Friday, September 22, 2006

Hukuman Mati di Indonesia


Awal Juli tahun ini, di depan wakil negara-negara Uni Eropa, Wakil Presiden Yusuf Kalla menolak desakan untuk menghapuskan hukuman mati di Indonesia, sebagaimana yang mereka minta. Negara-negara Uni Eropa menganggap bahwa penerapan hukuman mati sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan saat ini. Sementara alasan yang dikemukakan Wapres, hukuman mati bagaimanapun masih dianut oleh sistem hukum di Indonesia.

Wacana terhadap penghapusan hukuman mati di Indonesia memang muncul di sebagian kalangan masyarakat kita. Kontroversi tentang perlu tidaknya pemerintah Indonesia menghapuskan hukuman mati dari sistem hukum di Indonesia hingga hari inipun masih terus bergulir.

Silang pendapat mengenai penerapan hukuman mati sendiri mulai mengemuka di tahun 2003, dengan dikeluarkannya beberapa keputusan presiden yang menolak permohonan grasi terhadap beberapa terpidana mati. Belakangan hal ini kembali mencuat terkait dengan penetapan eksekusi putusan vonis mati terhadap tiga pidana kasus kerusuhan Poso 2000.

Pihak yang menolak pidana mati beranggapan bahwa penerapan hukum mati melanggar prinsip hak asasi manusia (HAM) baik nasional maupun internasional, disamping juga bertentangan dengan konstitusi. Hukuman mati dianggap merampas hak hidup seseorang sebagaimana dijamin oleh undang-undang dan negara.

Mengutip pasal 28A perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan "setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya", maka dengan demikian hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Lebih lanjut, beberapa hukum internasional yang berlaku saat ini dengan tegas juga menyatakan bahwa hukuman mati bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Seperti hak hidup yang termuat dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, misalnya. Pasal 6 ayat(1) konvensi tersebut menyatakan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu.

Meski demikian, sedikit pengecualian diberikan kepada negara yang belum menghapus ketentuan tentang hukuman mati. Pasal 6 ayat(2) konvensi itu menyatakan bahwa hukuman mati hanya berlaku bagi kejahatan dengan kategori serius sesuai dengan hukum yang berlaku saat itu dengan tidak bertentangan dengan konvensi ini dan konvensi tentang perlindungan dan sanksi terhadap kejahatan genosida. Hukuman mati itu sendiri hanya dapat dilaksanakan merujuk pada putusan final yang dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang.

Selain ketentuan hukum internasional, alasan yang juga sering diutarakan pihak-pihak yang menentang hukuman mati, disebabkan jenis pidana ini dianggap tidak mampu menghilangkan kejahatan. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Ketua Badan Pengurus PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia) Johnson Panjaitan, menanggapi pernyataan Yusuf Kalla yang menyatakan bahwa hukuman mati tidak berhasil mengurangi angka kejahatan, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Pernyataan itu tidak tepat. Bagaimanapun bentuk hukuman atas pidana yang dijatuhkan, kejahatan akan senantiasa ada di muka bumi ini, tak terkecuali di Indonesia. Hukuman mati memang tidak akan melenyapkan kejahatan seutuhnya, tapi jenis pidana itu mampun mengurangi pelaku kejahatan. Inilah point utana yang harus diingat, terkait dengan penerapan hukuman mati di Indonesia.

Untuk itu, pidana mati tidak bisa dilihat semata-mata dari pelaksanaan dan hukuman mati itu sendiri, tetapi lebih jauh harus dilihat dari proses pemberian hukuman tersebut. Mengapa dan bagaimana suatau pidana mati bisa dijatuhkan, itu yang terlebih dulu harus dipahami.

Selain itu---terlepas dari perdebatan soal penghapusan hukuman mati---sistem hukum di Indonesia sampai saat ini masih memungkinkan penjatuhan pidana mati bagi seorang terpidana. Namun penjatuhan hukuman mati itu hanya bisa dilakukan dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, pidana mati tidak bisa diberikan kepada seseorang dengan sewenang-wenang.

Secara yuridispun, pidana mati di Indonesia telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( KUHP) pasal 10(a) dan pasal 11 juncto Undang-undang Nomor 2 PNPS 1964 tentang pelaksanaan pidana mati, dari gantung menjadi tembak.

