Indonesia, daya tawar politik Kalla melesat. Apalagi ia punya kekuasaan nyata di parlemen. Ketakutan SBY akan manuver-manuver politik yang mengguncang pemerintahan kemudian mereda. Dalam konteks ini, bagi SBY, Kalla amat bermanfaat dalam menciptakan keseimbangan politik baru antara pemerintah dan parlemen. Setidaknya, pemerintahan SBY-Kalla telah aman dari gangguan parlemen. Tetapi bukanlah berarti stabilitas pemerintahan SBY-Kalla telah aman sepenuhnya hingga 2009. Ironisnya, hal itu terkait dengan "pedang bermata dua" tadi. Sinyal-sinyal politik 2006 mempertegas kesimpulan sementara bahwa SBY-Kalla tengah siap melangsungkan "reli politik".



Komposisi kimia politik SBY-Kalla sesungguhnya ideal. SBY adalah seorang mantan militer, kelahiran Jawa serta berkultur priyayi. Sementara itu, Kalla berlatar belakang pengusaha, kelahiran Sulawesi ( luar Jawa) dan memiliki kultur pedagang. Masing-masing memiliki karakterisitk dan kelebihan tersendiri. SBY yang dikenal sebagai "Jenderal Pemikir" dan cenderung terkesan amat berhati-hati dalam mengambil keputusan dilengkapi dengan Kalla yang berbekal seribu akal. Ada hal-hal khusus yang tidak dapat diselesaikan secara cepat oleh SBY, tetapi tatkala diserahkan ke Kalla hasilnya kerap di luar dugaan. Penanganan Aceh misalnya.



Komposisi kimia politik priyayi (Militer) dengan pedagang cenderung tergolong aneh dalam sejarah kekuasaan Jawa dan Indonesia hingga 2004. Oleh sebab itulah, beberapa kalangan mempertanyakan sejauh mana kohesivitas pasangan ini. Dalam kultur Jawa, priyayi dianggap berderajat lebih ketimbang pedagang (Wong Dagang). Seorang priyayi yang memaksakan diri berpasangan dengan pedagang dalam politik tergolong absurd. Apalagi bila lantas si pedagang punya kekuasaan politik yang "lebih". Dikhawatirkan ia akan memanfaatkan kartu politiknya untuk menawar kebijakan politik politik pasangannya, dengan mengedepankan logika-logika dagang.

Namun, di era modern ini, tentu kalkulasi kultural demikian menjadi kurang begitu relevan. SBY kelihatannya tidak memandang bahwa kultur pedagang akan merepotkan atau mengurangi gengsi politiknya. SBY pasti paham betul karakteristik Kalla sebelum meminangnya menjadi pasangan calon presiden waktu itu, meskipun JK merupakan peserta aktif konvensi Partai. Dicalonkan terutama oleh Partai Demokrat, pasangan ini melaju. Disertai membuncahnya harapan publik, merekapun terpilih.



Bulan-bulan pertama pemerintahan SBY-Kalla sungguh romantis. Tetapi kepada publik Kalla mengirim pesan kembali bahwa antara dirinya dan SBY telah membuat perjanjian. Wakil presiden kali ini lain dari yang lain: sama-sama berkeringat dengan pasangannya. Makanya, Kalla terkesan ogah menjadi sekadar subordinat presiden.

Dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu jilid pertama, Kalla memainkan pengaruh signifikan. Namun pada perombakan kabinet, pengaruh Kalla tampak tidak sebesar sebelumnya. SBY rupanya kian sensitif dengan resistensi Kalla-institusional. Kekuatan politik Golkar memang amat mampu mengamankan parlemen, tetapi mereka menagih. Banyak pihak (termasuk dari kubu SBY) seolah baru sadar dan menyesal mengapa SBY memberi izin Kalla untuk maju dalam arena perhelatan akbar Partai Golkar, yang lantas menjadikannya ketua umum partai tersebut. SBY seperti membesarkan pasangannya itu sebagai "anak macan", tatkala Kalla-personal sudah menjelma sebagai Kalla-politik. Orang pun semakin mengkhawatirkan apakah kohesivitas kimia politik SBY-Kalla mampu bertahan hingga 2009. Apa dampak politiknya bila hubungan politik SBY-Kalla semakin merenggang?.

Tulisan ini tidak bersifat meramal hubungan SBY-Kalla pada 2007 akan lebih renggang dibanding sebelumnya, tetapi sekedar membaca tanda-tanda yang memang arahnya ke sana. Pada 2007 suhu politik Indonesia naik sebagai dampak terkonsentrasinya kekuatan-kekuatan politik menjelang 2009. Hadir partai-partai politik baru. Partai-partai lama berlomba mengonsolidasikan kekuatannya. Pemerintahan SBY-Kalla dihadapkan pada situasi politik yang cukup menantang, sekaligus dilematis.