Selanjutnya, ancaman pidana mati juga berturut-turut dimuat dalam beberapa peraturan perundangan lainnya seperti UU No.22 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotika, UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi undang-undang.

Terkait adanya penolakan bahwa hukuman mati tidak mampu menimbulkan efek jera sebagaimana yang diharapkan, hal ini tidak bisa dilepaskan dari iklim penegakan hukum dan kondisi sosial ekonomi negara yang bersangkutan. Bagi negara mapan dengan fungsi kontrol sosial yang telah berjalan sebagaimana mestinya, masyarakatnya akan selalu berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan. Sementara untuk kondisi masyarakat di Indonesia, saat ini tidaklah demikian. Contohnya, orang yang terjerat narkotik di luar negeri, jika jatuh miskin maka ia akan dirawat oleh negara di rumah sakit secara gratis. Di Indonesia, orang-orang seperti itu hanya akan terlantar di pinggir jalan dan tidak menutup kemungkinan timbulnya kejahatan yang lebih serius lagi dalam masyarakat. Efek penjeraan inilah yang belum berfungsi maksimal karena kondisi yang relatif sama dirasakan oleh penjahat : antara dipidana mati maupun hidup dalam kesia-siaan.

Persoalan selanjutnya menjadi semakin kompleks, mengingat dari sekian banyak terpidana mati, hanya sebagian kecil yang akhirnya dieksekusi. Yang lainnya entah karena alasan adanya peninjauan kembali ataupun permohonan grasi, hanya dibiarkan mendekam dalam ruang tahanan. Kondisi inilah yang pada akhirnya menimbulkan apa yang dinamakan dengan delay of justice. Ini bisa berimplikasi kepada 2 pihak, yaitu terpidana dan korban kejahatan.

Karena itulah wacana pengaturan hukuman mati tidak ada salahnya untuk dirumuskan. Bagaimana caranya agar penerapan pidana mati ini bisa berjalan konsisten sesuai dengan fungsinya, baik bagi korban kejahatan selaku pencari keadilan maupun terpidana mati itu sendiri.




...Selengkapnya...

Thursday, September 21, 2006

Politik Pertanian


Permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada menteri yang berasal dari partai politik untuk melobi partainya untuk membatalkan pangajuan hak angket dan interplasi terkait dengan kebijakan impor beras, tampak wajar jika dilihat dalam perspektif makro. Yaitu, mengimpor beras adalah perlu untuk berjaga-jaga agar rakyat tidak kelaparan.



Pemerintah tentunya tahu benar berapa stok beras yang ada. Tahu pula bahwa sepenuhnya mengandalkan beras hasil pertanian sendiri, bangsa ini belum mampu. Karena itu, impor beras bukanlah hal yang dilakukan dengan senang hati, tapi sebuah keniscayaan justru agar makanan pokok untuk rakyat cukup tersedia.





Tetapi, niat baik memang tidak selamanya bisa diterima dengan baik. Niat baik Presiden ini dijemput dengan hak angket atau interplasi DPR yang menolak kebijakan impor beras.

Sebagai lembaga legislatif, DPR memang memiliki peran mengontrol kebijakan pemerintah. Satu peran penting yaitu memelihara hidupnya mekanisme check and balance, pengawasan dan pengimbangan. Namun, pengawasan dan pengimbangan itu harus tunduk kepada kepentingan publik, bukan kepentingan partai atau orang perorang.

Yang terjadi kemudian, wacana penolakan impor beras telah menjadi larut dalam hiruk pikuk komoditas politik, yang di dalamnya tumbuh berbagai ragam kepentingan.

Masalah beras sejatinya adalah masalah politik pertanian pemerintah, yang ujungnya berada di atas pundak Departemen Pertanian. Politik pertanian menuju swasembada beras inilah yang belum dimiliki dengan konsisten. DPR pun mempunyai kontribusi dalam hal ini, karena membiarkan negara ini tidak memiliki politik pertanian yang menuju swasembada beras.



Faktanya, inilah negeri agraris yang paradoks. Lahan kita berlimpah, penduduk yang hidup bertani berjuta-juta, tapi kemempuan untuk menyediakan makanan pokoknya sendiri tidak mampu. Penduduk terus bertambah, namun tidak ada politik pertanian yang tegas dan konsisten untuk menjadi bangsa yang berswasembada beras.