Pertama, diperkirakan konsentrasi kerja kabinet multipartai SBY-Kalla mulai terganggu oleh semakin mengemukanya agenda-agenda politik menjelang 2009. Menteri-menteri partai dituntut lebih intensif memikirkan kesintasan partainya menjelang 2009.

Kedua, partai-partai politik mulai berhitung ulang atau merekalkulasi politik atas dukungannya pada pemerintahan. Apresiasi masyarakat atas kinerja yang berpengaruh pada fluktuasi citra dan popularitas pemerintah akan menjadi bahan pertimbangan partai-partai. Mereka tidak mau kena "getah" merosotnya popularitas pemerintah dan ingin tampil popular di mata masyarakat.

Ketiga, pemerintahan SBY-Kalla juga akan menghadapi berbagai gelombang ketidakpuasan publik, dengan para elite nasional akan banyak tampil sebagai juru bicaranya. Kritik politik Jenderal (Purn.) Try Sutrisno atas kepemimpinan nasional yang gagal merupakan sinyal yang harus diperhatikan.

Keempat, dilema itu terletak justru pada manajemen hubungan politik SBY-Kalla sendiri. Hubungan yang renggang jelas tidak menguntungkan masa depan pemerintahan SBY-Kalla. Sinyal ke arah sana setidaknya menguat saat Kalla dan Partai Golkar "menolak" Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program Reformasi (UKP3R) yang dibentuk Presiden. Pada kenyataannya SBY kemudian menunjukkan kepada publik bahwa Kalla harus taat kepadanya. SBY juga mampu memangkas pengaruh-pengaruh politik Kalla.

Namun ada pekerjaan rumah yang belum tuntas terkait dengan hubungan SBY-Kalla :
Pertama, soal perombakan kabinet. Apakah Golkar akan memperoleh porsi yang lebih proporsional di kabinet?. Sebagai ketua umum partai tersebut, Kalla berkepentingan untuk memperjuangkan dari dalam agar akomodasi politik partainya lebih optimal. Dalam konteks ini, tentu Kalla memperoleh desakan yang makin kuat dari internal Golkar. Tetapi, sepenuhnya SBY akan menjadi faktor penentunya.

Kedua, terkait dengan pengambilan kebijakan strategis pemerintah. Sebagai Wapres, Kalla cukup handal dalam memainkan peran atas berbagai kebijakan pemerintah. Faktor Kalla (dalam konteks tertentu) bahkan amat siginifikan. Pada 2007 kelihatannya SBY bakal lebih ketat mengontrol peran-peran politik Kalla dalam pemerintahan. SBY tentu tidak ingin kebijakan-kebijakan strategis justru lebih berada di bawah kontrol Kalla.

Ketiga, terkait dengan rencana-rencana politik masing-masing menjelang 2009. Berkembang pertanyaan, apakah pasangan ini akan maju lagi ke kancah Pemilu 2009?. Pertanyaan itu alami di masyarakat. SBY lebih dominan dalam menentukan pasangannya. Sementara itu, Kalla berada dalam posisi yang defensif. Di samping faktor SBY, nasib Kalla juga ditentukan oleh dinamika politik internal Golkar. Kalau ada aspirasi politik kuat yang "menghendaki" tampilnya Kalla sebagai RI –1 dan Kalla tak kuasa menolaknya, tentu reli politik SBY-Kalla akan makin ramai. Kalla tidak akan sekadar menjadi bara dalam sekam, dalam hubungannya dengan SBY.

Dari berbagai sinyal yang mengemuka, kelihatannya SBY menghendaki kepemimpinannya berlanjut lagi. Ia harus memperoleh dukungan signifikan partai dan memenangi Pemilu Presiden 2009, dengan atau tanpa Kalla. Apabila masih ingin dengan Kalla, pasangan ini akan dihadapkan pada tantangan politik yang sudah amat lain jika dibandingkan dengan 2004. Namun, bila Kalla tidak lagi satu paket dengan SBY, faktor Kalla tentu akan menjadi salah satu penghambat. Jika sinyal ketidakcocokan politik SBY-Kalla menajam pada 2007, jalannya pemerintahan dikhawatirkan bakal tidak efektif lagi.

Namun, apapun yang terjadi, pemerintahan ini seharusnya mampu mengantarkan Indonesia hingga 2009 secara konstruktif. Ada capaian-capaian kemajuan yang jelas. Jangan justru sibuk berkonsentrasi mengamankan kepentingan politik masing-masing. Kenegarawanan SBY-Kalla akan terus diuji.