Dalam keadaan seperti itu, siapapun yang menjadi Presiden, akan berhadapan dengan dilema. Sepenuhnya mengandalkan produksi beras dalam negeri, tidak realitis. Sebaliknya, mengimpor beras dikecam dan dikritik. Siapa sih presiden yang membiarkan rakyatnya terancam kelaparan bila stok beras rawan?.


Impor beras memang harus kebijakan sementara. Selanjutnya, Presiden dan DPR harus memacu Departemen Pertanian untuk menjadikan bangsa ini bangsa agraris yang penuh harga diri. Bukan saja mampu swasembada, bahkan menjadi eksportir beras.


Kita juga ingin menggarisbawahi bahwa menterilah yang mengikuti kebijakan pemerintah. Menteri dari sebuah partai yang menolak kebijakan pemerintah, sebaiknya mengundurkan diri atau diberhentikan saja.

...Selengkapnya...

Thursday, September 14, 2006

Sidoarjo, 2006

Hari Lingkungan Hidup yang baru berlalu beberapa bulan, masih kita "nikmati" gaungnya dengan ironi dan tragedi lumpur panas di Sidoarjo yang hingga kini tidak dapat dihentikan itu.

Begitu dahsyatnya ia keluar dari perut bumi sehingga bila tidak dapat distop bisa total menimbun jalan tol, bahkan menghancurkan tiga desa di sekitarnya. Dan tentu, bisa membunuh penduduk. Desa Jatirejo, kecamatan Porong kabupaten Sidoarjo kini telah tenggelam oleh ketinggian lumpur yang melebihi atap rumah penduduk itu.




Lumpur panas yang terus mengalir lewat rekahan tanah di desa Siring, kecamatan Porong, kabupaten Sidoarjo Jawa Timur itu, tiap hari diperkirakan meluap sekitar 5000 meter kubik dengan suhu diatas 57 derajat Celcius. Jalur Tol Gempol Surabaya dan jalur kereta api Surabaya Malang Banyuwangi sempat ditutup karena terendam olehnya. Hingga kini lumpur panas itu telah merusak sawah di desa Renokenongo, desa Glagah Arum dan desa Plumbon.



Panen sudah pasti gagal. PT Jasa Marga sudah tentu kehilangan sebagian pendapatannya. Namun yang paling penting saat ini adalah bagaimana menentukan cara untuk menghentikan semburan lumpur dan gas itu dari perut bumi.



Pemprov Jawa Timur telah angkat tangan, tidak sanggup menghentikannya. Mereka telah meminta bantuan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, BP Migas dan Ikatan Ahli Geologi untuk mengirim timnya. Tim sedang bekerja. Tentu diharapkan segera membuahkan hasil, termasuk menentukan apakah ada zat-zat tertentu di dalam kandungan lumpur itu yang berbahaya untuk kelangsungan makhluk hidup di sekitarnya.



Sejauh ini lumpur panas itu diduga dari eksploitasi minyak PT Lapindo Brantas, yaitu kemungkinan kesalahan teknis, pelanggaran terhadap analisis mengenai dampak lingkungan dan pengaruh pengeboran. Meski PT Lapindo Brantas mengatakan bahwa malapetaka itu berkaitan dengan gempa di Jogja-- sebuah pembelaan yang mungkin benar, mungkin salah-- namun pemerintah dengan tim ahlinya seharusnya mencari dan menemukan penyebabnya yang pasti.

Bila penyebabnya karena melanggar undang-undang, misalnya melanggar analisis dampak lingkungan, segera saja dibawa ke pengadilan. Jika terbukti melakukan kesalahan, beri hukuman seberat-beratnya. Bila karena kesalahan teknis, mestinya menjadi pelajaran yang berharga supaya tidak terulang lagi. Namun tetap tiada maaf, perusahaan yang tidak professional itu layak membayar ganti rugi yang semahal-mahalnya karena telah merusak lingkungan.



Ganjaran yang setimpal diperlukan agar menimbulkan efek jera kepada pihak manapun. Efek jera ini sangat diperlukan agar pemanfaatan secara ekonomis sumber alam di negeri ini dilakukan dengan cara-cara yang benar, dengan sepenuhnya menghormati kelestarian Lingkungan Hidup.

Untuk itu pemerintah perlu taat asas dan tidak pandang bulu demi tegaknya analisis mengenai dampak lingkungan. Memang tidak mudah, karena hal itu hanya bisa terlaksana jika birokrasi tidak dapat dibeli.

...Selengkapnya...